
Jakarta, Obsessionnews – Dari hasil riset yang dilakukan oleh Lingkar Survei Indonesia (LSI) Denny JA, ada empat alasan yang membuat publik makin prihatin dengan kondisi hukum di Indonesia.
Peneliti LSI Denny JA, Rully Akbar menyampaikan, pertama publik percaya ada upaya pelemahan KPK. Penetapan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) nonaktif Bambang Widjojanto (BW) dan Abraham Samad (AS) sebagai tersangka oleh Polri mendapat perhatian luas publik. Meskipun Polri beralasan bahwa ada bukti hukum yang menjerat dua pimpinan KPK tersebut, namun publik memiliki pandangan berbeda.
Menurut Rully, publik menilai bahwa penetapan dua pimpinan KPK tersebut lebih besar nuansa politisnya dibanding nuansa hukumnya. “Publik melihat bahwa penetapan kedua pimpinan KPK tersebut sebagai tersangka adalah upaya sistematis pelemahan KPK,” jelas Rully di kantornya, Jl. Pemuda, Jakarta Timur, Selasa (24/2/2015).
Munculnya persepsi publik, lanjut Rully, bahwa ada upaya pelemahan KPK. Hal ini didukung oleh data survei yang menunjukan bahwa sebesar 75.37 % menyatakan setuju bahwa ada upaya melemahkan KPK. “Hanya sebesar 10.45 persen yang menyatakan bahwa tidak ada kesan pelemahan KPK,” paparnya.
Kedua, masih kata Rully, merosotnya wibawa institusi Polri pun tidak luput dari sorotan publik. Wibawa Polri tergerus akibat kasus hukum Komjen Pol Budi Gunawan (BG) dan kesan ingin melemahkan KPK. Kasus yang menimpa Budi Gunawan memperoleh sentimen negatif publik. “Institusi Polri hampir saja kehilangan kewibawaannya jika BG tetap dilantik sebagai Kapolri,” tandas Peneliti LSI.
Meskipun pengadilan telah memutuskan bahwa penetapan tersangka oleh KPK tidak sah. Namun publik percaya bahwa BG punya cacat hukum sehingga sebaiknya tidak dilantik sebagai Kapolri.
Selain penetapan BG sebagai tersangka, lanjut Rully, upaya kriminalisasi pimpinan KPK oleh Polri pun direspon negatif oleh publik. Publik melihat ada misi balas dendam Polri terhadap KPK dengan penetapan pimpinannya sebagai tersangka.
“Polri secara resmi telah mengumumkan AS dan Bambang Widjayanto sebagai tersangka. Bahkan BW pernah ditahan oleh Bareskrim Polri yang akhirnya dilepas karena kuatnya protes publik,” jelasnya.
Tergerusnya wibawa Polri ini terekam dalam survei LSI Denny JA. Survei menunjukan bahwa sebesar 73.02 % publik setuju bahwa penetapan calon Kapolri Budi Gunawan sebagai tersangka mengurangi wibawa institusi Polri. “Hanya 18.25 % publik yang menyatakan bahwa kasus BG tidak merusak wibawa Polri,” tuturnya.
Ketiga, Presiden RI Jokowi dinilai lamban. Sejak awal kasus KPK vs Polri, publik telah berharap Presiden Jokowi bersikap tegas dan meredam konflik antara kedua institusi hukum tersebut. “Jokowi pun sempat dinilai tidak tegas terhadap status pencalonan Budi Gunawan sebagai kapolri,” kata Rully.
Pasca penetapan tersangka oleh KPK, kata Rully, Jokowi justru mengungkap ke publik bahwa dirinya hanya menunda pelantikan Budi Gunawan sebagai Kapolri bukan membatalkan. Sikap Jokowi ini memperoleh respon negatif publik. “Publik menilai Presiden Jokowi melanggar komitmennya untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih,” ungkapnya.
Bimbangnya Presiden Jokowi terhadap status pencalonan BG pun dinilai publik karena Jokowi diintervensi oleh pihak-pihak lain. Presiden dinilai mudah berkompromi dan tunduk terhadap tekanan orang-orang di sekitarnya.
Survei menunjukan bahwa sebesar 55.65 % publik menyatakan bahwa Presiden Jokowi lamban dan kurang tegas dalam mengambil sikap soal polemik KPK vs Polri. “Hanya 33.87 % yang menyatakan sebaliknya yaitu sudah cukup tegas dan cepat dalam mengambil sikap soal polemik tersebut,” ujar Rully.
Keempat, Publik kecewa atas sikap KIH. Sikap partai-partai pendukung pemerintahan yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang terus mendesak Jokowi tetap melantik BG pun direspon negatif oleh publik. Mayoritas publik yaitu sebesar 73. 17 % publik menyatakan bahwa mereka menyayangkan sikap KIH yang ngotot mendesak Jokowi melantik BG. “Padahal bagi publik, meski belum terbukti, BG punya cacat hukum,” terangnya.
Akhirnya, kata Rully, dengan adanya kesan pelemahan KPK, publik pun makin khawatir dengan masa depan pemberantasan korupsi di Indonesia. Survei menunjukan bahwa sebesar 77.50 % publik menyatakan bahwa mereka khawatir korupsi makin merajalela jika KPK dilemahkan. “Hanya 17.50 % publik yang menyatakan bahwa mereka tidak khawatir dengan masa depan pemberantasan korupsi di Indonesia,” pungkasnya. (Purnomo)