Pilkada Langsung vs Pilkada Melalui DPRD
Oleh: Agus Abubakar Arsal Alhabsyi *)
Pemilihan kepala daerah (Pilkada) langsung ataupun Pilkada melalui DPRD, kedua jenis pilkada ini sama-sama konstitusional. Kita menyesalkan jika ada pimpinan partai politik (parpol) yang mengklaim bahwa Pilkada melalui DPRD adalah lebih Pancasilais atau konstitusional dari Pilkada langsung. Klaim seperti itu bukanlah pembelajaran politik yang baik bagi rakyat, dan justru buruk bagi ketertiban hidup berbangsa. Pasalnya, kedua sistem Pilkada sama-sama konstitusional sesuai keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) beberapa waktu yang lalu.
Mantan Ketua MK Prof Jimly Asshiddiqie menyilakan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI untuk merumuskan aturan soal Pilkada secara langsung dalam Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada). Putusan MK sudah menyatakan bahwa pemilihan langsung maupun tak langsung bisa digunakan. Meski demikian, para pembuat kebijakan diingatkan untuk tidak hanya memikirkan unsur politis saat merumuskan aturan itu, melainkan mereka harus mempertimbangkan masalah lainnya.
Namun, DPR RI telah memutus Pilkada tidak langsung atau lewat DPRD. Atas Revisi Undang-undang Pilkada yang telah disahkan DPR itu, mendapat tanggapan pro kontra. Bahkan, sejumlah kiai Nahdlatul Ulama (NU) berbeda pendapat soal manfaat dan mudharat pemilihan langsung dan tidak langsung, dari perspektif fiqih. Pengasuh Pondok Pesantren Mambaul Ma’arif Jombang, KH Abdussalam Sokhib, lebih sepakat Pilkada langsung dengan komitmen mengurangi cara-cara curang di dalamnya terutama politik uang. Di lain pihak, Pengasuh Pondok Pesantren Darul Ulum Jombang, KH Zahrul Azhar, lebih setuju mekanisme pilkada dikembalikan ke DPRD untuk mengurangi atau mencegah dampak konflik horisontal akibat pilkada langsung. Terkait politik uang dalam pilkada, menurutnya, sama-sama berpotensi terjadi dalam Pilkada langsung maupun lewat DPRD.
UU Pilkada sudah disahkan sidang paripurna DPR RI pada Jumat (26/9/2014) dini hari, yang memenangkan Pilkada melalui DPRD seperti yang dikehendaki Fraksi di DPR yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih yaitu Partai Gerindra, PAN, PPP, Partai Demokrat, Golkar dan PKS. Sedangkan PDIP, PKB dan Partai Hanura menyetujui Pilkada tetap dilakukan secara langsung oleh rakyat. Koalisi Merah Putih yang berseberangan dengan kubu pasangan presiden-wakil presiden terpilih, Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK), berkeras mendukung opsi Pilkada lewat DPRD.
Beberapa pihak menyebutkan bahwa Pilkada langsung rawan money politic, rawan konflik, melahirkan 60% kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi. Pilkada tidak langsung pun syarat dengan money politic dan penyalahgunaan kekuasaan. Seperti pernyataan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bambang Widjojanto yang mengatakan parpol justru menjadi kontributor utama potensi korupsi terkait dengan wacana Pilkada tidak langsung alias melalui DPRD. Ia pun mencatat dinamika yang terjadi di parlemen perihal RUU Pilkada (Pemilihan Gubernur/Bupati/Wali Kota) merupakan representasi seluruh parpol. Menurutnya, parpol dan anggotanya otomatis akan punya karakter kolutif dan kolusif jika di dalam partai tidak bisa dibangun sistem yang transparan dan akuntabel.
Sementara itu, mengenai rawan konflik juga tidak tepat untuk menyalahkan system. Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Husni Kamil Manik menyebut penyelenggaran Pemilu langsung di Indonesia sebagai warisan kekayaan. Ia katakan, Indonesia merupakan laboratorium politik dunia dalam konteks praktek-praktek pemilu langsung yang menghargai hak-hak rakyat. Indonesia dinilai menerapkan prinsip one man one vote. Ihwal potensi konflik, Husni punya pandangan yang berbeda. Yakni, tidak ada konflik yang murni inisiatif masyarakat. Tanpa pilkada langsung atau tidak langsung, konflik masyarakat tetap ada dan mudah dipicu oleh apa pun. Adapun ihwal maraknya korupsi, Husni mengatakan tidak terkait langsung dengan sistem pemilu. Yakni, korupsi itu bukan soal langsung keterkaitannya dengan cara memilih, tapi dari perilaku orang per orang.
