Sabtu, 20 April 24

Politik, Birokrasi, dan Korupsi

Politik, Birokrasi, dan Korupsi

Oleh: M. Fuad Nasar, Konsultan The Fatwa Center Jakarta

 

Munawir Sjadzali, mantan Dirjen Politik Departemen Luar Negeri, Duta Besar RI untuk Emirat Arab, Bahrain, Qatar dan Perserikatan Keemiratan Arab di Kuwait, dan Menteri Agama RI yang menjabat dua periode 1983–1993 di masa Orde Baru dalam autobiografinya di buku kenangan 70 Tahun (Kontekstualisasi Ajaran Islam, 1995) menceritakan suka-duka pengalaman meniti karier sebagai diplomat di masa Orde Lama.

Berikut petikan tulisan almarhum Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, MA:

“Pada tahun 1961, pada waktu saya terasing dari pergaulan di kantor itu datang seorang kawan sesama pegawai Departemen Luar Negeri yang mengaku dikirim oleh seorang tokoh utama dari satu partai Islam yang duduk dalam pemerintahan. Setelah menyampaikan salam dari tokoh tersebut kawan itu memberitahukan bahwa partai itu mendapat jatah beberapa jabatan Duta Besar, bahwa partai itu tidak akan membagikan jatah itu kepada sembarangan orang, dan bahwa saya dianggap merupakan calon yang ideal untuk mengisi jatah itu. Satu-satunya syarat yang harus saya penuhi adalah bahwa saya bersedia menjadi anggota partai tersebut.”

Pak Munawir melanjutkan, “Mungkin orang mengira bahwa bagi saya yang dalam keadaan terpencil itu menganggap kawan yang datang itu sebagai ‘dewa penyelamat’. Dengan nada yang lembut saya sampaikan kepadanya, pertama ucapan terima kasih kepada tokoh partai yang telah mengirim dia dan penghargaan kepada kepercayaan yang beliau berikan kepada saya untuk memanfaatkan jatah itu. Tetapi kepada kawan itu saya sampaikan bahwa dari ayah saya yang pengagum K.H. Ahmad Dahlan, meskipun tidak pernah menjadi anggota Muhammadiyah, saya mendapat amanat agar saya menghayati wasiat beliau bahwa kalau saya harus masuk suatu organisasi harap niat saya yang benar, untuk menghidupkan organisasi dan tidak sebaliknya untuk hidup dari organisasi. Karena itu dengan menyesal saya tidak dapat menerima tawaran itu. Saya tidak akan masuk suatu organisasi untuk menggunakannya sebagai lapangan pencarian nafkah atau untuk mempercepat karir. Kalau memang Allah mentakdirkan insya Allah saya akan menjadi Duta Besar dengan tidak harus masuk partai. Jawaban yang saya berikan dengan sangat sopan itu tampaknya kurang berkenan di hatinya, sebab beberapa hari kemudian di luar dugaan saya diisukan sebagai die hard Masyumi.”

Sebagaimana kita tahu Partai Masyumi telah bubar sejak 1960, tapi kerap menjadi sasaran fitnah dalam dunia politik masa itu dengan memunculkan istilah “die hard Masyumi”  terhadap kelompok muslim yang beroposisi terhadap pemerintah.  Menyusuri kembali realitas politik Indonesia di era Demokrasi Terpimpin, politisasi birokrasi sangat kentara. Partai-partai politik, termasuk Partai Komunis Indonesia (PKI), mempolitisasi birokrasi melalui kader dan simpatisannya di lingkungan birokrasi pemerintahan dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Sejarah politik Indonesia modern mencatat, penguasa sangat mudah  menjadikan birokrasi pemerintahan sebagai wahana politisasi. Birokrasi pemerintahan seharusnya netral dan independen, tapi dalam praktik sering kali  digiring menjadi basis pendukung kekuatan politik yang berkuasa. Politisasi birokrasi tahun 1950-an sampai 1960-an berakhir dengan bangkrutnya sistem politik Orde Lama pasca tragedi G.30.S/PKI dan lahirnya Orde Baru tahun 1966.

