Jumat, 26 April 24

Polisi dan TNI Dilarang Terima Kebun Plasma Sawit!

Polisi dan TNI  Dilarang Terima Kebun Plasma Sawit!

Jakarta, Obsessionnews – Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) mempertanyakan banyaknya oknum Polisi dan TNI serta pejabat pemerintah mendapatkan ‘saweran’ kebun plasma sawit. Ketua Umum SPKS Mansuetus Darto menegaskan, perlu adanya penertipan serta penindakan yang tegas bagi pejabat yang berwenang yang memberikan izin pembangunan usaha perkebunan oleh perusahaan.

“Sebab, hal ini bertentangan dengan aturan perundang-undangan serta bagi oknum-oknum aparatur negara yang memperoleh pembagian dari kebun masyarakat/plasma,” tandasnya Sabtu (21/3/2015).

Menurut Darto, adanya oknum Polisi, TNI dan pejabat pemerintah yang mendapatkan kebun plasma sawit, sangat kontras dengan banyaknya konflik penguasaan lahan khususnya di perkebunan kelapa sawit adalah yang sering terjadi yaitu konflik pembagian lahan plasma antara perusahaan dan masyarakat.

Konflik pembagian lahan plasma sawit ini pun terus terjadi, padahal sebenarnya sudah diatur dalam UU Perkebunan No. 39 Tahun 2014 dan Permentan 98 Tahun 2013. “Konflik ini pun sangat beragam mulai dengan perizinan, luasan lahan, kepemilikan lahan, ataupun yang berhak mendapatkan plasma,” ungkapnya.

Kepala Departemen Policy and Governance SPKS, Saut Rickson Sinaga mencontohkan, baru-baru ini polemik lahan plasma yang menjadi perbincangan hangat masyarakat yang terjadi di lahan plasma perkebunan kelapa sawit di Kecamatan Simpang Hilir, Kabupaten Kayong Utara sangat menyisahkan perhatian publik. Seperti diberitakan media, terbongkarnya data  calon penerima pembagian lahan plasma yang melibatkan deretan nama-nama Aparat Kepolisian, TNI dan Pejabat Pemerintah, di Kecamatan Simpang Hilir, Kabupaten Kayong Utara.

Diantara nama-nama tersebut, Kapolsek Simpang Hilir bersama empat anggotanya masuk dalam daftar calon penerima lahan plasma di Desa Lubuk Batu Kecamatan Simpang Hilir, yang menjadi wilayah perusahan PT. Jalin Vaneo.

Terkait polemik kepemilikan lahan plasma yang terjadi di Kecamatan Simpang Hilir tersebut SPKS angkat bicara untuk mengkritisi permsalahan tersebut. Lebih lanjut SPKS menyampaikan bahwa permaslahan tersebut adalah terkait permasalahan dalam ranah hukum yang berlaku mengenai pembagian lahan plasma.

Saut Sinaga mengungkapkan, seharusnya Bupati Kayong Utara yang mendampingi serta mengawasi sesuai kewenangan yang meliputi perencanaan, pemenuhan kewajiban dan keberlanjutan usaha dalam pelaksanaan fasilitasi pembangunan kebun masyarakat di Kecamatan Simpang Hilir oleh perusahaan penerima IUP-B atau IUP menghindari hal itu terjadi serta segera mencabut atau tidak memberikan izin peruntukan kebun plasma tersebut kepada oknum-oknum aparat kepolisian/TNI atau pejabat negara lainnya.

“Pembangunan kebun plasma yang menjadi kewajiban Perusahaan adalah untuk pembangunan kebun masyarakat sekitar yang layak sesuai dengan ketentuan perundangan,” bebernya.

Saut menegaskan, penting adanya pengawasan yang ketat dari Pemerintah setempat ataupun pemerintah pusat yang berwenang dalam mengawasi pelaksanaan pembangunan kebun plasma bagi masyarakat, agar polemik seperti ini tidak terjadi lagi terutama dalam mencegah konflik sosial diantara pelaku usaha perkebunan khususnya masyarakat yang tidak mendapatkan lahan plasma.

kebun sawit

Disebutkan, pengaturan mengenai pembangunan kebun plasma dalam peraturan peundang-undang diatur melalui UU Perkebunan No. 39 Tahun 2014 dan Permentan 98 Tahun 2013. Dalam Permentan 98 Tahun 2014 jo UU Perkebunan dijelaskan pada Pasal 1 angka point-5 yang dimaksud dengan Pelaku Usaha Perkebunan adalah pekebun dan perusahaan perkebunan yang mengelola usaha perkebunan.

Selanjutnya pada point ke-6. Pekebun adalah perorangan warga negara Indonesia yang melakukan usaha perkebunan dengan skala usaha tidak mencapai skala tertentu. Sementara point-7 dijelaskan Perusahaan Perkebunan adalah badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia yang mengelola usaha perkebunan dengan skala tertentu.

