
Jakarta – Struktur Rancangan APBN (RAPBN) 2015 yang baru disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) akan menimbulkan banyak masalah terhadap pemerintahan baru mendatang, dalam hal ini pemerintahan PDI Perjuangan (PDIP) bilamana Jokowi-JK nanti dilantik pada Oktober 2014. Di antara masalah yang akan menjadi kendala bagi pemerintahan baru itu adalah sempitnya ruang gerak fiskal-moneter dalam RAPBN 2015. Seperti yang disampaikan Anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR RI dari Fraksi PDIP, Nusyirwan Soejono, meski penyusunan RAPBN 2015 masih bersifat baseline, tetap saja pemerintahan baru akan mengalami kesulitan untuk mewujudkan program-program utamanya bila rancangan itu tetap diteruskan.
Dicontohkan, RAPBN 2015 mengandung beban besar berupa subsidi energi sebesar Rp 363,5 triliun dan pembayaran bunga utang Rp 154 triliun. “Ini adalah problem yang dihibahkan kepada Pemerintahan baru nanti,” tandasnya usai pidato kenegaraan Presiden SBY di gedung MPR/DPR/DPD RI, Jumat (15/8/2014). Ia pun mengusulkan agar RAPBN 2015 perlu diperbaiki dengan melaksanakan penajaman atau prioritas program. Selain itu, harus dilakukan upaya-upaya mengurangi hambatan koordinasi dan lamanya pengambilan keputusan. “Dengan begitu, akan diperoleh efisiensi biaya dan waktu yang akhirnya menghasilkan program yang berkualitas,” terangnya.
Secara garis besar, Presiden SBY sudah menyampaikan postur RAPBN 2015 memasukkan total pendapatan negara mencapai Rp 1.762,3 triliun. Itu terdiri atas penerimaan perpajakan sebesar Rp 1.370,8 triliun, PNBP sebesar Rp 388 triliun dan penerimaan hibah Rp 3,4 triliun. Sementara total belanja negara mencapai Rp 2.019,9 triliun. Itu terdiri atas belanja pemerintah pusat sebesar Rp 1.379,9 triliun dan transfer ke daerah dan dana desa sebesar Rp 640 triliun. Defisit anggaran dalam RAPBN 2015 adalah sebesar Rp 257,6 triliun atau 2,32 persen terhadap PDB, turun dari defisit APBNP 2014 sebesar 2,4 persen terhadap PDB.
Nampaknya, baseline budget yang dipaparkan Presiden SBY dalam Pidato Penyampaian RUU APBN 2015 beserta Nota Keuangan, sulit terpenuhi. Pasalnya, SBY hanya memperhitungkan kebutuhan pokok penyelenggaraan pemerintahan sehingga akan memberikan ruang fiskal yang luas kepada pemerintahan baru. “Baseline budget yang hanya terbatas pada alokasi belanja senilai Rp 1.762 triliun, sama dengan besaran pendapatan negara, yang tanpa defisit. Dalam RAPBN 2015, anggaran belanja telah mencapai defisit sebesar Rp 257,5 triliun, yang disebabkan karena belanja program-program Pemerintahan SBY yang mendominasi RAPBN 2015,” ungkap Anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi PDIP, Dolfie OFP, Sabtu (16/8).
Menurut Dolfie, ruang fiskal bagi pemerintahan baru dapat diperoleh apabila dilakuan realokasi dan penajaman program kementerian atau lembaga di luar belanja untuk pegawai. Dalam RAPBN 2015, belanja kementerian dan lembaga mencapai Rp 600 triliun, sehingga review dan realokasi dapat dilakukan terhadap anggaran di luar belanja pegawai yang diperkirakan mencapai Rp 323 triliun. Realokasi ini, menurutnya, dapat dilakukan apabila ada political will dari Pemerintah SBY untuk memberikan kesempatan dalam Pembahasan RAPBN di DPR RI untuk dilakkukan realokasi program sesuai dengan Kebijakan Pemerintahan Baru.
Tanpa political will ini, lanjut dia, maka pemerintahan baru tidak akan dapat bekerja optimal. “RAPBN 2015 yang mencapai nilai Rp 2.019 triliun tetapi miskin program-program stimulus menjadi indikasi bahwa pembangunan selama ini belum menghasilkan landasan ekonomi Indonesia yang kuat. Alokasi belanja APBN masih ditujukan untuk menjaga stabilitas indikator makro ekonomi daripada etimulus rkonomi untuk mempercepat pembangunan,” jelasnya. (Pur)