Orde Baru tidak menginginkan birokrasi terkotak-kotak dalam politik aliran. Akan tetapi menjelang Pemilihan Umum 1971 politisasi birokrasi muncul kembali dengan wajah baru yaitu “monoloyalitas”. Sejalan dengan prinsip monoloyalitas, setiap pejabat pemerintahan di pusat dan daerah merangkap menjadi dewan pembina, penasihat atau fungsionaris Golkar. Seiring dengan itu, jajaran pegawai negeri sipil dan pegawai BUMN sebagai anggota Korpri (Korps Pegawai Republik Indonesia) “wajib” mendukung dan memilih Golongan Karya (Golkar) dalam Pemilihan Umum untuk memilih calon anggota DPR-RI, DPRD Tingkat I dan DPRD Tingkat II.

Selama tiga dekade rezim Orde Baru, praktik politisasi birokrasi setiap menjelang pesta demokrasi Pemilihan Umum ditandai dengan mobilisasi aparatur negara dalam kampanye mendukung salah satu organisasi peserta Pemilu. Politisasi birokrasi versi Orde Baru dilakukan demi menyukseskan Pembangunan Nasional dan mempertahankan Kepemimpinan Nasional agar tetap di tangan Orde Baru.

Pemilihan Umum selama Orde Baru diikuti oleh 2 partai politik dan 1 Golongan Karya, yaitu: (1) Partai Persatuan Pembangunan (PPP), (2) Golongan Karya(Golkar), dan (3) Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Seperti diketahui, Golkar membina mesin politiknya melalui 3 jalur, yaitu Jalur A (ABRI), Jalur B (Birokrasi), dan Jalur G (Golkar dalam hal ini jalur ormas, kekaryaan). Golkar merupakan the ruller’s party (partai penguasa) dan the rulling party (partai yang berkuasa) dalam enam kali Pemilihan Umum, mulai tahun 1971 sampai 1997. Golkar dalam real politic Orde Baru meraih kemenangan signifikan sebagai single majority dalam setiap Pemilu di antaranya karena dukungan solid dari 3 jalur tadi.

Setelah era Reformasi 1998 birokrasi pemerintahan dibebaskan dari kepentingan politik praktis. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) menegaskan pegawai ASN harus bebas dari pengaruh dan intervensi semua golongan dan partai politik. Reformasi Perundang-Undangan menempatkan birokrasi dalam garis netral terhadap dunia politik dan kepentingan politisi. Semua jabatan birokrasi pada dasarnya adalah jabatan karir, bukan jabatan politik.

Birokrasi harus steril dari segala kepentingan politik sekalipun dipimpin oleh orang partai dan kader partai politik. “Kesetiaan saya pada partai berakhir ketika kesetiaan saya pada negara dimulai”, kata-kata bijak negarawan Filipina Manuel Quezon (1878-1944) ini menjadi panutan praktik demokrasi yang baik di seluruh dunia.  Sikap itulah sejatinya yang paling tepat dimiliki ketika seorang politisi duduk dalam jabatan birokrasi pemerintahan apa pun latar belakangnya.

Kepentingan politisi dan kepentingan birokrasi dua hal yang  berbeda dan tidak boleh dicampur-aduk. Dalam dunia politik yang kejam itu dikenal istilah “no free lunch”, artinya “tak ada makan siang gratis”. Saya ingin mengutip tulisan Doddy Yudhista Adam, tokoh perbukuan nasional dan mantan pejabat tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, “Politisi yang benar-benar pengabdian terhadap bangsa itu langka. Politisi sekaliber M. Natsir, Soekarno waktu muda, Moh Hatta, Moh Roem dan lain-lainnya kini nyaris tidak ada. Nuansa politisi kita jadi ajang cari kekuasaan dan cari makan.”

Birokrasi adalah pelayan masyarakat dan ujung tombak pelaksanaan fungsi negara. Karena itu, penentuan dan pengangkatan pejabat karier harus bebas dari kepentingan politik. Dalam kaitan ini asas meritokrasi dan prinsip the right man on the right place harus dikedepankan. Birokrasi tidak boleh menjadi alat kepentingan elite politik baik langsung ataupun terselubung.

