Jumat, 19 April 24

Revisi UU MD3, Ternyata Solusi Setengah Hati

Revisi UU MD3, Ternyata Solusi Setengah Hati

Jakarta – Revisi Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) merupakan jalan tengah untuk mendamaikan kubu Koalisi Merah Putih (KMP) dengan Koalisi Indonesia Habat (KIH) yang tengah berseteru di DPR. Namun, kesepakatan itu seperti solusi setengah hati.

Pasalnya, kedua belah pihak belum sama-sama memiliki satu pemandangan yang sama mengenai apa yang dimaksud dengan revisi UU MD3. Awalnya hanya disepakati adanya penambahan satu kursi pimpinan di semua alat kelengkapan dewan DPR. Dari kesepakatan tersebut, KIH akan diberi jatah 21 kursi pimpinan AKD di DPR‎.

Namun, ‎kenyataannya sekarang, revisi UUMD3 berkembang kepada pasal-pasal yang lain, yang menyebabkan kedua belah pihak sejauh ini belum mau menyatakan sepakat untuk berdamai. Bahkan, Koordinator Pelaksana Koalisi Merah Putih (KMP) Idrus Marham mengatakan, hari ini di DPR telah terjadi perdebatan yang sengit antara dua kubu itu.

Menurutnya, KIH tidak hanya meminta jatah 21 kursi pimpinan AKD di DPR‎, tetapi mereka kata Idrus, meminta untuk menghapus hak interpelasi dan angket di tingkat komisi DPR. Sehingga terpaksa KMP mencabut kembali kesepakatan awal, dan meminta waktu untuk membahasnya lagi dengan seluruh pimpinan KMP.

“Kita sudah membahas, sampai rapat kemarin ada perdebatan sangat tajam tentang persoalan ini. Nanti malam kembali rapat di rumah Pak Hatta,” ujar Idrus di Gedung DPR, Jumat (14/11/2014).

Politisi Partai Golkar itu menganggap keinginan KIH untuk menghapus hak interpelasi dan angket di tingkat komisi dianggap mendegradasi DPR. Karena itu, kesepakatan masih menemui jalan buntu. Idrus tidak menampik ada anggota KMP yang mencoba mendukung KIH, tetapi suaranya masih kalah dengan yang menolak.

“KMP sudah terbukti solid, tidak akan terganggu menghadapi usulan baru KIH. Kami punya keyakinan, perbedaan bisa dikecilkan dan dihilangkan,” ujarnya.

KIH meminta ketentuan usulan interpelasi dan angket di tingkat komisi dihapus. Ketentuan itu diatur dalam Pasal 98 ayat 6, 7, 8 UU MD3. ‎Dalam pasal itu, dijelaskan bahwa pemerintah wajib menaati keputusan komisi DPR yang dapat berujung pada penggunaan hak interpelasi dan angket jika kewajiban itu tak dipenuhi.

Selain itu, DPR juga bisa meminta sanksi administratif atas pejabat yang tak patuh. Adapun pada Pasal 74 UU MD3, DPR diperbolehkan menggunakan hak interpasi apabila pejabat negara mengabaikan rekomendasi Dewan.

Ketua DPR Setya Novanto sendiri membantah, jika sejak awal KIH telah mengajukan usulan penghapusan ketentuan interpelasi dan angket di tingkat komisi. Menurutnya usulan tersebut tidak ada dikesepakatan awal, dan baru muncul pada saat-saat sekarang ini.

“Ini tidak ada dalam perundingan antara Pramono dengan kami. Itu baru pengajuan terakhir setelah Pramono bertemu pimpinan partai dari KIH,” katanya, Jumat (14/11/2014).

Menurutnya, hak menyatakan pendapat yang dimiliki anggota DPR secara tegas telah diatur di dalam konstitusi. Sehingga, hak yang sifatnya mengikat tersebut tidak dapat dihapuskan begitu saja. Karena itu, Setya juga sepakat dengan sikap Idrus, bahwa persoalan ini harus dilakukan pembahasan terlebih dahulu ditingkat pimpinan KMP.

Sementara itu, ‎Wakil Ketua Fraksi PDI-P di DPR Ahmad Basarah menyakini usulan itu akan diterima oleh KMP, asalkan sudah mendapatkan restu dari Prabowo Subianto, Aburizal Bakrie, dan Susilo Bambang Yudhoyono. Karena mereka ini adalah punggawa KMP yang mempunyai pengaruh besar atas perselisihan di DPR. (Abn)

 

Related posts