Artinya, melihat definisi Pekebun yangdijelaskan dalam Permentan 98 tersebut adalah bahwa pekebun adalah perorangan warga negara Indonesia yang melakukan usaha perkebunan. Akan tetapi, dalam Permentan ini tidak dijelaskan tentang apakah anggota kepolisian atau aparat lainnya dapat disebut perorangan yang dapat melakukan usaha perkebunan dalam pengertian pekebun.

Namun hal ini kemudian dapat dilihat dalam UU Kepolisian No. 2 Tahun 2002 Pasal 1 point-2 bahwa Anggota Kepolisian Negara RI adalah pegawai negeri pada kepolisian Negara RI. Dari pengertian ini pun dapat disimpulkan bahwa anggota kepolisian bukanlah termasuk dalam pelaku usaha perkebunan.

Selanjutnya, tentang Pembangunan Perkebunan Plasma sendiri diatur dalam Pasal  berikut Pasal 15 ayat (1) menyatakan bahwa Perusahaan Perkebunan yang mengajukan IUP-B atau IUP dengan luas 250 (dua ratus lima puluh) hektar atau lebih, berkewajiban memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar dengan luasan paling kurang 20% (dua puluh per seratus) dari luas areal IUP-B atau IUP.

Selanjutnya dalam ayat (3) dinyatakan bahwa mengenai Kewajiban memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempertimbangkan: a.ketersediaan lahan; b.jumlah keluarga masyarakat sekitar yang layak sebagai peserta; dan c.kesepakatan antara Perusahaan Perkebunan dengan masyarakat sekitar dan diketahui kepala dinas provinsi atau kabupaten/kota yang membidangi perkebunan sesuai kewenangannya.

Sementara itu masyarakat yang dimaksud yang mendapat pembagian kebun plasma adalah sebagaimana dinyatakan pada ayat (4) Pasal 15 bahwa Masyarakat sekitar yang layak sebagai peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (2): a.masyarakat yang lahannya digunakan untuk pengembangan perkebunan dan berpenghasilan rendah sesuai peraturan perundang-undangan; b.harus bertempat tinggal di sekitar lokasi IUP-B atau IUP; dan c.sanggup melakukan pengelolaan kebun. Kemudian selanjutnya pada ayat (5) dinyatakan bahwa Masyarakat sekitar yang layak sebagai peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan oleh bupati/walikota berdasarkan usulan dari camat setempat.

Tentang Kemitraan Perkebunan yaang terjadi dalam kebun Plasma juga diatur dalam Permentan Pasal Pasal 29 ayat (1) Kemitraan Usaha Perkebunan dilakukan antara Perusahaan Perkebunan dengan Pekebun, karyawan dan masyarakat sekitar perkebunan.

Dengan melihat ketentuan-ketentuan tersebut, seharusnya polemik pembagian lahan plasma milik masyarakat yang melibatkan adanya beberapa oknum aparat kepolisian/TNI ataupun Pejabat lainnya yang menjadi salah satu calon penerima lahan plasma ini seharusnya tidak terjadi.

Di samping karena pihak-pihak baik secara pribadi maupun melibatkan instansi tersebut adalah merupakan pejabat aparatur negara  yang seharusnya memiliki tugas dan fungsinya masing-masing dalam menjalankan kewajibanNegara, bukannya ikut bagian dalam kepemilikan serta sebagai pelaku dalam usaha perkebunan yang merupakan sektor yang melibatkan masyarakat khususnya petani atau pekebun.

Namun disamping itu, hal ini tentuya juga merupakan pelanggaran hukum terhadap ketentuan Permentan 98 Tahun 2013 dimana kepemilikan lahan plasma seharusnya ditujukan kepada Masyarakat bukan kepada orang pribadi dan/atau mengatasnamakan instansi negara, sebagaimana yang dinyatakan dalam ketentuan Pasal 15 ayat (4) jo Pasal 29 ayat (1).

Apabila hal ini terjadi, maka baik izin IUP-B, IUP-P atau IUP wajib dicabut karena pelaksanaan pembangunan kebun masyarakat/plasma bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, sebagaimana dinyatakan dalam Permentan Pasal 55 yang mnyatakan: (1) IUP-B, IUP-P atau IUP yang diterbitkan gubernur atau bupati/walikota dilarang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; (2) IUP-B, IUP-P atau IUP yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dicabut oleh pemberi izin.

“Sementara bagi oknum-oknum aparatur negara yang memperoleh pembagian lahan plasma karena adanya kepentingan dibalik itu atau berupa hadiah, maka hal itu dapat jerat dengan sanksi hukum berdasarkan peraturan perundang-undang lainnya baik itu berupa tindak pidana gratifikasi ataupun suap,” tutup Saut. (Asma)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.