Manajemen Lapas

Oleh: Agun Gunandjar Sudarsa, Anggota Komisi XI DPR RI, Anggota Balai Pertimbangan Pemasyarakatan Kemenkumham, dan mantan petugas Lapas kelas I Tangerang Selama manajemen pemasyarakatan tidak patuh kepada kaidah-kaidah keilmuan, utamanya terhadap teori dan prinsip pengorganisasian atas urusan-urusan pemerintahan di lingkungan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), selama itu pula permasalahan yang ada dan selalu saja terjadi. Hingga kejadian baru baru ini di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin Bandung, akan disusul kejadian-kejadian berikutnya. Bahkan tidak menutup kemungkinan akan lebib heboh (gaduh). Permasalahan di lapas harus didekati secara legal dan faktual dari posisi dan fungsinya sebagai bagian dari sistem peradilan pidana terpadu. Secara teoritis narapidana adalah manusia biasa yang juga memiliki kebutuhan, seperti diutarakan Maslow, bahwa penjara adalah "miniaturnya negara". Baik atau buruknya kondisi kehidupan masyarakat suatu negara dapat dilihat dan tercermin adanya di penjara. Kriminalitas yang tinggi tercermin dari kuantitas dan kualitas isi penghuni penjara. Seperti saat sekarang ini tindak pidana narkoba yang tinggi berkorelasi dengan isi penjaranya. Over kapasitas yang terjadi menandakan negara belum mampu mengatasi masalah kriminalitas, masalah narkoba, yang selanjutnya bisa ditarik dengan jumlah pengangguran, serta permasalahan sosial lainnya. Untuk itu upaya penanganan segala bentuk permasalahan di lapas harus dipecahkan secara komprehensif yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan, mulai dari sistem peradilan pidananya, peran pemerintah, masyarakat hingga keluarganya. Pendekatan retributif, detterence (penjeraan), rehabilitasi dan resosialisasi telah lama gagal diterapkan di berbagai negara. Doktrin-doktrin pemidanaan tersebut digantikan oleh doktrin reintegrasi sosial, dengan tujuan pemulihan kembali kesatuan hubungan "hidup-penghidupan-kehidupan" antar napi dengan keluarga dan masyarakat, tanpa menghilangkan aspek derita/hukumannya. Dalam perkembangan hukum dikenal dengan "Restorative Juctice". Karena penjara tidak pernah mampu memberi jaminan perilaku warga binaannya menjadi lebih baik, apabila penanganan perilakunya serta pelaksanaan manajemen organisasi lapasnya tidak tepat atau tidak bersesuaian dengan kaidah-kaidah keilmuan pemasyarakatan dan prinsip-prinsip manajemen. Unsur manajemen harus lengkap adanya, mulai dari tata kelola sumber daya manusia, keuangan, mesin, metode, hingga materialnya. Begitu juga dengan fungsi-fungsinya, mulai dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaaan hingga pengawasannya. Harus dalam satu tangan, sehingga jelas pertanggungjawabannya. Kepala lapas (kalapas) harus mendapat kewenangan diskresi yang cukup, dengan tetap wajib dipertanggungjawabkan, karena apa pun yang terjadi terkait dengan lapas itu menjadi tanggung jawabnya secara penuh. Adanya pemberontakan, kerusuhan, keseharian narapidana, kecukupan air, makan, kesehatan serta aktivitas atau kejadian lainnya yang terjadi di dalam lapas, seperti narapidana sakit hingga hilangnya nyawa napi, itu tanggung jawab penuh kalapas. Maka pemahaman tentang doktrin dan tujuan pemidanaan, posisi dan fungsi pemasyarakatan dalam sistem peradilan pidana terpadu, restorative justice, pemahaman tentang kehidupan dalam penjara, kesakitan dalam pemenjaraan seperti yang diutarakan Prof Sykes, yang diakibatkan pola hubungan interaksi antar sesama napi, sesama pegawai, antar napi dan pegawai baik yang bersifat formal maupun informal. Harus dipahami secara benar. Kesemuanya itu membutuhkan manajemen penjara yang tepat, mulai dari unit tertinggi dalam hal ini Ditjen Pemasyarakatan sampai dengan Unit Pelaksana Teknis (UPT)-nya dalam hal ini lapas dan rutan. Yang secara hierarkis harus tergambarkan fungsi-fungsi manajemen tersebut secara tepat, mulai dari perencanaan hingga pengawasan dalam struktur organisasi berjenjang yang memadai. Berkenaan dengan yang terjadi di Lapas Sukamiakin, untuk terapi awal di mana respons publik yang begitu negatif, Menteri Hukum dan HAM perlu membuat kebijakan baru guna memberi ketegasan tentang boleh atau tidaknya diizinkan atas sejumlah benda, barang, sarana dan prasarana yang ada dan beredar dalam lapas dan dianggap sebagai barang "mewah". Seperti HP, laptop, AC, dispenser, toilet, kamar, saung, dan sebagainya. Hal ini dibutuhkan bagi petugas di lapangan agar ada jaminan dan perlindungan hukum dalam menegakkan aturan untuk ketertiban di dalam lapas. Yang kedua berikan kewenangan penuh kepada Dirjen Pemasyarakatan dalam tata kelola SDM pemasyarakatan tanpa mengubah pola organisasi yang ada, melalui penempatan lapas kelas I atau lapas khusus dari yang semula di bawah kakanwil dipindahkan menjadi unit yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada menteri cq Direktur Jenderal Pemasyarakatan. (***)