Dorong Kepercayaan Publik terhadap AI, Philips dan Dua RS Unggulan Ungkap Tantangan

Jakarta, Obsessionnews.com – Seiring percepatan transformasi digital di sektor kesehatan, pemanfaatan kecerdasan buatan (AI) semakin mendapat tempat dalam sistem layanan medis Indonesia. Hal ini mengemuka dalam talkshow yang digelar oleh Philips Indonesia, dengan menghadirkan jajaran pemimpin sektor publik dan swasta dalam bidang kesehatan.
“AI memiliki potensi luar biasa untuk meningkatkan akses layanan, mempersingkat waktu tunggu, dan meringankan beban tenaga medis,” ujar Astri Ramayanti Dharmawan, Presiden Direktur Philips Indonesia. Menurutnya, optimisme terhadap teknologi ini harus dibarengi dengan desain yang inklusif dan berbasis empati. “Untuk mewujudkan potensi tersebut, kita harus merancang dengan empati, membangun kepercayaan, dan memastikan implementasi yang bertanggung jawab demi memenuhi kebutuhan pasien dan tenaga kesehatan.”
Optimisme serupa disampaikan oleh Setiaji, S.T., M.Si, Staf Ahli Bidang Teknologi Kesehatan sekaligus Ketua Tim Transformasi Teknologi dan Digitalisasi Kesehatan (TTDK) Kementerian Kesehatan RI. Ia menegaskan bahwa pemerintah tengah menyiapkan roadmap nasional terkait pemanfaatan AI di sektor kesehatan, lengkap dengan kebijakan regulasi dan pengujian teknologi melalui sandbox.
“Kita sudah mulai dengan tiga use case utama: imaging (seperti X-ray, CT scan, MRI), genomic untuk precision medicine, dan virtual assistant berbasis AI,” kata Setiaji. Ia juga menyoroti pentingnya literasi digital bagi dokter dan tenaga kesehatan, agar transformasi tidak menimbulkan kesenjangan baru.
Dari sisi layanan publik, Dr. dr. Iwan Dakota, Sp.JP(K), MARS, Direktur Utama Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah (RSJPD) Harapan Kita, memaparkan bahwa rumah sakit nasional tersebut telah mengintegrasikan AI dalam berbagai sistem diagnostik jantung. Mulai dari MRI, ekokardiografi, hingga robotik untuk operasi bypass jantung kini ditopang teknologi AI.
“AI membantu mempercepat proses analisis data medis yang sebelumnya makan waktu hingga berhari-hari. Sekarang bisa didapatkan dalam hitungan menit dengan presisi lebih tinggi,” ujar dr Iwan. Namun, ia menggarisbawahi tantangan seperti kurangnya literasi pasien terhadap AI, kebutuhan pelatihan SDM, hingga soal transparansi dan inklusivitas.
Sementara itu, dari sisi rumah sakit swasta, dr. Benedictus Reinaldo Widaja, MBChB (UK), Presiden Direktur Mandaya Hospital Group, menyebut bahwa AI telah menjadi bagian dari strategi peningkatan patient experience. “Yang kami jual bukan hanya layanan kesehatan, tapi pengalaman kesehatan yang unggul dan manusiawi,” ucap dr Ben.
Di Mandaya, AI digunakan dalam imaging dengan deep learning, sistem peringatan dini untuk pasien rawat inap, hingga chatbot harian untuk memantau kepuasan dan kondisi pasien. Meski begitu, ia menyoroti tantangan dalam memilih vendor teknologi yang tepat dan keberlanjutan solusi digital yang digunakan.
“Investasi ke AI itu bukan ratusan juta, tapi miliaran rupiah. Kalau salah pilih vendor, bisa hilang begitu saja. Maka kolaborasi dalam sandbox seperti yang disiapkan pemerintah sangat penting untuk kurasi teknologi,” ujarnya.
Talkshow ini menjadi bagian dari upaya mempertemukan berbagai pemangku kepentingan untuk menyelaraskan visi dan strategi dalam menghadapi masa depan layanan kesehatan berbasis teknologi di Indonesia. (AngieON)





























