Kamis, 25 April 24

Pinta Manullang-Panggabean, Sahabat Penyandang Kanker

Pinta Manullang-Panggabean, Sahabat Penyandang Kanker
* Pinta Manullang-Panggabean bersama anak-anak penderita kanker. (Foto: Fikar Azmi/Women's Obsession)
Siang itu  Rumah Anyo, di kawasan Slipi, terlihat empat anak kecil yang dengan riang bermain, berlari, dan bercanda di ruang bermain.  Anak-anak ini merupakan bagian dari  kegiatan  Yayasan Anyo Indonesia (YAI).Rumah Anyo ini didirikan oleh Pinta Manullang-Panggabean bersama suaminya Sabar Manullang. Ini merupakan rumah singgah sejak tahun 27 Juni 2012 dan telah menampung 160 orang selama ini. Ada 43 anak yang meninggal, karena mereka datang berobat dalam stadium akhir. Di sini Rumah Anyo hanya memfasilitasi anak-anak penyandang kanker. Tidak memberikan fasilitas pengobatan.

“Kami membantu para orang tua dan anak penyandang kanker yang sedang melakukan pengobatan. Hati saya tergerak melihat mereka yang rumahnya di luar kota atau jauh saat berobat ke Rumah Sakit Dharmais dan RS Anak dan Bunda. Kalau yang rumahnya memang di Jakarta tidak masalah. Tetapi yang jauh dari akan sulit dan memakan biaya besar kalau harus pulang-pergi. Saya terbersit ide membantu dengan memberi mereka rumah singgah. Akhirnya keinginan saya berhasil dengan membangun Rumah Anyo ini.  Mereka hanya perlu membayar Rp5.000 per hari untuk biaya kebersihan dan mengganti seprai,” katanya.

Semangat Anyo

Pinta tahu betul bagaimana rasanya seorang ibu dalam mendampingi anak penyandang kanker.  “Saya pernah  mengalami hal yang sama ketika merawat anak sakit kanker. Anak pertama saya, Andrew Maruli David Manullang, menyandang kanker darah atau leukemia. Andrew yang memiliki  panggilan sayang Anyo ini lahir di Jakarta pada 14 Juni 1989 dan meninggal pada 7 Desember 2008,” jelas Pinta.

Awalnya Anyo hanya merasakan badannya sakit. Dari dokter yang memeriksanya Anyo divonis sakit tifus tetapi kondisinya tidak kunjung pulih. Dia malah semakin kurus dan membuat bingung.  “Kami membawa Anyo ke rumah sakit di Cinere untuk observasi total.  Tenyata, leukositnya tinggi sekali. Kami sedih, lemas ketika dia didiagnosis mengidap leukemia. Tanpa pikir panjang, saya lalu membawa Anyo ke RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta,” ungkap Pinta.

Ketika itu Anyo masih berusia 11 tahun dan duduk di kelas 6 SD. Lalu,  dia dibawa ke RSCM pada Oktober 2000. Saat itu, sedang ada kerja sama antara RSCM dan Academisch Medisch Centrum (ACM) Belanda, seperti RS pendidikan di Indonesia. Kerja sama itu terkait dengan penanganan penderita kanker.

Anyo menjadi bagian dari model kerja sama penanganan penderita kanker tersebut. Pita melanjutkan,“Karena itu, November 2000, saya dan Anyo ke Belanda untuk menjalani perawatan. Pengobatan kanker di ACM rata-rata sejenis kemoterapi. Total Anyo menjalani pengobatan di ACM selama 3,5 bulan. Setelah kondisinya membaik, dia diperbolehkan pulang dan dia pun kembali sekolah SMP.”

Tapi, saat  persiapan diri menghadapi ujian kelas 3 SMP, tiba-tiba kondisi kesehatan Anyo turun drastis. Dia lantas diterbangkan ke Belanda lagi untuk menjalani pengobatan. Saat itu Pinta sudah mulai senang dengan kesehatannya yang berangsur pulih. Tetapi, kondisinya kembali memburuk saat kelas 3 SMA dan menghadapi ujian akhir. Bahkan, saat itu keadaannya terlihat agak parah. “Saya berpikiran dia sakit karena stres ujian.  Namun dokter mengatakan karena itu,” tambahnya.

Tim dokter di Belanda menyarankan agar dia menjalani transplantasi stem cell (sel induk atau sel punca). Sel induk yang akan ditransplantasikan ke Anyo adalah milik Andri Manullang, anak kedua Pinta.  Operasi transplantasi dilakukan pada 9 Mei 2007 dan berlangsung lancar. Kondisi Anyo terus membaik. Ketika dicek kondisi darahnya normal. Bahkan Anyo pun sempat kuliah di Amsterdam, Belanda.

