
Oleh: Arief Poyuono, Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja (FSP) BUMN Bersatu
Di akhir tahun 2016, Presiden Joko Widodo (Jokowi) meneken PP No.72 Tahun 2016 tentang Perubahan atas PP Nomor 44 Tahun 2005 tentang Tatacara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara Pada BUMN dan Perseroan Terbatas. Tujuannya untuk menguatkan kelembagaan dan mekanisme kerja BUMN.
Pembentukan PP 72 Tahun 2016 merupakan langkah cerdas dan tepat dalam Tertib administrasi dan tertib hukum dalam setiap Penyertaan Modal Negara pada BUMN dan Perseroan Terbatas, berikut segala perubahannya menjadi sangat penting. Hal ini karena modal negara pada BUMN dan Perseroan Terbatas merupakan bagian dari kekayaan negara yang yang harus dipertanggungjawabkan pengelolaannya.
PP 72 tahun 2016 juga bertujuan untuk membuat BUMN lebih strategis dan taktis dalam melakukan aksi korporasinya, di mana sebelumnya BUMN terlalu lambat dan kurang taktis dalam setiap melakukan aksi korporasinya, seperti aksi korporasi untuk melakukan privatisasi yang mana sangat lambat akibat birokrasi yang harus menunggu persetujuan DPR. Akibatnya BUMN yang akan melakukan privatisasi kehilangan momentum untuk menarik modal yang banyak dari pasar modal karena keterlambatan persetujuan privatisasi BUMN.
Karena bukan rahasia lagi saat BUMN yang akan melakukan privatisasi, untuk mempermudah privatisasinya banyak oknum DPR yang titip beli saham saat IPO. Masih ingat Nazarudin, anggota DPR, yang mengeruk keuntungan dari IPO Krakatau Steel, dan banyak lagi.
Belum lagi dana lobi-lobi ke oknum anggota DPR yang harus disiapkan oleh BUMN yang akan melakukan privatisasi agar disetujui.
Akhirnya banyak cost yang harus dikeluarkan BUMN yang akan melakukan privatisasi. Belum lagi kepada pengamat-pengamat ekonomi untuk membangun opini agar DPR menyetujui privatisasi.
Nah, sekarang dengan terbit PP 72 tahun 2016 bukan hanya oknum-oknum DPR yang kebakaran jenggot, tapi juga pengamat-pengamat ekonomi dan BUMN yang diuntungkan dengan status quo BUMN yang menolak PP 72 tahun 2016.
Jadi, PP 72 tahun 2016 tersebut bisa menghindarkan BUMN sebagai sumber bancakan selama ini.
Nah, terkait holding BUMN yang diatur dalam PP 72 tahun 2016 merupakakan langkah yang tepat. Sejalan dengan makin besarnya peran BUMN sebagai instrumen pemerintah dalam program pembangunan dan untuk menghadapi perkembangan perekonomian global seperti pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN, pemerintah telah berupaya melakukan peningkatan nilai, penguatan daya saing, perluasan jaringan usaha, dan kemandirian pengelolaan BUMN.
Namun demikian diharapkan pemerintahan Jokowi juga harus profesional dalam penempatan top manajemen di BUMN. Dan jangan posisi top manajemen di BUMN, seperti posisi komisaris, ditempati oleh orang-orang yang tidak kompeten. Jangan karena mantan relawan Jokowi saat pilpres yang tidak pernah kerja di perusahaan dan bermodal cuit-cuit dan ketak ketik di medsos diangkat jadi komisaris. Padahal posisi komisaris dalam sebuah korporasi profesional sangat penting dan menentukan dalam melakukan aksi korporasi.
Nah, kalau bermodal cuit-cuit dan ketak ketik di medsos diangkat sebagai komisaris, ya sama saja Jokowi tetap menjadikan BUMN sebagai bancaan politik. (*)