Dr. Dewi Tenty Soroti Perlunya Blue Print untuk Tentukan Arah Koperasi di Indonesia

Obsessionnews.com - Baleg DPR RI mengadakan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan mengundang para pengamat dan pelaku bisnis koperasi untuk mencari masukan terkait penyusunan revisi Keempat UU Perkoperasian Nomer 25 Tahun 1992.
Rapat ini dihadiri oleh berbagai pelaku bisnis dan pengamat koperasi Dr. Dewi Tenty Septi Artiany, SH, MH, termasuk perwakilan dari BMT Sidogiri, Kospin Jasa, dan Asosiasi Sosio Ekonomi Strategis. Dalam Rapat yang berlangsung di Ruang Baleg DPR RI, Senayan, Jakarta pada Kamis (20/2/2025) ini dipimpin oleh Wakil Ketua Baleg Sturman Panjaitan didampingi oleh Ahmad Doli Kurnia.

Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang diselenggarakan tersebut, Dr. Dewi Tenty Septi Artiany, SH, MH selaku pengamat koperasi, menegaskan pentingnya adanya blue print yang jelas untuk menentukan arah perkembangan koperasi di Indonesia. .
Dr. Dewi Tenty menyatakan bahwa meskipun Indonesia memiliki jumlah koperasi terbanyak di dunia, kontribusi koperasi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) masih sangat rendah, yaitu hanya 5,1%. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan kuantitas koperasi tidak diikuti dengan peningkatan kualitas yang memadai. "Banyak koperasi yang pasif dan tidak berkontribusi signifikan terhadap perekonomian nasional," ujarnya.
Dibandingkan dengan negara-negara seperti Denmark, Jepang, dan Kenya, di mana koperasi berkontribusi hingga 50% terhadap PDB, Indonesia masih tertinggal jauh. Dr. Dewi Tenty menekankan bahwa perlu ada komitmen kuat dari pemimpin, terutama Presiden, untuk menyusun strategi yang jelas dalam membangun perekonomian kerakyatan melalui koperasi.
Ia juga mengkritik dominasi Koperasi Simpan Pinjam (KSP) dalam kontribusi terhadap PDB, padahal seharusnya koperasi produksi dan konsumsi yang lebih berkembang. "Jika Bung Hatta masih ada, mungkin beliau akan menangis melihat kondisi koperasi saat ini," kata Dr. Dewi Tenty, mengingatkan kembali visi pendiri bangsa tentang koperasi sebagai sokoguru perekonomian.

Dr. Dewi Tenty juga menyoroti perlunya rebranding koperasi agar lebih menarik bagi masyarakat. "Koperasi harus menjadi ekosistem yang memudahkan kehidupan masyarakat, bukan hanya tempat meminjam uang," tegasnya. Ia mencontohkan bagaimana di Korea, koperasi bahkan mampu memproduksi suku cadang mobil, bukan sekadar menjadi pelengkap.
Terkait dengan revisi Undang-Undang Perkoperasian, Dr. Dewi Tenty memberikan beberapa masukan penting, termasuk perlunya memperhatikan masalah permodalan dan sanksi pidana bagi pelaku penipuan di koperasi. "Sanksi pidana diperlukan untuk melindungi anggota koperasi dari tindak penipuan dan penggelapan," ujarnya.
Ia juga mengkritik praktik penggunaan nama koperasi untuk kepentingan proyek tertentu, yang menurutnya merusak kredibilitas koperasi. "Kita perlu blue print yang jelas agar koperasi tidak lagi dijadikan alat untuk main kucing-kucingan," pungkasnya.
Dengan adanya blue print yang jelas dan komitmen kuat dari pemerintah, diharapkan koperasi di Indonesia dapat berkembang menjadi tulang punggung perekonomian nasional, sesuai dengan cita-cita para pendiri bangsa. (Ali)





























