
Semarang, Obsessionnews – Sesuai Undang-undang (UU) Nomor 1 tahun 2015 tentang aturan pilkada kali ini berbeda ditahun-tahun sebelumnya. Yang paling mencolok diberlakukan pilkada secara serentak di seluruh Indonesia. Namun persoalan dari pilkada serentak tidaklah mudah. Hal itu diungkapkan Dr. Lita Tyesta Alw SH. Mhum. selaku pakar Tata Negara dari Universitas Diponegoro (Undip) Semarang.
Lita mengungkapkan kepada obsessionnews.com bahwa beberapa masalah yang dihadapi dalam pilkada ini adalah berakhirnya masa jabatan kepala daerah. “Jadi pelaksanaan pilkada serentak itu dalam aturannya diadakan maksimal 3 gelombang dengan interval 2 tahun, selama 6 tahun. 2015, 2017, 2019 dan serentak nanti 2027.”
Waktu pelaksanaan tersebut tentu menjadikan waktu kosong bagi para birokrat yang turun masa jabatannya sebelum atau sesudah diadakan pilkada. Sesuai aturan, apabila ada kepala daerah yang sudah habis jatah kepemimpinannya sebelum pilkada maka perlu diangkat pelaksana tugas (Plt).
“Yang belum selesai masa jabatan tapi sudah pilkada dengan jarak misal hanya 3 bulan, ia tetap memperoleh hak gajinya sebagai Bupati atau Walikota sampai sisa waktu jabatan, dan tugasnya sudah enggak (dilakukan), ” terangnya ditemui di kampus fakultas hukum Undip, Rabu (08/09).
Adanya pengangkatan pelaksana tugas dan sisa masa jabatan tanpa bekerja bagi birokrat tentu membebankan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di masing-masing wilayah. Tambahan dana tak pelak menjadi kewajiban pemerintah daerah untuk menggaji Plt dan mantan pimpinan daerah.
“Maunya sih (pilkada serentak) dengan satu gelombang saja. Iritnya ya disitu. Tapi di satu sisi, kalau dengan Plt – Plt, dia (pemda) harus mengangkat mereka (Plt) dong,” ujar dosen aktif tersebut.
Memang sistem pilkada tersebut seakan terlihat murah namun disisi lain mahal, dengan menilik besaran gaji yang harus dibayar oleh Pemerintah. Akan tetapi Lita mengingatkan dari segi pandang penyelenggaraan pemilu, pilkada serentak jauh lebih murah ketimbang pemilihan sebelumnya. Dirinya melihat apapun sistem pemilihan pasti memiliki kelebihan dan kekurangan. Diharapkan dengan cara pilkada serentak, efisiensi dana dapat terealisasi.
Ia menganalogikan pilkada kali ini dengan pemilihan kepala desa (pilkades). Tertera dalam Undang-undang Desa, sistem pemilihan kepala desa juga bergelombang dan bersamaan. Walau begitu, ada beberapa daerah yang belum siap mendanai pilkada serentak. Sebagai contoh Kabupaten Kendal yang pelaksanaan pilkada hampir berbarengan dengan pilkades. Tentu menjadikan pemerintah daerah kebingungan mencari dana dan waktu.
“Sebetulnya beberapa daerah keberatan pilkada serentak di 2015. Tapi kita selaku negara hukum, ada aturan lebih tinggi yang memberikan kewenangan untuk mengatur di kabupaten atau kota,” tuturnya
“Contoh UU Pilkada. Jadi suka tidak suka ya harus mau. Sedang terkait pilkada di 2015 menurut saya, terlalu kesusu (terburu-buru),”timpal Lita.
Seharusnya penyelenggaraan pilkada lebih bijak di tahun 2016. Mengingat Komisi Pemilihan Umum (KPU) sendiri meminta agar pilkada dilakukan tahun depan. Meski KPU terbilang sudah siap, faktor pendanaan yang musti disediakan pemda menjadi rintangan tersendiri bagi pilkada kelak. (Yusuf IH)