Namun, selang setahun kemudian, pada April 2008, kesehatan Anyo memburuk. Dokter di sana sudah angkat tangan. Anyo  kembali disarankan melakukan 6 kali kemoterapi lagi. Tetapi, saat memasuki kemoterapi ketiga, kondisi Anyo benar-benar lemah. Pinta menanyakan ke Anyo untuk dirawat di Belanda atau Indonesia.  Anyo memilih untuk pulang ke  Tanah Air. Kesehatannya kian memburuk, hingga akhirnya Anyo menghembuskan napas terakhirnya pada 7 Desember 2008.

“Sejak awal saya sudah punya komitmen dengan Anyo agar kami saling tidak stres saat mengikuti proses pengobatan. Kami saling dukung. Pengobatan Anyo begitu panjang hingga 8 tahun. Karena itu  ketika Anyo ingin ‘pergi’, dia sudah tidak takut. Dia malah bilang ‘Tuhan saya sudah siap sekarang’. Dia meninggal dengan wajah tersenyum,” kenang Pinta.

Edukasi Kanker 

Selain memfasilitasi penyandang kanker, YAI juga berkomitmen  untuk edukasi kanker. Jumlah dokter ahli yang berkompeten menangani pasien kanker anak-anak di Indonesia masih minim, hanya sekitar 60 orang dan hanya ada di kota besar seperti Jakarta dan Surabaya. Karena banyak orang belum memahami kanker,  biasanya sebulan sekali YAI mengadakan diskusi tentang kanker anak di Rumah Anyo.

Sekarang ini YAI juga mempunyai ‘Gerakan Ayo Peduli 1000 Opthalmoscope’. “Hanya ada satu kanker anak yang dapat dideteksi yaitu retinabloplasma atau kanker bola mata. Kanker bola mata ini menempati urutan kanker kedua anak terbesar di Indonesia. Sayangnya Puskesmas belum memilikinya. Jadi saya berinisiatif untuk road show tentang kanker anak sekaligus memberikan opthalmoscope ini.  Saya ke Aceh dan beberapa kota lainnya untuk mengedukasi dan membagikannya,” tambahnya.

Di Jakarta mengadakan roadshow ke delapan   puskemas yang berada di Jakarta Barat dan Pulau Tidung. “Kami  memberikan alat ini. Sekarang ini, para dokter selain memeriksakan kesehatan anak dia akan menggunakan alat itu untuk memeriksakan mata. Bayangkan betapa bahagianya kita kalau kita berhasil mencegah kanker ini terjadi pada banyak anak Indonesia. Hingga kini kami baru mempunyai 60 opthalmoscope. Memang masih jauh dari target kami. Namun, kami tidak putus asa dan terus berupaya,” tegasnya.

Namun begitu, Pinta senang dengan antusiasme masyarakat yang membantu YAI. Dia melanjutkan, “Pada 15 Maret lalu, kami menggelar Anyo Charity Run. Kami memakai logo pitas emas, sebagai lambang dari anak penyandang kanker.  Ini merupakan lari amal yang diikuti sekitar 500 peserta. Saya sempat khawatir saat registrasi hanya sedikit yang mendaftar. Namun, menjelang hari H justru terlalu banyak yang ingin ikut.  Kami terpaksa tolak karena tidak mengantisipasi penambahan  perlengkapan lari seperti kaos dan lainnya. Ada beberapa selebriti menjadi volunteer seperti Alexa Band, Indra Bekti, Fanny Farbriana dan suaminya. Hadir dalam program lari ini sekitar 2000 orang. Saya terharu banyak yang peduli.”

Melihat sambutan hangat seperti ini, YAI merencanakan untuk menggelar Run with Heart pada tanggal 14 Februari 2016. Ini akan bertepatan dengan hari Anak Kanker Sedunia  pada 15 Februari. “Inginnya saya lebih banyak orang terlibat agar edukasi kanker anak lebih luas dan target dari 1000 opthamolscope segera tercapai,” katanya.

YAI juga sudah menjadi  anggota Childhood Cancer International (CCF), sebuah  organisasi sedunia dari orang tua dari anak penyandang kanker. “Setiap tahunnya YAI ikut kongres CCF di London. Saya pernah ikut pada tahun 2012 dan mereka begitu banyak memiliki materi yang dapat di-share bagi sesama orang tua dari penyandang kanker di sini. Inginnya saya, YAI bisa memberangkatkan satu dokter dan satu perawat ikut. YAI sudah menerbitkan sebuah buku edukasi kanker anak dengan ilustrasi menarik dengan ide dari sana,” terangnya lagi.

