20.000 Pasukan Berani Mati Bikin Chaos, Keluar Dekrit Presiden: Prabowo Gigit Jari?

20.000 Pasukan Berani Mati Bikin Chaos, Keluar Dekrit Presiden: Prabowo Gigit Jari?
* Arief Sofiyanto. (ist)

Oleh: Arief Sofiyanto, Wartawan Senior 

33

Aneh bin ajaib. Tiba-tiba muncul kabar diduga bakal ada 20.000 pasukan berani mati bela Jokowi yang akan bergerak pada 22 September atau sebulan jelang Presiden Jokowi lengser pada 20 Oktober 2024 dan pelantikan presiden terpilih Prabowo Subianto. Semoga hanya melempar isu untuk menakut-nakuti masyarakat sekaligus test the water. Andaikan benar ada gerakan pasukan berani mati ini, maka bisa mengganggu bahkan menggagalkan transisi pemerintahan dari Presiden Jokowi ke presiden terpilih Prabowo.

Rencananya apel akbar pasukan berani mati bela Jokowi akan digelar pada 22 September 2024 di Tugu Proklamasi, Jakarta. Koordinator Pasukan Berani Mati Pembela Jokowi, Sukodigdo Wardoyo, membenarkan bahwa pasukannya siap menghadapi aksi unjuk rasa yang melakukan penghinaan terhadap Presiden Jokowi. “Kami siap menghadapi demonstran anti-Jokowi,” tegas Sukodigdo dalam pernyataannya kepada wartawan pada Sabtu (24/8/2024).

Hal ini pun mendapat reaksi dan tanggapan dari berbagai tokoh. Di antaranya Ketua Majelis Syura Partai Ummat, Amien Rais, lewat akun YouTube-nya, Selasa (10/9/2024), menuding rencana apel pasukan berani mati Jokowi menjadi indikasi sang presiden tengah kalap. Bila benar, mantan Ketua MPR ini mempertanyakan siapa pendana utama gerakan sebesar itu.

Pemerhati politik dan Kebangsaan Rizal Fadillah mengingatkan umat Islam, TNI dan bangsa Indonesia harus waspada atas pergerakan ini. Tentu tidak persis sama dengan Gerakan 30 September PKI tahun 1965 tetapi potensial ada irisan.

Jika aksi “G 22 S Jokowi” serius dan merupakan potensi dari pembentukan pasukan angkatan kelima maka elemen gerakan umat Islam tentu siap untuk mengantisipasi dan menghadapinya. Sebagaimana peristiwa tahun 1965 maka penghianatan PKI dihadapi serius di samping oleh TNI juga oleh umat Islam.

Semoga presiden tidak mengarahkan Kapolres dan Kapolsek untuk melakukan pembiaran terhadap pasukan berani mati bela Jokowi. Sebab, itu sama saja dengan membiarkan pelanggaran hukum. Dan Kapolri justru seharusnya wajib untuk memerintahkan anak buahnya mencegah gerakan di luar konstitusi dan menyimpang dari kaidah demokrasi tersebut. Sesuai dengan tugas Polri harus melayani ketertiban dan keamanan masyarakat. Maka hukumnya haram untuk membiarkan bahkan mendukung gerakan yang bisa berakibat terjadinya konflik horisontal dan situasi buruk yang berujung negara chaos. Polri harus menyelidiki dan menindak siapa pun elite yang terlibat di belakang gerakan yang bikin kacau serta merusak kedamaian dan stabilitas negara tersebut. Sekalipun oknum pejabat negara maupun oligarki yang terlibat harus ditindak Polri sebagai tugas dan tanggung jawabnya.

Yang perlu diwaspadai mengapa jelang pelantikan Presiden terpilih 2024, terjadi rencana Apel Akbar 20.000 ribu pasukan berani mati bela Jokowi serta permintaan maaf Presiden Jokowi pada orang-orang PKI dan anak turunannya terkait peristiwa pemberontakan G 30 S PKI, sekaligus pencabutan Tap MPRS XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno oleh Ketua MPR Bambang Soesatyo.

