Sabtu, 2 Desember 23

Pilpres Ricuh di Luar Negeri Salah Siapa?

Pilpres Ricuh di Luar Negeri Salah Siapa?

Jakarta – Pelaksanaan pemilu presiden (Pilpre) 2014 di luar negeri sudah berlangsung sejak tanggal 6 Juli, jutaan Warga Negara Indonesia (WNI) yang berada di berbagai negara belahan dunia sangat antusias untuk memberikan hak suaranya di Tempat Pemungutan Suara (TPS). Bahkan, banyak pihak menyebut ada kenaikan cukup pesat dalam pelaksanaan Pilpres tahun ini dibanding 2009.

Namun sayangnya, tidak semua pelaksanaan Pilpres yang di luar negeri berjalan dengan aman. Sebagian diberitakan telah terjadi kerusuhan ‎antara WNI dengan Panitia Pemungutan Suara (PPS) setempat, seperti yang terjadi di Hongkong dan Amerika Serikat.

Kerusuhan yang terjadi di Hongkong dikabarkan akibat lebih dari 500 WNI tidak bisa memberikan hak suaranya untuk menyoblos, karena TPS sudah dinyatakan tutup oleh panitia sejak pukul 5 sore dan tidak ada penambahan waktu, sehingga mereka kesal dan akhirnya merobohkan pagar pembatas TPS, kericuhan pun terjadi.

Kabar mengenai kericuhan Pilpres di Hongkong, kemudian mendapatkan tanggapan yang beragam. Pasalnya, banyak isu yang beredar bahwa mereka yang belum mencoblos kebanyakan adalah pendukung calon presiden Joko Widodo‎ (Jokowi), sesuai dengan teriakan video di Youtobe yang terdengar suara Jokowi-Jokowi berulang kali. Selain itu, ada juga celetukan dari panitia yang mengatakan WNI diizinkan mencoblos kalau bersedia memilih Prabowo.

‎Tanggapan pertama muncul dari ‎juru bicara tim pemenangan pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, Tantowi Yahya. Ia menilai pelaksanaan pemilu presiden di Hongkong sudah sesuai dengan prosedur. Menurut Tantowi, lokasi tempat pemungutan suara di Victoria Park yang merupakan tempat terbuka hijau ‎memang harus digunakan tepat waktu karena terbatas.

“Tempat itu sudah mendapat izin dari pemerintah Hongkong, Waktunya sudah ditetapkan dari jam 9 pagi sampai jam 5 sore. Kalau sudah melewati batas jam 5, ya risiko tidak bisa memilih lagi,” kata Tantowi saat dimintai tanggapan, Senin (7/7/2014).

Politisi Partai Golkar itu, justru malah menyalahkan WNI yang dianggap tidak memperhatikan waktu yang sudah ditetapkan oleh panitia. Ia membantah banyak warga yang tidak bisa memilih karena jumlah TPS yang terbatas dan antrian yang mengular. Menurut dia, WNI sudah diperingatkan oleh Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI), untuk bergegas memilih.

“Mereka justru hanya duduk-duduk saja di sekitar sana. Ketika sudah jam 5 dan pintu ditutup, malah mau minta dibuka karena ingin milih. Ini kan seperti di-setting untuk membuat kekacauan. Kita sudah mengertilah agenda semacam ini,” papar Tantowi.‎

Dengan begitu,Tantowi mengatakan, pihaknya tidak merasa dirugikan dengan peristiwa kerusuhan tersebut. Ia berdalih banyak juga pendukung Prabowo yang kehilangan hak suaranya untuk mencoblos. Namun demikian, Tantowi enggan meminta Pilpres di Hongkong untuk diulang dengan alasan lebih menghormati peraturan.

“Kita harus ikut peraturan. Lewat tenggang waktu tidak boleh memilih. Jangankan di luar negeri, di sini saja lewat batas jam 1 sudah tidak bisa memilih,” jelasnya.

Menurut keterangan Komisioner KPU Arif Budiman, di TV One (Dialog Senin, 7 Juli, jam 19-20): di Hongkong itu, yang ribut adalah pihak-pihak yang sengaja bikin masalah. “Mereka bukan dalam antrian, tapi datang tiba-tiba. Kalau dalam antrian, siapapun akan ditungguin sampai selesai. Dan tidak mungkin ada yang bilang: Kalau pilih No 1 boleh masuk!”

‎Sementara itu, Tim pemenangan pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK), Eva Kusuma Sundari menyesalkan peristiwa itu, ia menilai WNI di Hongkong sengaja diarahkan untuk tidak memilih atau Golput karena tak terakomodasinya para pemilih dalam pemungutan suara di Hongkong. “Ini penghilangan hak konstitusional warga. Mereka dipaksa golput. Ironis!” ujar Politisi PDIP ini.

Menurut Eva, ‎Perencanaan penyelenggaraan pemungutan suara oleh Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) Hongkong, tidak reponsif karena tidak bisa memfasilitasi partisipasi WNI yang tinggi untuk memilih sesuai harapan. Parahnya lah kata Eva Komisi Pemilihan Umum di Hongkong tidak bisa memberikan solusi untuk menyelesaikan persoalan di lapangan. “Ini menimbulkan kemarahan para pengantri yang sebagian besar pendukung Jokowi,” tegasnya.

