Kamis, 28 Maret 24

Breaking News
  • No items

Ranté Kapal dan Iwak Babi

Ranté Kapal dan Iwak Babi

(Mewaspadai Ahistorisitas)
Oleh: Emha Ainun Nadjib, Budayawan

 

Kalau tidak salah dulu dalam pembelajaran akademik sastra, ada yang disebut teori strukturalisme. Saya tidak terlalu yakin. Tetapi seingat saya maksud teori itu adalah keseyogiaan bagi para kritikus atau teoretikus sastra untuk mempelajari latar belakang kehidupan sastrawannya, supaya lebih memiliki kelengkapan dalam memahami karya sastranya.

Ini saya pakai untuk memberi saran kepada para pembaca, dengan logika balik: untuk menyempurnakan kewaspadaan kepada potensi kontra-produktif tulisan-tulisan saya. Demi kemaslahatan bersama, saya bukakan sebagian dari riwayat hidup saya yang mendukung kewaspadaan itu.

Tentu saja kebanyakan tulisan-tulisan saya yang sampai ke Anda bukanlah karya-karya sastra. Tetapi teori strukturalisme itu tampaknya relevan untuk dipakai. Apalagi muatan tulisan-tulisan saya serabutan, campur aduk, silang sengkarut, tidak ada disiplin, tanpa pemilahan dan penentuan koridor tematik yang akademis. Berlompatan dan jungkir balik semaunya.

Tulisan saya sering memilih kosakata yang tidak lazim tanpa saya terangkan supaya nyambung ke kaidah umum. Sering ada idiom yang langka tanpa dijelaskan titik berat dan lingkup konteksnya. Seorang teman intelektual dan budayawan Makassar di tahun 1980-an mengatakan “kita tidak tahu orang ini alamatnya di mana, karena yang dia tulis adalah hubungan antara tutup botol dengan Tuhan, atau kaitan antara pasir dengan keabadian…”

Kalau seolah-olah saya menulis soal politik, lantas ada Ranté Kapaluarit dan Iwak Babintangsabit, tidak berarti itu terkait dengan berulangnya sejarah awal 1960-an di mana Bung Karno menolak membubarkan PKI, dan malah membubarkan HTI — eh…Masyumi maksud saya. Meskipun nanti tidak mustahil bisa kita saksikan lagi beda antara NU dengan Nahdliyin, dalam polarisasi politik yang semakin memadat dan menajam. Juga berulangnya terus tidak adanya pembelajaran untuk membedakan antara PKI, dengan pengurus PKI, dengan rakyat PKI, serta dengan komunis. Apalagi sampai ke komunisme, komunitas, komunalitas.

Jangan andalkan kata-kata apapun dari saya. Sebab saya tidak punya profesi, tidak menempuh karier, tidak berada dalam suatu koordinat sosial apapun dan manapun yang tertentu. Saya hanya pejalan kaki, yang kalau ada truk mogok butuh didorong, saya ikut mendorong. Kalau ada tabrakan, saya ikut mengangkat korbannya. Kalau ada pengamen, saya menyapanya. Kalau ada pengemis kelelahan berdiri, saya menemaninya duduk.

Maka puluhan tahun saya mengerjakan semacam tugas cendekiawan, padahal saya tidak kredibel secara intelektual dan keilmuan. Saya berkeliling ke ribuan tempat mengerjakan tugas-tugas Ulama atau Kiai, tanpa memiliki modal keilmuan serta multi-komponen apapun yang membuat saya muwaffaq berada pada fungsi Ulama atau Kiai.

Juga puluhan tahun di mana-mana saya disuruh menjadi pelaku pendidikan politik, pendidikan kesenian dan kebudayaan, pendidikan kependidikan itu sendiri. Atau menjadi semacam dukun, semacam pemadam kebakaran, semacam keranjang sampah, semacam Mursyid serta semacam-semacam lainnya. Saya hanya semacam manusia atau manusia semacam.

Secara sembrono pula saya lakukan itu semua tanpa bekal-bekal yang memadai. Sehingga faktanya masyarakat umum maupun lembaga-lembaga ekspertasi – tidak bisa mengidentifikasi dan mengkategorikan saya sebagai itu semua. Kasarnya: tidak ada tempat tertentu untuk saya.

Apalagi riwayat pendidikan saya sangat buruk. Boleh dikatakan antara saya dengan pendidikan saya tidak ada sejarah ilmu. Tidak ada tahap-tahap pembelajaran. Tidak ada eskalasi pengetahuan, pemahaman, pengertian, pendalaman dan peluasan, serta penguasaan. Tidak ada disiplin evolusi dari tadris, ta’lim, tafhim, ta’rif sampai ta`dib. Tidak ada pemuaian kaifiyah, thariqah, metodologi dan ragam pandang: sudut, sisi, lingkar, jarak dan resolusi pandang. Apalagi sampai ke level dlouq, susastra, ngeng, vibrasi, cengkok. Baur dan tidak jelas apakah berpikir linier, zig-zag, cekungan, cembungan, siklikal, atau thawaf.