Pencabutan Tap MPRS tersebut, menurut praktisi politik Dr.Rahman Sabon Nama, telah menjadi fakta sejarah baru di mana terjadi alur sejarah memperkuat pendapat publik bahwa akhirnya diduga Rezim yang diboncengi “PKI Gaya Baru” sekaranglah yang menang. “Situasi tersebut di atas dapat mengganggu polkamnas yang berdampak pada gagalnya pelantikan presiden terpilih Prabowo pada 20 Oktober 2024,” tegasnya.

Rakyat Berat Melawan Oligarki

Memang NKRI saat ini dikuasai oligarki yang bisa mengatur segalanya di negeri ini. Pejabat di Indonesia seperti manut atau menjadi boneka oligarki. Maka tidak heran, apalagi mereka yang membiayai 20.000 pasukan berani mati membela Jokowi. Oligarki duitnya tidak berseri. Gerakan rakyat berat melawan oligarki, apalagi melawan oligarki rakus model Qarun, oligarki di era Raja Firaun. Pada saat bergerak, bisa saja ada komplotan pasukan yang melawan pasukan berani mati dan itu pun dibiayai oleh oligarki. Tujuannya agar kedua kubu pasukan tersebut bentrok sehingga terjadi chaos jika aparat melakukan pembiaran.

Jika situasi chaos tak terkendali, rusuh dan terjadi konflik horisontal, maka Jokowi mengeluarkan Dekrit Presiden untuk berkuasa dengan alasan mengendalikan keadaan dalam batas waktu yang tidak ditentukan. Dalam hal ini, Jokowi bisa berkuasa terus untuk tiga periode. Prabowo pun gigit jari, meski sudah berstatus sebagai presiden terpilih tinggal tunggu pelantikan. Tampaknya, BIN perlu antisipasi agar tidak terjadi chaos.

Sudah menjadi rahasia umum, nafsu Jokowi untuk berkuasa tiga periode sudah terungkap di antaranya pernah ditolak oleh ketua umum PDIP Megawati Soekarnoputri. Tampaknya, ambisi  Jokowi untuk berkuasa tiga periode terlihat saat  apel kepala desa se-Indonesia di Gelora Bung Karno, meniru semacam kebulatan tekad era Presiden Soeharto yang mendukung untuk terus berkuasa.

Kemudian Jokowi diduga menyuruh para menteri di antaranya Bahlil Lahadalia untuk menyatakan mendukung Jokowi tiga periode. Lalu Jokowi mencoba melalui PDIP ingin dirinya menjadi presiden tiga periode, tapi ditolak oleh Megawati. Saat pandemi Covid-19 dulu Jokowi juga berhasrat untuk memperpanjang pemerintahannya 2 – 3 tahun, dengan alasan situasi dalam keadaan “tidak normal”. Namun, kemauan Jokowi ini ditolak oleh berbagai pihak, hingga akhirnya tetap dilaksanakan Pemilu 2019. Belakangan Partai Prima yang diduga disuruh Jokowi menggugat perdata Pemilu 2024. Aneh, keputusan yang lebih tinggi digugat perdata di pengadilan negeri.

Pakar psikologi politik David G. Winter mengungkapkan, pemimpin yang efektif dalam sistem demokrasi adalah yang memahami pentingnya proses transisi kekuasaan yang damai. Ketidakmampuan seorang pemimpin untuk menerima akhir masa jabatannya dapat menimbulkan krisis politik dan mengarah pada situasi yang berbahaya, seperti munculnya milisi atau gerakan-gerakan ekstrem yang bertujuan mempertahankan status quo.

Dalam hal ini, gerakan seperti “Pasukan Berani Mati” sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip kepemimpinan demokratis. Penggunaan ancaman kekerasan atau milisi untuk mempertahankan pemimpin hanya akan memperburuk kondisi sosial-politik, menciptakan ketegangan, dan merusak fondasi demokrasi yang seharusnya dijaga dengan baik.

