Sabtu, 20 April 24

Pilgub DKI adalah Kekalahan Paling Fenomenal Pasca Amandemen UUD45

Pilgub DKI adalah Kekalahan Paling Fenomenal Pasca Amandemen UUD45
* Mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). (foto: Edwin/Obsessionnews.com)

Oleh: Hamar, Pengamat Sosial Politik

 

Akibat amandemen UUD45 telah melahirkan free market demokrasi. Dikatakan pasar bebas demokrasi, karena tidak ada lagi tirai kerakyatan dalam mendapatkan kekuasaan. Siapapun boleh mencalonkan diri atau dicalonkan baik melalui partai politik maupu melalui Jalur independen. Di samping telah terbukanya tirai atau obstacle kerakyatan terhadap kekuasaan maka tirani dan oligarki terhadap kedaulatan rakyat sangat terbuka, dan pada akhirnya akan melahirkan persengkokolan dengan pemilik modal. Selanjutnya persengkokolan ini pelan-pelan akan mereduksi kedaulatan rakyat.

Rakyat akan dipaksa untuk memilih atau mengikuti keinginan koalisi pemilik modal dengan partai politik melalui media media dan agen koalisi tersebut. Akibat dari hal tersebut, maka demokrasi yang dibangun tidak lagi mencerminkan kekuasaan berada di tangan rakyat. Sistem demokrasi yang dikehendaki oleh Pancasila sila ke-4 adalah rakyat mengendos wakilnya di MPR. Bagi rakyat Indonesia MPR itu memiliki kedudukan strategis dalam menjaga dan mengisi kemerdekaan, sebab bagi rakyat Indonesia MPR itu merupakan jembatan emas bagi kesejahteraan rakyat Indonesia.

Oleh karena itu, dibutuhkan pihak ketiga untuk mencegah terjadinya persengkongkolan kekuasaan yang akan melahirkan tirani kekuasaan dan oligarki fungsional kekuasaan. Belajar dari kekalahan Ahok dalam pilgub DKI yang nyata nyata didukung oleh partai politik besar, didukung oleh kekuasaan, didukung oleh media-media mainstream dan didukung para pemilik modal, tapi hasilnya kalah sangat ironis.

Kekalahan Ahok di Pilgub DKI disebabkan oleh koalisi informal dan invisible hand. Siapakah koalisi informal ini?, Habib Rizieq Syihab (HRS) menjadi leader dalam koalisi informasi ini, ditambah tokoh tokoh nasional baik sipil, ulama, habib, ustaz, para purnawirawan TNI, ormas-ormas Islam dan emak-emak militan dan Muslim Cyber Army. Koalisi informal ini melahirkan Aksi 411 dan puncaknya gerakan heroik Aksi 212. Secara kalkulasi politik mestinya Ahok susah di kalahkan pada Pilgub DKI kemarin karena Ahok didukung kekuasaan, parpol besar dan pemilik modal. karena persyararan Ahok untuk menang sangat kuat.

Kekalahan Ahok-Djarot pada pilgub DKI kemarin adalah kekalahan paling fenomenal dan paling tidak bisa diterima logika politik. Kekalahan Ahok-Djarot adalah kekalahan rezim cs dan kemenangan koalisi informal dan kemenangan invisible hand. Fenomena yang terjadi pada pilgub DKI kemarin tidak menutup kemungkinan akan berlanjut pada Pilpres dan pileg 2019. Koalisi informal ini meskipun HRS ada di Arab Saudi tapi kinerja tokoh tokohnya sangat fenomenal juga seperti Ustaz Abdul Somad (UAS) dan kawan-kawan. Ustaz Abdul Somad dan kawan-kawan kehadirannya pada koalisi informal menambah kekuatan untuk menyampaikan kondisi faktual terhadap bangsa ini.

Di samping itu, koalisi informal memiliki penyaluran aspirasi politiknya fokus pada tiga partai yaitu 2 partai Islam dan satu partai nasional. Dengan demikian kekuatan koalisi informal berkoalisi dengan 3 partai tersebut bisa mengalahkan kekuatan koalisi formal, sehingga apa yang terjadi pada pilgub DKI akan merembet pada pilpres 2019. Kekuatan koalisi informal dibawah Pimpinan HRS dan UAS, UBN berkoalisi dengan 3 partai tersebut tidak bisa disepelekan.

Sekarang ini baru PDIP yang telah mengumumkan Capresnya yaitu Jokowi. Agar fenomena Pilgub DKI kemarin tidak berlanjut pada pilpres 2019, maka harus ada gerakan untuk mereduksi kekuatan koalisi informal ini dengan cara memulihkan tekanan hukum pada HRS serta merangkul salah satu dari 3 partai tersebut.

Jakarta, 3 Maret 2018

 

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.