Maka tulisan-tulisan saya tidak memiliki sanad dan matan untuk bisa diandalkan. Apalagi saya bermasalah dengan setiap sekolah yang saya masuki. Ada Sekolah yang saya selalu bentrok, bahkan secara fisik, dengan Guru. Ada Sekolah yang saya tidak diperbolehkan masuk kelas. Ada Sekolah yang saya dikeluarkan. Ada Pesantren yang saya diusir. Baru ngapalin sejumlah kata-kata mutiara dan pelajaran dasar Bahasa Arab, belum Grammar-nya, belum Nahwu Sharaf-nya, belum Balaghah atau Pelajaran-pelajaran serius lainnya – saya diusir perkara sendal jepit saya dicuri Kepala Keamanan Rayon, terus para Santri pada demo membela saya. Bakat sepakbola dan qiro’ah saya terbengkalai, karena sesudah itu hidup saya begadang di Malioboro.

Ada Sekolah yang saya menjadi perkara. Tugas saya sebagai Ketua OSIS dengan Busyro Muqoddas sebagai Sekretaris saya, membuat saya bertengkar dengan Guru yang memarahi saya karena kegiatan OSIS yang sangat aktif berbenturan dengan jam-jam kelas. Saya menemui Kepala Sekolah, saya robek buku urusan OSIS saya dengan menyatakan mundur dari tugas – yang saya sendiri tidak pernah menginginkannya dan tidak mencalonkan diri, namun didaulat oleh teman-teman dan saya menang mutlak.

Ditambah sejumlah pertentangan lain dengan Guru, akhirnya saya keluar, tapi kemudian masuk lagi karena mempertimbangkan agar Ibu saya tidak terlalu bersedih. Saya sowan Kepala Sekolah agar diperbolehkan masuk lagi, dengan ongkos harga diri saya. Terakhir saya diluluskan dari SMA meskipun nilai ujian akhir saya jauh di bawah standar. Karena pihak Sekolah memilih untuk tidak perlu repot setahun lagi meladeni saya.

Dan terakhir saya masuk Universitas yang setelah 4 bulan saya memutuskan untuk berhenti kuliah. Pada hari pertama ujian Semesteran, saya kerjakan soal-soal Accounting: itung-itung siapa tahu berguna untuk Yaumul Hisab kelak di akhirat: kalkulasi pahala dosa sebelum Sorga atau Neraka.

Hari kedua ujian Ekonomi Perusahaan. Saya duduk mengerjakan soal hanya 4 menit, berdiri menyerahkan hasilnya kepada Dosen yang menjaga. Saya berbisik dekat ke telinga beliau: “Pak, saya takut pinter ekonomi. Nanti hidup saya jadi fokus ekonomi, terus menjadi kenikmatan primer hidup saya. Lantas terpaksa menjadi konglomerat, yang “nyangking” Indonesia di tangan kiri dengan saya jepit antara jempol dan jari telunjuk. Ah, saya pekewuh dong ama Tuhan…”

Wajah Dosen saya tampak bingung. Segera saya ralat: “Nggak-lah Pak. Aslinya begini: mustahil saya mampu mengerjakan soal-soal ini. Saya buta huruf soal-soal begini. Saya tahu diri. Jadi saya mau pindah saja dari Universitas Gadjah Mada ke Universitas Malioboro”.

Sekarang Anda tahu sebagian riwayat kependidikan saya. Jadi pada hakikatnya ribuan tulisan yang saya hasilkan selama 40 tahun ini hanyalah alat untuk menutupi ketidakterdidikan saya.

Bahkan sebenarnya yang juga perlu dikritisi adalah keberadaan saya ini sendiri. Mijetin orang tapi bukan tukang pijit. Menghibur orang tapi bukan penghibur. Berorasi tapi bukan orator. Pengajian tapi bukan Kiai. Presentasi ilmu tapi bukan ilmuwan. Workshop dolanan anak-anak tapi bukan Guru PAUD. Mengobati tapi bukan penyembuh. Selawatan tapi bukan Nahdliyin. Ijtihad tapi bukan Muhammadiyin. Berceramah tapi bukan penceramah. Berseminar tapi bukan cendekiawan. Disuruh mendoakan tapi bukan Ulama. Mendidik tapi bukan pengajar. Dan macam-macam lagi. Yang paling perlu di-awat-awati adalah nasab saya. Keluarga jenis dan golongan apa asal-usul saya. Iya kalau PKI, tapi kalau ternyata Masyumi: bagaimana dong.

Yang sering dibawakan oleh KiaiKanjeng juga tidak jelas: “Yo dolan nang Demak Ijo ayo jo, jothakanku ayo ku, kusir jaran ayo ran, ranté kapal ayo pal, Palu Ariiiit PKI ayo i, iwak babi ayo bi, Bintang Sabiiiiit Masyumi ayo mi, Minakjinggo ayo nggo, nggodhog telo ayo lo, Londo mendem ayo ndem, ndemok Siliiiiit gudhiken!…

Perth, 24 September 2017

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.