Oleh karena itu, apabila ada oknum tokoh atau elite pemerintah dan organisasi yang terlibat dalam gerakan 22 September tersebut dengan tujuan bikin chaos, tindakan tegas harus diambil Polri tanpa ada pengecualian. Kalau benar bahwa gerakan 22 September tersebut bukan kehendak Jokowi maka sang Presiden tersebut harus mencegahnya dan membubarkannya. Jika sudah ada kabar di berbagai media tetapi ternyata gerakan 22 September nantinya tetap berlangsung maka ada dugaan presiden terlibat di dalamnya.

Sebagai pemimpin yang berada di akhir masa jabatannya, Presiden Jokowi tidak boleh diam dan membiarkan adanya gerakan tersebut. Di tengah transisi kekuasaan, seorang presiden harus menunjukkan keikhlasan dalam melepas jabatannya dan mendukung proses demokrasi yang baik. Bukan sengaja menghindar dari ancaman hukum terhadap kasus-kasus pidana dirinya lantas membuat kekacauan sehingga negara chaos. Kalau di luar negeri, pejabat yang terlibat kasus hukum menyerah untuk diadili, bahkan pejabat di Jepang bunuh diri (harakiri) karena memiliki rasa malu dan tanggung jawab terhadap rakyatnya. Bukan pejabat yang urat malunya sudah putus alias muka tembok.

Maka, Presiden Jokowi harus menunjukkan sifat ksatria di akhir masa jabatannya. Siap dipuja tapi juga harus siap diadili apabila ada kasus-kasus hukum yang menyeret dirinya. Bukan malah menciptakan perpecahan di kalangan masyarakat dengan membentuk pasukan berani mati bela dirinya. Memang di akhir masa jabatannya, Jokowi dan keluarganya banyak terlibat dugaan kasus hukum. Di antaranya kasus “tambang Medan” yang melibatkan anak dan menantu Jokowi, dan lain-lain.

Pengamat politik Ahmad Khozinudin menilai, skenario menggagalkan Prabowo naik tahta Presiden masih pula menjadi opsi politik pertahanan terakhir Jokowi. Tidak jelasnya kedudukan ibu kota, di mana Jakarta sudah diubah statusnya sebagai DKJ, sementara IKN belum resmi jadi ibu kota menunggu Perpres, disinyalir adalah cara untuk menggantung Prabowo agar tak bisa dilantik. Mengingat pelantikan Presiden harus dilaksanakan di ibu kota.

Tampaknya, keluarga Jokowi makin memberatkan posisi Jokowi. Dari Kaesang yang pamer kemewahan, diikuti heboh akun Fufufafa yang disinyalir adalah Gibran. Belum lagi seputar orang di lingkaran Jokowi yang sudah mulai menjaga jarak, menjadi informan, dan siap-siap lompat sekoci penyelamatan diri. Dinding istana telah berubah menjadi alat rekam kegiatan Presiden, yang dapat didengar oleh seluruh rakyat.

Tuntutan penjara pasca lengser, apalagi dilakukan sebulan jelang lengser, membuat posisi Jokowi makin terjepit. Jokowi tak memiliki ruang gerak, di tengah tuah kekuasaannya yang makin tak digdaya jelang lengser.

Seyogianya demi persatuan Indonesia, Jokowi wajib menjaga negara ini berlangsung damai dalam masa transisi kepimpinannya. Tapi jika benar pada 22 September 2024 ada aksi gerakan 20.000 pasukan berani mati, yang disinyalir adalah pendukung bayaran Jokowi dan diskenariokan akan terjadi bentrok dan chaos besar-besaran, bisa jadi inilah yang di maksud dengan Gerakan G-22.S. Gerakan ini patut diduga untuk memancing chaos. Ujungnya, Jokowi akan mengeluarkan Dekrit Presiden 22 September, yang akan membatalkan pelantikan Presiden pada tanggal 20 Oktober 2O24. Prabowo sebagai presiden terpilih pun harus gigit jari? (***)