Petugas partai itu harusnya bahasa atau istilah yang digunakan di forum pembicaraan dan diskusi internal partai. Kalau juga dipakai di ruang publik, dapat dipastikan yang ngomong tak punya etika, tak punya otak dan karenanya tak punya strategi.
Yang dia punya cuma otot untuk menunjukkan batas-batas kekuasaan fisiknya. Kontrol atas publik digunakan dengan bahasa kekuatan, bukan kesukaan yang menimbulkan keberpihakan. Itu juga kenapa selama tiga tahun terakhir kita lebih banyak menjumpai bahasa kekerasan daripada bahasa kecerdasan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Negara dan bangsa ini telah salah fatal memilih partai dan petugas partai yang bahkan dalam kebijakannya sangat rela membuat menderita kehidupan para pemilihnya sendiri, apalagi kepada para bukan pemilihnya. Jadi, pastikan Pilkada 2018 dan Pemilu 2019 jangan sampai terulang kebusukan dan kebodohan ini. (Teuku Gandawan, alumni ITB)
