Jumat, 29 Maret 24

Breaking News
  • No items

Reni Marlinawati Pejuang Pendidikan dan Pengawal RUU Pesantren

Reni Marlinawati Pejuang Pendidikan dan Pengawal RUU Pesantren
* Almarhumah Dr. Hj. Reni Marlinawati.

Pesantren dan NKRI

Sejarah pendidikan Islam di pondok pesantren sangat tua. Sejarawan Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo (almarhum), Guru Besar Sejarah UGM, mencatat, sejak abad ke-19, pondok pesantren telah mendidik kader-kader muda Indonesia yang anti-kolonial.

Salah satu pondok pesantren tertua di nusantara adalah Pesantren Rifaiyah di Tempuran, Kalisalak, Batang. Pendirinya, KH Ahmad Rifa’i (1786-1870).

KH Ahmad Rifa’i – orang Batang dan Kendal menyebutnya Ki Ripangi – adalah teman seperguruan KH Kholil Madura di kota suci Mekah, gurunya KH Hasyim Asy’ar, pendiri Jam’iyah Nahdlatul Ulama. Prof. Dr. Karel A Steenbrink, sejarawan Belanda mencatat, KH Rifa’i adalah ulama Indonesia tradisional yang paling produktif menulis kitab.

Uniknya, kitab-kitab karya Ki Ripangi ditulis dalam bentuk puisi atau prosa puisi dengan huruf arab pegon. Menurut KH Syadzirin Amin, salah seorang kyai Jamaah Rifaiyah di Paesan, Kedung Wuni, Pekalongan yang hingga hari ini masih mengaji, menekuni, dan menyebar luaskan kitab-kitab “Tarjumah” – sebutan untuk kitab-kitab karya KH Ahmad Rifai — ulama dari Kalisalak ini telah menulis lebih dari 10.000 nadham/bait puisi.

Jumlah kitab Tarjumah – menurut Prof Sartono – mencapai 54 buah. Soal jumlah kitab karya Ki Ripangi ada beberapa pendapat. Ada yang menyatakan 60, 70, dan lain-lain. Tapi satu hal yang jelas, catat Prof. Steenbrink, ulama Indonesia paling produktif menulis kitab hingga saat ini adalah KH Ahmad Rifa’i.

Kitab-kitab karya Ki Ripangi mencakup banyak hal. Mulai dari masalah tauhid, fikih, ahlak, sampai politik. Kitab-kitab Kyai Rifai mengenai politik inilah yang menimbulkan kegaduhan. Tidak hanya Belanda yang marah terhadap KH Rifai.

Tapi juga priyayi Jawa yang berkolaborasi dengan Belanda. Ki Rifai misalnya mengecam beberapa adipati dan raja Jawa yang mau bekerja sama dengan Belanda. “Luwih becik mangan telo, ketimbang nunut Londo,” tulis Ki Ripangi dalam salah satu kitabnya.

Halaman selanjutnya

Pages: 1 2 3 4 5 6 7

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.