Dalam waktu depat, YAI  akan menggelar tentang seminar kesehatan tulang belakang dengan pembicara Dr. Alfred Sutrisno, SpBS (Spesialis Bedah Syarat dan Tulang Belakang) dan  Rita Kosasih (ahli yoga), dengan pembawa acara Alvin Adam,  di Omni Hospital  Alam Sutera Serpong pada 22 Agustus 2015.  Hasil dari seminar ini untuk penyediaan opthalmoscope.

Tetap bersyukur

Dari pengalaman merawat Anyo, banyak peristiwa melekat di benaknya.  Ada satu kejadian yang dia ingat ketika Anyo menjalani biopsi pertama kalinya. Saat itu Anyo harus sendiri dan dia tidak bisa mendampinginya. “Anyo merasa takut, cemas sementara saya juga tidak bisa membantunya,” kenang Pinta.

Berbeda halnya dengan pelayanan di rumah sakit di Belanda tempat Anyo mendapat kesempatan pengobatan di sana. Pinta menambahkan, “Saat itu ada seorang psikolog yang bisa dikatakan semacam pendamping keluarga dan pasien yang membantu  persiapan Anyo menjalani biopsi. Dia menjelaskan pada Anyo dan saya tindakan apa yang akan dilakukan dokter padanya, berapa lama prosesnya, dan lainnya. Dia juga menjelaskan kepada Anyo agar saat biopsi melengkungkan tubuhnya ke depan sejauh mungkin. Tujuannya agar ruas tulang belakang itu dalam keadaan terbuka dan saat jarum suntik itu masuk tidak terlalu sakit.”

Pendamping itu juga mengatakan akan memulai prosesnya kalau Anyo sudah siap. Anyo juga meminta izin saat biopsi dia boleh memakai earphone untuk mendengarkan musik. “ ‘Ma tahu tidak saat jarum itu masuk ke tulang  suara seperti krek krek  dan sangat ngilu. Saya mau mendengar musik supaya tidak terlalu mendengar suaranya’. Ternyata dokter memperbolehkan. Proses biopsi Anyo itu berlangsung lancar. Dokter terbantu dengan persiapan yang matang seperti itu. Saya kagum dan tertegun pada proses pengobatan di sana. Bukan hanya karena pengobatannya. Namun, karena mereka begitu perhatian bagi pasien dan keluarganya,” paparnya panjang lebat.

“Dalam proses pengobatan pastilah setiap orang tua merasakan kesedihan dan fatigue. Ini merupakan istilah dokter untuk mengatakan lelah tak berujung. Saya sangat mengerti hal ini terjadi bagi para orang tua penyandang kanker. Saat ini, banyak pasien kanker begitu terbantu dengan BPJS, namun memang perlu bersabar karena masih banyak hal yang mungkin belum terintegrasi dan membutuhkan waktu lama saat berobat,” kata Pinta.

Untuk operasional sehari-hari, Rumah Anyo tentu bergantung pada bantuan donatur. Pinta sangat bersyukur hingga saat ini selalu diberi kemudahan Tuhan untuk membantu anak penyandang kanker yang tinggal di rumah tersebut dan pendampingnya. Untuk sayuran, makanan sekarang ini mendapat bantuan dari organik. “Saya percaya Tuhan selalu mengetuk hati banyak orang untuk terlibat. Banyak orang yang tidak saya kenal datang ingin membantu,” ungkapnya optimis.

“Saya kehilangan Anyo, tetapi dengan membantu orang lain, saya seperti menjalani healing therapy. Bila saya membandingkan keadaan saya dengan orang tua lainnya yang merawat penyandang kanker membuat saya bersyukur. Di sinilah saya dan suami menyadari Tuhan sudah memberi kesempatan kami memiliki Anyo walau sebentar. Namun,  kami jadi mengerti karena kami diberi ‘tugas’ lain untuk membantu banyak orang lain. Kini, kami tidak lagi meratapi dengan sedih, kecewa atau marah atas kepergian Anyo.  Di sini, saya bisa menjadi tempat sharing dan meneruskan semangat Anyo bagi penyandang kanker lainnya,” jelasnya menutup pembicaraan. (Aryani Indrastati/Women’s Obsessionnews)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.