Sebenarnya, ada beberapa faktor yang menyebabkan tingginya kasus pengungkapan korupsi kepala daerah sejak Pilkada langsung. Salah satunya faktor terbentuknya KPK pada tahun 2003 dan secara efektif bekerja, dan faktor Pilkada langsung yang diselenggarakan pada saat yang sama. Banyaknya kasus korupsi yg terungkap TIDAK dapat serta merta disimpulkan sebagai kelemahan Pilkada langsung. Sebaliknya, hal itu dapat merupakan hasil positif dari sinergi antara KPK dan pilsung. Jadi, keliru jika disimpulkan bahwa Pilkada langsung adalah gagal. Bahkan sebaliknya, sistem Pilkada langsung memecah potensi koalisi kongkalikong kekuasaan legislatif dan eksekutif.
Bukankah selama ini parlemen yang menentukan eksekutif? Pilkada langsung lebih sesuai dengan teori trias politik atau pembagian/pemisahan kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Ini untuk mencegah penumpukan kekuasaan pada satu pihak, yaitu legislatif. Padahal kita tahu bahwa ‘power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely’, ‘kekuasaan itu cenderung untuk korup dan kekuasaan absolut akan korup secara absolut’, Lord Acton. Atau dalam terminologi Al Qur’an: “Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas (korup) karena merasa/melihat dirinya cukup (kekuasaan dan harta).” (96:6-7).
Selain itu. Bukankah pada pilkada langsung sebagian besar calonnya juga ditentukan oleh partai atau gabungan partai, hanya sbgn kecil yg calon independen. Jadi kembali lagi, bahwa pihak partai lah yg paling bertanggungjawab dalam kedua bentuk pilkada . Bukankah DPRD, yang berasal dari parpol, juga bertanggungjawab mengawasi kinerja kepala daerah? Jadi kegagalan seorang kpala daerah juga dipikul oleh DPRD (parpol) sbg pengawas.
Selain itu, Pilkada melalui DPRD merampas hak rakyat yang selama ini sudah ‘terlanjur’ dinikmati oleh rakyat. Ini rawan menimbulkan ketidakpuasan. Lain halnya jika rakyat belum pernah mengalaminya. Pilkada langsung telah memberi angin segar kepada publik di tengah ketidakpercayaan kepada partai politik yang begitu tinggi. Parpol telah menjadi superbody yang di luar kendali siapa pun selain dirinya karena tidak adanya pengawasan eksternal. Kebanyakan parpol tidak mempraktekkan tupoksinya secara transparan dan akuntabel.
Prinsip good governance belum diterapkan secara maksimal, ditengarai berbagai pelanggaran dalam penyelenggaraan parpol. Hal ini terlihat dalam maraknya praktek money politic dalam kongres/munas maupun musda dan juga dalam penetapan calon legislatif atau pun eksekutif. Belum lagi koncoisme/nepotisme yg mengabaikan sistem merit dan kapabilitas individu. Ini membuat parpol rawan dikuasai oleh pemilik modal dan/atau politik dinasti. Hal ini pada gilirannya menyebabkan maraknya korupsi dan malpraktek dalam penyelenggaraan pemerintahan yg menjatuhkan kehormatan parpol di mata masyarakat.
Simak berita berikut: “Menjelang Pemilu 2014, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap partai politik (parpol) terus merosot. Kali ini hanya 9,4 persen masyarakat yang percaya dengan parpol.
Hasil tersebut berdasarkan survei nasional yang dilakukan Cirus Surveyor Group yang dilakukan pada periode 20 hingga 30 Desember 2013.
Jadi, siapa yang memberi wewenang kepada parpol cq DPR untuk mencabut hak politik rakyat untuk memilih langsung? UU tidak mengatur hak ini! Hak DPR hanyalah Legislasi, Budgeting dan Pengawasan. Mereka telah melampaui batas wewenang mereka. Jika memang mau ksatria mari lakukan referendum. Maaf, harap dimaklumi bahwa sebagian besar anggota Dewan tidak meraih jumlah suara yg sesuai BPP (Bilangan Pembagi Pemilih) sehingga mereka belum layak disebut sebagai wakil rakyat. Mereka lebih tepat disebut wakil partai. Selain itu perlu penyempurnaan dalam sistem pemilu agar rakyat bisa mengevaluasi kinerja para wakilnya secara efektif. Sistem distrik, yaitu satu wakil setiap daerah, perlu diperjuangkan agar akuntabilitas anggota parlemen lebih mudah diukur. Begitu pula peluang untuk caleg independen (non partai) patut diupayakan sehingga mereka yg tidak percaya kepada parpol punya alternatif. Kini, masih ada waktu untuk melakukan koreksi! [**]
*) Agus Abubakar Arsal Alhabsyi – Politisi senior Partai Demokrat.