Sabtu, 20 April 24

Putusan Praperadilan Acuhan Hukumnya Tidak Jelas

Putusan Praperadilan Acuhan Hukumnya Tidak Jelas

Jakarta, Obsessionnews – Maraknya sidang praperadilan yang dimotori oleh mantan calon Kapolri Komjen Budi Gunawan sampai saat ini masih menjadi tren utama bagi para tersangka tindak pidana untuk melawan penegak hukum agar kasusnya dihentikan dan dibebaskan dari status tersangka.

Namun sering kali dasar hukum yang dipakai oleh hakim dalam memutus gugatan praperadilan masih belum jelas. Misalnya dalam kasus yang menjerat mantan Direktur Perusahaan Listrik Negara (PLN) Dahlan Iskan. Hakim mengabulkan semua permohonan yang diajukan oleh Dahlan.

Dalam pertimbangnya hakim tunggal Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Lendriaty Jenis menilai Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta tidak memiliki cukup bukti untuk menetapkan Dahlan sebagai tersangka. Sebab, Dahlan ditetapkan sebagai tersangka tanpa lebih dulu melakukan penyelidikan. Hanya diambil berdasarkan keterangan 15 tersangka lainnya.

Sedangkan menurut pihak Kejati DKI sebagai tergugat menilai, penyidik boleh menetapkan Dahlan sebagai tersangka meski tidak melakukan proses penyelidikan atau tidak lebih dulu memanggilnya sebagai saksi. Dua alat bukti bisa didapat cukup dari keterangan tersangka lain atau saksi lain pada saat dilakukan pengembangan penyelidikan.

Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani menilai, polemik ini terjadi disebabkan karena dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak atur secara jelas, apakah memang boleh penyidik menetapkan tersangka tanpa lebih dulu dilakukan penyelidikan. Atau tanpa lebih dulu dilakukan pemeriksaan sebagai saksi.

‎”Apakah kita akan mau ikut  pendapat seperti itu. Atau kita tegaskan bahwa penyidik punya kewenangan sepanjang dua alat bukti terpenuhi terserah apakah alat bukti didapat melalui penyelidikan atau penyidikan lebih dulu atau sudah ada di depan mata, atau dibonceng oleh orang lain maka harus kita tegaskan dalam KUHP. Memang KUHP kita masih banyak kekurangan,” ujar Arsul di DPR, Rabu (5/8/2015).

Sehingga tambahnya, putusan yang tidak didasari pada dasar hukum jelas akan menimbulkan kontroversi atau polemik sesudahnya. Karenanya wajar kata Arsul, pihak Kejati DKI tetap bersikekeuh menganggap Dahlan bersalah, dan berencana mengeluarkan Surat Perintah ‎Penyidikan (Sprindik) baru untuk kasus yang sama.

Contoh lain kata Arsul, tentang kekurangan KUHP, yakni terkait jaminan hak asasi bagi tersangka. Menurutnya, bila ada tersangka tindak pidana pasal hukumnya dikenakan penjara diatas lima tahun maka penegak hukum itu baik polisi, jaksa atau hakim harus atau wajib menyediakan pembela.

“Tetapi karena di KUHP itu tidak ada ketentuan kalau itu dilanggar konsekuensinya apa? itu kan nggak ada, maka di KUHP harus ditegaskan,” jelasnya.

Untuk itu kata dia, dalam draf revisi Rancangan UU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang diajukan oleh Kementerian Hukum dan HAM, DPR khususnya Komisi III akan mengusulkan agar pasal-pasal yang mengatur tentang penyelidikan dan penyidikan diperjelas. Terutama mengenai kewenangan penyidik dalam menetapkan tersangka agar tidak menimbulkan multi tafsir.

Sekedar informasi, dalam kasus Dahlan, ia ditetapkan sebagai tersangka terkait kasus korupsi pembangunan 21 gardu induk Jawa, Bali dan Nusa Tenggara PT PLN senilai Rp 1,06 triliun. Anggaran proyek itu diduga melanggar Peraturan Menteri Keuangan Nomor 56 Tahun 2010 tentang tata cara pengajuan persetujuan kontrak tahun jamak dalam pengadaan barang atau jasa. (Albar)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.