Mengintip Bahaya Thrifting: Saat Barang Murah Menggerus UMKM dan Cinta Produk Lokal

Obsessionnews.com - Oleh: Dr. Dewi Tenty S. Artiany (Pemerhati Koperasi, UMKM &Notaris)
Belakangan ini, isu bahaya thrifting kembali ramai diperbincangkan setelah disinggung oleh Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa. Sebenarnya, topik ini bukan hal baru. Kita sudah sering membahas bagaimana praktik thrifting—jual beli pakaian bekas impor—lebih banyak membawa mudarat ketimbang manfaat bagi perekonomian nasional.
Apa sebenarnya thrifting itu? Thrifting adalah kegiatan membeli barang bekas, terutama pakaian impor, yang dijual dengan harga murah. Barang-barang ini umumnya masuk ke Indonesia dalam jumlah besar dan dijual kembali di pasar lokal. Meski sering dibungkus dengan narasi “gaya hidup hemat”atau “ramah lingkungan,”kenyataannya, praktik ini justru merugikan banyak pihak: mulai dari industri tekstil dalam negeri, para penjahit pakaian, hingga pelaku UMKM dan pedagang kecil yang menjual produk buatan lokal.
Lebih parahnya lagi di beberapa daerah, bahkan ada pasar thrifting yang disediakan oleh pemerintah setempat, seolah kegiatan ini tidak menyalahi aturan. Padahal, inilah ironi besar. Bagaimana mungkin kita berbicara tentang gerakan cinta produk Indonesia, sementara barang bekas dari luar negeri diberi ruang istimewa? Dengan uang seratus ribu rupiah, masyarakat bisa mendapatkan tiga potong pakaian thrift. Bandingkan dengan harga produk UMKM, tentu tidak bisa bersaing. Akibatnya, usaha kecil dan penjahit lokal kian tertekan dan sulit berkembang.
Bahkan memprihatinkan lagi, praktik thrifting seringkali didorong oleh endorsement influencer yang menggaungkan “serunya berburu barang thrift.”Tanpa disadari, promosi semacam ini justru membunuh semangat kemandirian industri dalam negeri dan mengikis rasa bangga terhadap karya anak bangsa.
Tentunya Ini menjadi kebijakan yang sangat tidak pro produk dalam negeri khususnya UMKM ;karena semurah apapun harga produk UMKM pasti tidak bisa bersaing dg harga barang trifting. Masalah ini tidak hanya soal ekonomi. Barang thrifting juga memiliki risiko kesehatan dan lingkungan. Banyak di antaranya tidak melalui proses pembersihan dan sterilisasi yang memadai, sehingga berpotensi membawa kuman, jamur, atau zat kimia berbahaya. Selain itu, limbah pakaian yang tak terjual kerap menambah beban sampah tekstil di berbagai daerah.
Kita berharap sudah saatnya pemerintah melakukan gebrakan dengan menata ulang kebijakan impor barang bekas. Masalah ini tidak bisa diselesaikan oleh satu kementerian saja. Perlu kolaborasi kuat antara Kementerian UMKM, Kementerian Perdagangan, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Keuangan agar regulasi tentang barang thrift ditegakkan secara konsisten dan menyuarakan lebih keras isue ini sebab sangat berimbas pada pertumbuhan UMKM di dalam negeri.
Kita juga harus berhenti menggunakan alasan klise seperti “thrifting menjadi ladang rezeki bagi sebagian orang.”Pertanyaannya, apakah pantas kita membenarkan kerugian besar terhadap industri nasional hanya demi keuntungan segelintir pihak? Atau alasan yang dibelokan yaitu di negara lain ada kok yang pasar barang bekas (loak atau preloved).
Karena itulah penting pula memahami bahwa thrifting berbeda dengan preloved. Barang preloved dijual langsung oleh pemilik sebelumnya, biasanya dalam kondisi baik dan jumlah terbatas sebab merupakan koleksi pribadi. Sementara barang thrift merupakan pakaian bekas impor yang dibeli dalam bentuk bal, asal-usulnya tidak jelas, dan kualitasnya tidak terjamin.
Maka, sudah saatnya masyarakat berhenti memaklumi praktik thrifting. Mari kita mulai dari langkah sederhana: bangga membeli dan mengenakan produk lokal. Harga yang sedikit lebih tinggi bukanlah beban, melainkan bentuk dukungan terhadap jutaan pelaku UMKM dan pekerja tekstil Indonesia.
Dengan mengedukasi masyarakat agar mencintai produk negeri sendiri, kita tidak hanya memperkuat ekonomi nasional, tetapi juga menanamkan rasa bangga sebagai bangsa yang berdaulat. Karena sejatinya, setiap rupiah yang kita keluarkan untuk membeli produk lokal adalah bentuk nyata bela negara di bidang ekonomi. (Ali)





























