Jumat, 19 April 24

Revolusi

Revolusi

Oleh: Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute

 

Ada seorang sejarawan Inggris yang berusia cukup panjang(1898-1968), Clarence Crane Brinton, menulis buku dengan judul Anatomi Revolusi.

Hasil kajiannya terhadap revolusi Inggris, Perancis, Amerika dan Rusia, Brinton sampai pada satu kesimpulan:”Tak ada satu pemerintahan pun yang akan bertekuk lutut kepada lawan-lawan politiknya, kecuali jika tidak mampu mengendalikan angkatan bersenjatanya, atau tidak mampu menggunakannya secara efektif.”

Dalam beberapa kasus revolusi dari hasil studi Brinton, runtuhnya suatu pemerintahan, tidak harus adanya pemihakan terang-terangan tentara kepada rakyat. Dalam beberapa kasus, seperti kemenangan revolusi Oktober di Rusia pada 1917, karena pada saat yang kritis, tentara tidak mau menggerakkan pasukannya melawan rakyat sipil.

Justru kebalikannya, beberapa resimennya bergabung dengan gerakan perlawanan rakyat.

Di dalam Revolusi Perancis malah lain lagi ceritanya. Serangkaian huru-hara dan kerusuhan yang terjadi, sebenarnya bukan perkara sulit untuk dipadamkan jika hirarki dan mata-rantai komando solid dari atas ke bawah.

Namun kenyataannya, Raja Louis XVI dan ring satu istana gagal menggerakkan pasukannya secara efektif.

Sayang Brinton pada saat meletus Revolusi Islam Iran, sudah meninggal. Andaikan masih hidup, dia bisa belajar banyak dari cerita Panglima Angkatan Bersenjata Iran yang menjabat pada saat peralihan dari Shah Iran ke Republik Islam Iran di bawah kepemimpian Ayatullah Rohullah Khomeini. Jenderal Mohammad Vali Gharani.

Mengapa tentara Iran yang begitu digdaya di dalam pemerintahan Shah Iran bisa begitu mudah dilumpuhkan gerakan perlawanan rakyat? “Tentara Iran tidak punya ideal. Satu-satunya misi mereka adalah mempertahankan penguasa. Shah Iran. Dan bukannya negara. Itulah sebabnya bisa runtuh begitu cepat?” Begitu tutur Jenderal Gharani.

Memang kalau mempelajari sikap tentara Iran dalam masa kritis tersebut, para pucuk pimpinan angkatan bersenjata memutuskan untuk bersikap netral dalam konflik antaran Shah Iran versus Khomeini.

Menarik juga kalau kita cermati. Bahwa runtuhnya sebuah rezim pemerintahan tidak selalu karena tentara memutuskan untuk melawan atau kudeta. Bahkan tentara bersikap netral pun, pemerintahan yang keropos dan korup, akhirnya bisa rontok. Ketika ada terpaan gelombang perlawanan dari kekuatan-kekuatan politik yang oposisi. Yang mana mereka sebenarnya bersatu karena memandang rezim sebagai musuh bersama. Bukan karena kesamaan basis ideologi atau agenda strategis.

Sebuah pelajaran penting bagi negeri kita, di saat-saat yang penuh tantangan dan cobaan ini.

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.