Di tengah fenomena kapitalisasi politik dan banyaknya kasus korupsi di tanah air dewasa ini, dunia birokrasi dan ASN harus memiliki keberanian moral untuk menolak praktik korupsi dan penjarahan uang negara, bukan menjadi bagian dari segala kerusakan itu. Jika birokrasi lemah, korupsi akan subur dan menggurita.

Memperhatikan sinyalemen Dr. Laode Ida, anggota Ombudsman RI, sungguh memprihatinkan kondisi negara kita bahwa praktik ‘ijon proyek’ diduga terjadi di seluruh daerah. Semua proyek APBN/APBD sudah ada pengusaha yang mengawal sejak perencanaannya dengan memberikan atau menjanjikan kick back fee kepada pihak-pihak yang menjamin menggolkan proyek itu. Meski formalnya sistem lelang menggunakan elektronik, tetapi yang mengatur elektronik juga adalah manusia. Para pejabat sudah membuat komitmen awal dengan pengusaha yang mengawalnya dan aparat administrasi yang menangani proyek mustahil membangkang kehendak atasannya.

Hasil riset Madrasah Antikorupsi PP Pemuda Muhammadiyah pada Februari 2017 mengungkapkan maraknya praktik rente jabatan di lingkungan Aparatur Sipil Negara (ASN) yang berpotensi menimbulkan jual beli jabatan. Riset di 10 kabupaten/kota menemukan ada potensi jual beli jabatan ASN mulai Rp 400 juta sampai Rp 1 miliar.

Meski saya percaya tidak semua politisi di negeri ini buruk, namun setidaknya kondisi yang ada menjadi alarm agar waspada dan berhati-hati. Salah satu prasyarat dalam membangun budaya demokrasi yang berkeadaban tentu adalah netralitas dan integritas birokrasi. Sejalan dengan Program Reformasi Birokrasi dan Transformasi Kelembagaan yang sedang bergulir di negara kita di era sekarang ini, praktik politisasi birokrasi adalah anomali yang tidak boleh dibiarkan terjadi.

Pemanfaatan birokrasi untuk mendapatkan proyek bagi kepentingan oknum-oknum partai politik dengan cara kolusi harus dihindari dan dilawan dengan penegakan hukum dan aturan. Dalam berbagai kasus tindak pidana korupsi dan penyalahgunaan wewenang di kementerian/lembaga dan BUMN, seperti terungkap dalam sejumlah Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh KPK, terutama yang melibatkan politisi dan pengusaha, pasti memiliki keterkaitan dengan “politik balas budi” dan konspirasi tingkat tinggi yang memanfaatkan birokrasi.

Komitmen pemerintah dalam menata birokrasi yang unggul dan berkelas dunia (world class bureaucracy) memerlukan langkah serius dan upaya berkelanjutan. Menciptakan birokrasi yang bersih melayani, profesional dan bebas dari korupsi memerlukan dukungan dan rekognisi dari semua pihak. Bisa dibayangkan, betapa moril dan harga diri ASN secara keseluruhan terusik ketika kasus-kasus korupsi di kementerian/lembaga atau pemerintah daerah muncul silih berganti.

Menurut pengamatan saya, ASN idealis dan jujur sebetulnya masih banyak di berbagai instansi pemerintah yang semakin banyak diisi oleh generasi milenial. Di salah satu kementerian, yaitu Kementerian Keuangan, seperti diungkapkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani, saat ini hampir 50 persen dari jumlah total pegawai Kementerian Keuangan merupakan generasi Y dan generasi milenial. Generasi ini merupakan anak muda yang lahir setelah tahun  1980-an. Ingatlah, dalam sistem yang baik, orang yang rusak bisa dipaksa menjadi baik, tetapi dalam sistem yang rusak, orang baik bisa ikut rusak. Semoga sistem politik dan sistem birokrasi di negara kita ke depan semakin baik sehingga bangsa ini bisa mengucapkan selamat tinggal rezim korupsi dan kleptokrasi.

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.