Pilkada Melawan Kotak Kosong, Bentuk Demokrasi Tak Bermanfaat

Pilkada Melawan Kotak Kosong, Bentuk Demokrasi Tak Bermanfaat
* [20/9 21.47] Arief Sofiyanto: Tambang batubara. (Antara) [20/9 21.55] Arief Sofiyanto: Ilustrasi kotak kosong. (Antara)

Oleh: Prihandoyo Kuswanto, Ketua Pusat Studi Rumah Pancasila

Gegap gempita nya pilkada di daerah rakyat mulai muak dengan segala rekayasa politik pilkada bukan digiatkan mencari pemimpin yang benar-benar memikirkan masa depan bangsa dan negaranya , tetapi melanggengkan dinasti kekuasaannya.

Demokrasi dengan ongkos yang mahal dan menghalalkan segala cara hanya golongan kaum borjuis dan koruptor pun bisa mencalonkan, yang penting bisa bayar dan banyak uang. Bisa membeli demokrasi mbelgedes.

Demokrasi yang sedang dijalankan di negeri ini adalah demokrasi super liberal demokrasi pasar bebas alias demokrasi “mbelgedes” , juga bukan demokrasi yang bener sebab demokrasi dioplos dengan amplop, sembako, intimidasi, politik sandera, kongkalingkong, serangan fajar, kaos, dan secara masif blantik-blantik demokrasi liberal kacung dari oligarki terus beroperasi untuk memenangkan calonnya dengan menghalalkan segala cara .

Blantik-blañtik politik terus melakukan rekayasa mulai dari mendatangkan konsultan politik diramu dengan jajak pendapat, dan yang lebih canggih menggunakan media darling, dan kecurangan bagian dari strategi merampok kedaulatan rakyat dengan buzer yang siap mengadu domba, fitnah, segala kebencian pecah belah terhadap rakyat, racun ini terus ditebar buzer terhadap rakyat.

Guru besar dan intelektual kampus pun sudah tidak menjadi tempat memberi solusi tetapi ikut larut di dalam demokrasi liberal dan mendukung demokrasi “mbelgedes”, tanpa malu melakukan deklarasi di kampus-kampus dengan mengangkat isu demokrasi telah mati .

Demokrasi liberal semakin banyak macam oplosannya akan memabukkan, dan lama untuk menjadi sadar, dan akan siuman sudah terlambat bisa terkubur karena over dosis atau sadar menjadi linglung. Itulah gambaran terhadap keadaan bangsa kita hari ini oligarki politik menjadi jama, negara kekeluargaan diterjemahkan kekuasaan untuk keluarga, anak, mantu, ponakan, bude, pakde, sepupu, menjadi pengurus partai dan menjadi kepala daerah tidak segan yang penting menang suara terbanyak. Demokrasi yang tidak berpijak pada jatidiri bangsa.

Yang paling baru adalah melawankan calon dengan bumbung kosong atau kotak kosong. Kebenaran apa lagi yang kita dustakan.

Jadi manusia dilawankan pada benda mati. Inilah yang mereka katakan demokrasi kalau saja kotak kosong kita ganti dengan patun, atau kodok, atau sapi, anjing, tikus boleh kan? Artinya pilkada dengan melawan bumbung kosong adalah demokrasi yang tidak bermartabat.

Padahal para pendiri negeri ini mengajarkan demokrasi Pancasila ďemokrasi dengan martabat Kemanusiaan Yang Adil dan beradab, menjaga persatuan bangsa, bermusyawarah yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan, dan bertujuan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dan semua itu ditujukan semata mata mencari ridho Ketuhanan Yang Maha Esa demi keselamatan dunia akherat bangsanya.

Yang lebih heran para ulama dan kiai tetap saja mendukung demokrasi liberal ini, padahal dengan demokrasi liberal ini Islam sedang dalam pelapukan yang akan disekulerkan. Oleh sebab itu, agar tidak ribut disogok dengan konsensi tambang. Padahal ini pelanggaran Konstitusi. Bumi air dan kekayaan di dalamnya dikuasai oleh negara dan sebesar-besar nya untuk kemakmuran rakyat.

Semoga pemimpin umat Islam ini sadar bahwa urusan pertambangan itu urusan negara, dan justru harusnya NU dan Muhammadiyah yang mempunyai negara ini berani mengingatkan jika terjadi penyelewengan dan penggarongan bukan justru ikut larut dalam penggarongan kekayaan ibu pertiwi.

Tidak ada jalan terbaik untuk menyelamatkan bangsa ini kecuali melakukan Sumpah Pemuda Kembali menegakkan Negara Proklamasi 17 Agustus 1945 yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 kembali merebut kedaulatan rakyat. []