Kamis, 25 April 24

Presiden Jokowi Neolib?

Presiden Jokowi Neolib?
* Edy Mulyadi

Oleh: Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)

 

Tidak mudah untuk menjawab pertanyaan pada judul artikel ini. Kesulitan antara lain
disebabkan mantan Walikota Solo tersebut berjualan Trisakti dan Nawacita saat kampanye
Pilpres 2014 silam. Padahal siapa pun tahu, bahwa Trisakti bertentangan secara diametral
dengan paham neolib atau neoliberalisme. Pun demikian dengan Nawacita, yang dianggap
sebagai breakdown dari Trisakti, tentu bertabrakan dengan neolib.

Trisakti adalah ajaran Bung Karno yang berisi tiga pondasi penting. Yaitu, berdaulat di bidang
politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang kebudayaan. Sedangkan
Nawacita adalah visi-misi yang digunakan pasangan Capres/Cawapres Joko Widodo/Jusuf Kalla.
Dalam Nawacita ada sembilan agenda pokok untuk melanjutkan serta mewujudkan semangat
perjuangan dan cita-cita Soekarno dalam Trisakti.

Kini, setelah menjadi Presiden tiga tahun lebih, kita jadi bertanya, benarkah Jokowi telah
merealisasikan janji-janji kampanyenya? Sudahkah dia menjadikan Trisakti dan Nawacita
sebagai pedoman dalam mengendalikan perahu besar bernama Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI)?

Pada konteks ini, bagaimana kita membaca tantangan Jokowi kepada para ekonom atau pihak
lain yang selama ini mengkritisi utang Indonesia untuk adu argumen dan data melawan Menteri
Keuangan Sri Mulyani? Tantangan ini menjadi menarik, karena disampaikan oleh seorang
Presiden yang selalu dicitrakan sederhana dan merakyat.

Saya tidak ingin membahas tantangan yang segera disambut ekonom senior Rizal Ramli, yang
biasa disapa RR. Juga saya tidak berminat menduga-duga soal berani-tidaknya Sri menjawab
tantangan debat mantan Menko Ekuin dan Menkeu era Abdurrahman Wahid yang terkenal
dengan jurus Rajawali Kepretnya itu. Sebab saya, dan juga mungkin anda, rasanya hampir yakin,
bahwa Sri tidak akan punya nyali meladeni tantangan tersebut. Dia dan atau para punggawanya
bisa saja menyodorkan seabreg dalih untuk sembunyi di balik ketidakberanian tersebut.

Membaca posisi Jokowi
Di sini saya hanya ingin membaca bagaimana kita memaknai tantangan debat soal utang
tersebut? Buat saya, tidak bisa tidak, tantangan itu menunjukkan di mana ‘posisi’ Jokowi
sebenarnya. Tantangan tadi berkata, bahwa sang Presiden 100% mengamini kebijakan
Menkeunya dalam perkara utang. Bukan itu saja, tantangan itu secara gamblang juga
menjelaskan, bahwa Jokowi sangat percaya dan bangga dengan Sri Mulyani!

Pertanyaannya, bagaimana mungkin seorang yang mengaku menggenggam Trisakti erat-erat
bisa tidur nyenyak ketika negaranya masuk dalam jebakan utang menggunung dengan bunga
supertinggi? Bagaimana mungkin seorang yang mengaku berpihak pada rakyat, bisa terus-
terusan menampilkan wajah innocent saat nyaris sepertiga APBN habis hanya untuk membayar
cicilan pokok dan bunga utang?

Ya, sepertiga anggaran di APBN! Sungguh suatu jumlah tidak sedikit, yang bahkan jauh
melampaui anggaran pendidikan dan insfrastruktur yang amat dibangga-bangakan! Yang
karena alokasi anggaran bayar utang superjumbo itu, belanja sosial harus dipangkas sampai
taraf minimal. Akibatnya harga-harga barang publik pun terus melambung, mencekik leher
rakyat yang, konon, dicintainya.

Kondisi ini pula yang menjelaskan mengapa dalam tiga setengah tahun kekuasaanya, begitu
banyak kebijakan ekonomi yang bertabrakan dengan Trisakti dan Nawacita bisa melenggang
mulus. Praktik impor komoditas pangan yang bertubi-tubi, terlebih lagi di saat panen raya, jelas
menyeruakkan aroma neolib yang amat menyengat.

Begitu juga dengan Privatisasi BUMN yang serampangan, syahwat menjaring utang yang ugal-
ugalan, memperpanjang kontrak Freeport yang sangat arogan dan berkali-kali melanggar UU,
membuka pintu lebar-lebar bagi investasi dan tenaga kerja asing dengan segala kenikmatan luar
biasa bagi mereka, dan lainnya. Semua itu jelas-jelas beraroma neolib yang amat kental.

