
Ekspose hasil survei IReS (Anto).
A.Rapiudin
Jakarta- Era reformasi yang telah berjalan selama 15 tahun ternyata belum memenuhi harapan publik Tanah Air. Salah satunya penegakan hukum yang masih berjalan di tempat.
Penilaian publik terhadap pelaksanaan reformasi pascaa tumbangnya pemerintahan Soeharto memperlihatkan rasa tidak puas dan sangat tidak puas sebanyak 45,4 persen. Publik yang merasa puas dan sangat puas dengan reformasi hanya 31,1 persen. Kemudian sangat tidak puas (11,1 persen) dan tidak tahu/tidak menjawab (23,8 persen)
Fakta ini terungkap dari hasil survey yang digelar Indonesian Research and Survey (IReS), dalam expose hasil survei nasional 33 provinsi di Hotel Sahid Jaya, Jakarta, Minggu (5/5). Expose survey juga menghadirkan ua orang narasumber, yakni Dr Zaenal Arifin Muchtar (Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi UGM) dan Dr Donny Tjahja Rimbawan (Staf Pengajar Fisip UI).
Kepala Divisi Rurvei IReS Indrayadi menyebutkan, pengumpulan data dilakukan dari 17 April -27 April 2013 dengan metode sampling multistage random sampling. Jumlah responden yang disurvei sebanyak 2.383 responden dengan margin of eror 2,01 persen dan tingkat kepercayaan 95 persen.
Tehnik pengumpulan data yang digunakan, lanjut Indra, dengan wawancara tatap muka surveyor dengan responden secara langsung dengan menggunakan kuisioner. Populasi survei adalah seluruh warga Indonesia berusia 17 tahun ke atas dengan keterwakilan jenis kelamin dan pekerjaan secara berimbang berdasarkan data BPS 2012.
Terkait perjalanan 15 tahun reformasi, menurut Indra, ada 6 poin yang ditanyakan kepada responden. Pertama, tuntutan adili Soeharto dan kroni-kroninya. Pada poin ini responden yang menyatakan tidak puas dan sangat tidak puas sebanyak 40,5 persen. Sedangkan, yang menyatakan sangat puas dan puas sebanyak 33,4 persen. Sementara yang menjawab tidak tahu/tidak menjawab sebanyak 26,1 persen.
“Yang menyatakan tidak puas dan sangat tidak puas itu karena masih banyak kroni-kroni Soeharto yang saat ini berkuasa,” ujar Indra.
Terhadap tuntutan pelaksanaan amandeman UUD 1945, Indra menyebut, yang menyatakan sangat puas dan puas sebanyak 29,1 persen. Sedangkan, yang menyatakan tidak puas dan sangat tidak puas sebanyak 42 persen. Dan yang menjawab tidak tahun/tidak menawab sebanyak 28,8 persen.
Tentang penghapusan Dwifungsi ABRI, responden yang menyatakan sangat puas dan puas sebanyak 40,,3 persen. Sedangkan, yang menyatakan tidak puas dan sangat tidak puas sebanyak 30,4 persen. Dan tidak tahu/tidak menjawab (29,3 persen).
“Pada poin ini banyak responden yang menyatakan puas karena penghapusan Dwifungsi ABRI telah berjalan secara sosial dan politik,” katanya.
Indra menambahkan, pada poin tuntutan pelaksanaan otonomi daerah, rupanya antara public yang menyatakan sangat puas dan tidak puas (37,9 persen) dan tidak puas/ sangat tidak puas (36,7 persen), tidka terpaut jauh.
Publik merasa puas karena dapat melaksanakan pemilihan kepala daerah secara langsung, tidak lagi melalui perwakilan di DPRD. Namun, ada berdampak lain yang timbul sebagai akibat dari otonomi daerah, yakni munculnya raja-raja kecil.
“Konflik antarwarga juga mudah muncul sebagai akibat ketidakpuasan atas hasil pilkada yang tidak memenangkan calonnya,” papar Indra.
Penegakan supremasi hukum, lanjut Indra, hingga kini masih memprihatinkan dan jalan di tempat. Untuk poin ini public yang menyatakan tidak puas/sangat tidak puas ada 59,6 persen. Sedangkan yang sangat puas/puas (18,6 persen) dan tidak tahu/tidak menjawab (21,8 persen).
“Yang menyatakan tidak puas/sangat tidak puas itu karena KPK terkesan tebang pilih dalam menangkap para koruptor. Belum lagi kasus Century dan Hambalang yang hingga kini tak kunjung tuntas,” terangnya.
Terkait poin pemerintahan yang bersih dari KKN, paling banyak responden yang menyatakan tidak puas/sangat tidak puas (61,4 persen). Hanya 27,5 persen yang menyatakan sangat puas/puas. Dan tidak tahu/tidak menjawab (11,1 persen).
“Dengan mencermati hasil survey ini maka pemerintahan SBY-Boediono telah gagal menjalankan amanat reformasi,” tegas Indra.
Di tempat yang sama, Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi UGM Zaenal Arifin Muchtar mengatakan, hasil survey ini menunjukkan bahwa 15 tahun perjalanan reformasi perubahan tidak berjalan sesuai harapan masyarakat. Karena itu, yang bisa dilakukan public saat ini adalah menagih janji reformasi agar perubahannya lebih kongkret.
“Rakyat harus menagih kepada pemerintah dan partai politik untuk melakukan perubahan, terutama dalam ha penegakan hukum. Kalau mereka tidak melakukan itu maka tidak perlu dipilih pada pemilu dan pilpres mendatang,” tandas Zaenal.
Menurutnya, hasil penelitian yang dilakukan IReS tidak akan jauh berbeda dengan lembaga survey lainnya. Karena faktanya kondisi Indonesia saat ini memang demikian, seperti penegakan hukum yang jalan di tempat dan pemberantasan korupsi yang belum memenuhi harapan masyarakat.