Sabtu, 20 April 24

Problem Taman Nasional Jangan Dibebankan Petani Sawit

Problem Taman Nasional Jangan Dibebankan Petani Sawit

Riau, Obsessionnews – Persoalan perambahan Taman Nasional Tesso Nilo di Provinsi Riau terus ditudingkan kepada petani kelapa sawit mandiri. Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) yang memayungi Petani Sawit mandiri pun berang dengan tudingan tersebut.

Swisto Uwin, Kepala Departemen Sustainability Serikat Petani Kelapa Sawit menyampaikan kajiannya terkait Perambahan taman nasional Tesso Nilo agar jangan terus petani sawit Mandiri sebagai pelakunya karena sebagian besar yang melakukan perambahan Taman Nasional Tesso Nilo adalah bukan Petani Kelapa Sawit Mandiri.

Perlu diketahui bahwa petani diberikan ruang oleh Regulasi melalui Permentan No 98 tahun 2013 tentang perizinan usaha perkebunan untuk mengelola perkebunan dengan luas maksimal kurang dari 25 Ha dan jika lebih dari 25 ha maka wajib memiliki IUP dan HGU seperti perusahaan perkebunan.

Di samping itu, terdapat permentan Nomor 33 tahun 2006 yang tidak menjamin penyandang dana atau lembaga keuangan untuk memberikan langsung kepada petani melainkan harus melalui perusahaan sebagai garansi.

“Karena itu, petani selalu bermitra dengan perusahaan disebabkan petani tidak memiliki uang. Panduan pemerintah dalam program revitalisasi perkebunan kementerian pertanian, membutuhkan dana sekitar 52 juta rupiah untuk membangun 1 satu hektar,” tegas Swisto Uwin, Selasa (5/5/2015).

Berdasarkan laporan investigasi WWF-Indonesia (2013) Menelusuri TBS Sawit Ilegal dari Kompleks Hutan Tesso Nilo, bahwa kebun ini sebagian besar dimiliki oleh individu dimana 524 orang menguasai 26.298 Ha atau sekitar 72% dari total kawasan perkebunan di kompleks hutan Tesso Nilo.

Sedangkan luas rata-rata perkebunan yang dimiliki oleh individu adalah 50 hektar, jauh melebihi luas perkebunan yang umumnya dimiliki oleh petani. Hal ini menunjukkan adanya pemilik modal yang besar.

Ia pun mengungkapkan, yang terjadi di Taman Nasional Tesso Nilo tersebut rata-rata pekebun individu lebih dari 25 hektar dan yang menjaga kebun tersebut bukanlah pemiliknya melainkan pengelola atau manajer kebun.

“Pemilik dari kebun-kebun tersebut rata-rata tinggal di Kota Pekanbaru dan sebagian di Jakarta,” bebernya.

petani sawit
petani sawit

Menurut Swisto, mereka yang membuka kebun di kompleks kawasan Tesso Nilo tersebut secara teoritis akan susah mendapatkan aspek legalitas seperti IUP atau HGU, karena lahan yang digunakan adalah taman Nasional.

Di samping itu, lanjutnya, mereka bukanlah petani sawit mandiri tetapi mereka adalah pengusaha. Hal ini dilanjutkan Swisto, bahwa jika lebih dari 25 ha saja artinya mereka membutuhkan dana kurang lebih 1,3 Miliar rupiah.

“Pertanyaan kemudian, darimana uang tersebut kalau mereka bukanlah pemilik modal? Sementara petani sawit tidak diberikan dana oleh Bank kecuali kalau bermitra dengan perusahaan,” ungkap Swisto.

Ia menilai, hadirnya pabrik tanpa kebun di sekitar lokasi atau pabrik-pabrik yang kebunnya sangat kecil juga menjadi faktor pemicu. “Jika pabrik kelapa sawit berkapasitas 30 ton per jam maka pabrik tersebut membutuhkan kebun sekitar 7000 hektar apalagi jika kapasitas pabriknya lebih dari 30 ton per jam,” tandas dia.

“Sementara pabrik-pabrik kelapa sawit di sekitar lokasi lebih banyak luasannya antara 2000 – 4000 ha. Tentunya pabrik tersebut membutuhkan kelapa sawit untuk menutupi kekurangan bahan baku,” tambahnya.

petani sawit -

Swisto menegaskan, jika berbicara tentang ancaman perambahan yang terjadi, SPKS tidak menampik bahwa ada juga sebagian kecil petani kelapa sawit mengelola di kawasan dikarenakan mereka adalah warga setempat dan hidup sejak lama sebelum kawasan ini ditetapkan statusnya sebagai kawasan Taman Nasional.

“Namun perlu ada solusi karena petani kecil tidak lagi memiliki lahan, karena sudah dialokasikan untuk perusahaan besar atau bahkan karena mereka digusur dan seiring dengan pertumbuhan penduduk,” tuturnya.

Karena itu, tegas Swisto, SPKS meminta agar perlu ada kajian mendalam soal tudingan terhadap petani mandiri agar tidak ada masalah dikemudian hari. Pemerintah pusat dan daerah harus sinkron dalam melakukan pengawasan areal konservasi dan hukum harus lebih adil.

Disamping itu, sambungnya, perlu ada solusi yang konkrit untuk meningkatkan kapasitas petani sawit, harga Sawit lebih baik, dan pemerintah harus memberdayakan mereka agar sawit yang dikelola secara berkelanjutan.

“Skema kemitraan yang baru juga harus dikaji agar petani lebih mandiri, sejahtera dan berkelanjutan dan Bukan malah diserahkan ke swasta yang kemudian meruncing persoalan sosial yang lain,” terangnya. (Asma)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.