Atas semua kebijakan ekonomi sarat nilai-nilai neolib itu, Jokowi terlihat anteng dan adem-
ayem saja. Padahal, tanpa harus menjadi profesor atau doktor ekonomi, siapa saja seharusnya
menyadari bahwa semua kebijakan itu sangat merugikan negara dan rakyat Indonesia. Rakyat
yang paling menderita, karena merasakan langsung betapa pahitnya dampak berbagai
kebijakan ekonomi yang diambil para menteri neolib tadi.

Presiden tak bersalah?
Namun di tengah makin babak-belurnya kondisi mayoritas rakyat Indonesia, masih ada saja
suara-suara yang mencoba membela junjungannya. Mereka antara lain mengatakan, Presiden
tidak salah. Yang salah ya menteri-menterinya. Menteri Perdagangan harusnya jualan atau
dagang, bukan malah asyik impor-impor. Menteri Keuangan harusnya kejar pajak pengusaha
sukses dan perusahaan-perusahaan besar, bukannya mengulik duit pensiunan atau UMKM.

Menko Perkenomian seharusnya mengkoordinasi menteri-menteri di bawahnya agar
menerbitkan kebijakan yang sinkron dan saling menguatkan. Bukannya malah mengeluarkan
paket kebijakan ekonomi berjilid-jilid yang tidak jelas implementasi dan hasilnya.

Para pemuja Jokowi juga berkata, karena orientasi menteri-menteri ekonomi yang berkiblat
pada paham neolib, akibatnya ekonomi stagnan di angka 5%. Padahal, kata mereka lagi, kalau
cuma tumbuh 5%, tidak perlu mikir dan kerja. Cukup tidur seharian atau duduk ongkang-
ongkang kaki ekonomi Indonesia bisa tumbuh 5%. Jadi, Presiden tidak salah. Yang salah ya para
menteri itulah.

Saya setuju, bahwa para menteri itu jelas salah. Mereka terlalu text book thinking. Mereka
hanya mau berkiblat dan patuh pada mazhab neolib ala Bank Dunia dan IMF. Segala sesuatu
yang berbeda dengan paham tersebut, pasti ditolak mentah-mentah. Yes, mereka memang
bersalah!

Tapi, hal itu bukan berarti Jokowi jadi bebas dari kesalahan. Justru kesalahan utama ada pada
Presiden. Pertama, sebagai Presiden kenapa dia memilih dan mempertahankan menteri-
menteri neolib? Padahal, berbagai kebijakan yang mereka keluarkan jelas-jelas bertabrakan
dengan Trisakti dan Nawacita yang dikampanyekan waktu Pilpres 2014.

Kedua, sebagai Presiden kenapa dia tetap dan terus saja menolak masukan dari para ekonom
bermazhab konstitusi? Ok, mungkin sebagai orang Jawa Jokowi tidak mau atau tersinggung
kalau diberi masukan dan saran disampaikan secara terbuka lewat media massa. Itulah
sebabnya, barangkali, dia beriskap cuek dan abai terhadap segala masukan tadi.

Tapi, bukankah dia juga sering bertemu empat mata dan berdikusi dengan beberapa
sahabatnya yang menganut paham ekonomi konstitusi? Rizal Ramli, misalnya, adalah salah satu
sahabat yang kerap memberi masukan dan saran-saran saat ngobrol empat mata. Tapi, kenapa
Jokowi hanya iya-iya saat diskusi, tapi kembali asyik dengan berbagai kebijakan neolib para
menterinya setelah RR pergi?

Para menteri itu jelas salah. Tentu saja. Tapi Presiden (dan para pendukungnya) juga jangan
coba-coba ngeles dengan menyalahkan para pembantunya. Walau bagaimana juga, Jokowi
adalah Presiden. Sesuai mandat konstitusi, Presiden adalah pemimpin eksekutif tertinggi.

Presiden yang pegang kendali. Bahkan, dengan kontitusi pula Presiden punya hak prerogatif
untuk mengangkat dan memberhentikan para menterinya, siapa saja dan kapan saja! Kalau
mau, dia bisa mencopot para menteri neolib dan mengembalikan garis kebijakan ekonominya
sesuai dengan Trisakti dan Nawacita. Sayangnya, hal itu tidak pernah dia lakukan.
Jadi, menurut anda, apakah Jokowi neolib?

Jakarta, 30 April 2018

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.