Memperkosa Dalil, Modus Baru Parpol Menggiring Rakyat Masuk ke TPS

Memperkosa Dalil, Modus Baru Parpol Menggiring Rakyat Masuk ke TPS

Oleh: Ahmad Khozinudin, Pemerhati Politik dan Kebangsaan 

Setelah gagal menggiring pemilih untuk nyoblos semua agar Pilkada tetap legitimate, kini parpol mencoba cara lain agar bisa menggiring rakyat masuk ke TPS. Oligarki dan parpol sadar jika rakyat golput maka pesta mereka bisa bubar.

Bandar politik akan rugi, dan parpol gigit jari. Jualan janji palsu mereka tidak akan laku. Langit yang akan diatapi laut akan diaspal, seluruh trah semut akan dibangunkan rumah menjadi basi.

Lalu ditiupkan jampi-jampi untuk mendukung calonnya. Misalnya pendukung RK meminta agar rakyat tetap datang dan mencoblos RK, agar kekuasaan tidak diambil PDIP. Yang pendukung Pramono juga sama, minta rakyat mendukung Pramono agar kekuasan tidak dikendalikan kartel politik KIM Plus dan rezim Jokowi.

Padahal? Semuanya sama. Sama-sama berkhianat pada rakyat, dengan memenggal calon dukungan rakyat.

Lalu, karena mayoritas pemilih adalah umat Islam, mulai dijual dalil yang diperkosa. Dalihnya “Akhafu adh-Dhararain”. Kaidah Syara’ yang Mu’tabar ini diselewengkan, diperkosa, demi tujuan menggiring rakyat masuk ke bilik TPS.

Katanya, ini darurat. Daripada ambil darurat yang lebih besar, lebih baik ambil yang lebih ringan.

Anehnya, dalil ini tidak digunakan oleh partai untuk menolak calon pilihan oligarki dan rezim yang mengandung dharar (bahaya), dan mengambil calon pilihan rakyat yang lebih maslahat.

Di Pilkada Jakarta, misalnya. Semestinya, dengan kaidah “Akhafu adh-Dhararain”, PKS lebih memilih mengusung Anies ketimbang RK, yang diusung KIM Plus. Apalagi pasca putusan MK, PKS sangat mungkin mengusung Anies maju sendiri tanpa perlu berkoalisi.

PDIP juga sama, pasca putusan MK bisa mengusung Anies. Tapi ujungnya PDIP ngeprank Anies dengan dalih ada intervensi Mulyono. Kok jadi lemah amat ini partai.

Dalam konteks dakwah, Pilkada atau Pemilu juga bukan satu-satunya pilihan berjuang. Masih ada perjuangan dengan dakwah, untuk menegakkan syariah danm khilafah. Kenapa musti mengambil dharar (bahaya) demokrasi?

Lagi pula dalil “Akhafu adh-Dhararain” itu ditempatkan pada situasi darurat yang jika tidak mengambil pilihan akan menyebabkan kematian. Misalnya d itengah hutan mengalami kelaparan yang luar biasa, yang tersisa hanya bangkai. Meskipun bangkai haram, pada kondisi tersebut menjadi makruh, boleh dimakan sekadar untuk menghindari kematian karena lapar, sampai bertemu dengan makanan yang halal.

Dalam konteks Pilkada ini tidak nyambung. Tidak ada dharar yang berdampak pada kematian. Tidak ikut nyoblos, golput, tidak akan mati.

Lagi pula mereka selalu memakan bangkai dan darah demokrasi dengan dalih darurat. Padahal mereka mencari hidup dari demokrasi bukan karena darurat, tapi karena syahwat kekuasaan.

Sudahlah, capek ke TPS. Apalagi ditipu dengan modus ‘darurat’ versi politisi. Bagi politisi tidak ada standar halal haram, semua bisa digalakkan untuk mencapai tujuan. Ini yang musti kita catat. []