Hal yang sama juga dikatakan oleh Tim Pemenangan Jokowi-JK, Rieke Diah Pitaloka, ia menilai kericuhan itu simbol ketidakmampuan KPU untuk mengantisipasi jumlah pemilih WNI di luar negeri yang meningkat tajam. Reike mempertanyakan alasan penutupan TPS disebabkan karena sewa tempat lapangan Victoria Park sudah habis.

“Ini kan aneh, masa ada yang bilang alasannya sewa tempatnya sudah habis, dan KPU tidak bisa memperpanjangnya,” ujar Rieke.

‎Baik Eva maupun Reike meminta, pencoblosan lanjutan digelar di Hongkong untuk menghindari kecurangan yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu, karena kesalahan ada bukan pada pemilih melainkan pada panitia KPU.‎ “Ini untuk menghindari dugaan bahwa sisa surat suara yang ada dipakai untuk kecurangan,” ‎kata Eva.

Di tempat yang berbeda, Komisioner KPU Ferry kurnia Rizkiyansyah merasa bahwa panitia yang ditugaskan oleh KPU sudah menjalankan tugasnya sesuai dengan aturan, dan kesalahan bukan berada dipihak penyelenggara.

“Saya meyakini, penyelenggara tetap mematuhi aturan, saya berasumsi mereka menjalankan sesuai aturan bahwa pemungutan suara dilakukan pukul 18.00,” ujarnya di Jakarta, Senin (7/7/2014).

‎Ferry mengatakan, pemilih yang mengunakan KTP, karena tidak terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap diberi kesempatan untuk mengunakan hak suaranya pukul 18.00. Ia mengaku, panitia sudah bersikap netral dalam menjalankan tugasnya. ‎”Saya pastikan penyelenggara tidak memihak. Ini nggak bisa memilih bukan berarti memihak, tapi karena waktu sudah habis,” katanya.

Sementara itu, Ketua KPU Husni Kamil Malik, salah satu komisionernya yang bertugas di Hongkong Sigit Pamungkas tidak netral. Menurutnya proses pemungutan suara di sana tidak seperti yang diberitakan oleh banyak media yang terlihat melebar kemana-kemana.

“Kami mendapat informasi mulai Sabtu yang lalu, dua Komisioner KPU yang ditugaskan di sana, Juri Ardianto dan Sigit Pamungkas untuk memantau kondisi di sana. Hari ini mereka pulang dan akan memberikan keterangan selengkap-lengkapnya,” ujar Husni.

Saat ditanya, apakah tuduhan yang kini mengarah ke KPU merupakan, upaya untuk mencederai kredibilitas KPU. Husni tidak mau memberikan kesimpulan, yang pasti ia bersama Komisioner yang lain akan bertanggung jawan atas kasus tersebut.

“Saya tidak mau menyimpulkan itu. (Dipanggil komisi II) silahkan. Kami akan memberi keterangan di manapun bagaimana yang kami ketahui. Kami akan pertanggungjawabkan,” katanya.

Dilain pihak, Komisioner Badan Pengawas Pemilu Nelson Simanjuntak mengatakan, posisi lembaganya dilema ihwal kekisruhan pemilu presiden di Hongkong. Dia mengaku belum bisa menentukan apakah insiden tersebut bisa mendorong adanya pemilu ulang atau tidak karena permasalahan intinya belum terjawab.

Menurut Nelson kisruh tersebut sudah seperti buah simalakama. Dia mengaku bimbang dihadapkan terhadap oleh dua kondisi kemungkinan kalau batas waktu yang diberikan untuk memilih diperpanjang, maka kemungkinan besar hasilnya bisa digugat jika selisih suara tidak terlalu jauh.

“Mereka yang kalah pasti akan menggugat kami. Kami disangka tidak netral atau menyalahi aturan,” kata Nelson.

Sampai saat ini, pihak Bawaslu kata Nelson belum menerima laporan terkait kisruh tersebut. Dengan demikian Bawaslu belum bisa memberikan tindak lanjut mengenai masalah tersebut.

“Kami akan coba cek dulu apakah benar ada pelanggaran atau tidak. Kalau saya lihat, kalau pemilih datang setelah pukul 17.00 tidak bisa disalahkan panitianya,” ucap Nelson.

Kemudian mengenai banyaknya tuntutan agar pemilu di ulang, dia pun mempertanyakan para pemilih yang datang telat ke tempat pemungutan suara. Kalau para pemilih hadir sebelum batas waktu dan belum bisa memilih, lanjut Nelson, maka kemungkinan akan diberi kesempatan untuk memilih ulang.

“Kita harus patuh terhadap aturan agar tidak membuka ruang untuk digugat nantinya,” tandasnya.

Diketahui, jumlah DPT luar negeri secara keseluruhan mencapai ‎2.038.711 orang, sementara untuk DPT di Hongkong mencapai 114.000 orang. Jika kericuhan yang sama kembali terulang di luar negeri maka hal ini mengindikasikan penyelenggara Pemilu yang tidak berintergritas. (Abn)

 

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.