Jakarta, Obsessionnews.com – Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Majelis Ulama Indonesia (MUI), gabungan sejumlah organisasi kemasyarakatan (ormas), adalah penggerak Aksi Bela Islam (ABI) di Jakarta yang fenomenal. Tokoh sentral ABI adalah Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Syihab.
Aksi ini digelar sebanyak tiga kali, yakni pada Jumat (14/10/2016) atau Aksi 1410. Aksi yang diikuti ribuan orang itu bertujuan menuntut Gubernur DKI Jakarta waktu itu Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) diadili karena diduga menghina Alquran surat Al Maidah 51.
Karena perjuangannya belum membuahkan hasil yang menggembirakan, GNPF MUI kembali menggelar ABI jilid dua pada Jumat (4/11/2016). Kali ini pesertanya meningkat menjadi sekitar 3,2 juta orang.
Namun, tuntutan GNPF MUI agar Ahok dipenjara belum juga berbuah manis.
Tak putus asa, GNPF MUI kembali berunjuk rasa pada Jumat (2/12/2016). ABI jilid tiga atau Aksi 212 ini diikuti sekitar 7,5 juta orang.

Akibat ABI sejumlah aktivis ditangkap oleh polisi. Selain itu dilakukan pula kriminalisasi terhadap sejumlah ulama, di antaranya Habib Rizieq.
Akhirnya manuver GNPF MUI memetik hasil yang menggembirakan. Pada Selasa (9/5/2017) Pengadilan Negeri Jakarta Utara memvonis Ahok dihukum dua tahun penjara.
GNPF MUI bertemu dengan Jokowi
Penangkapan terhadap sejumlah aktivis dan kriminalisasi terhadap sejumlah ulama mendapat protes dari berbagai elemen masyarakat.
Dalam situasi seperti ini, secara mengejutkan GNPF MUI bertemu dengan Presiden’ Joko Widodo (Jokowi) di hari pertama Hari Raya Idul Fitri 1438 H di Istana Merdeka, Minggu (25/6/2017). Inisiatif pertemuan tersebut, menurut Menteri Sekretaris Negara Pratikno, datang dari pihak GNPF MUI.
Dalam pertemuan dengan Jokowi itu, kata Pratikno, GNPF MUI menyampaikan apresiasi mengenai apa yang dilakukan pemerintah selama ini. Mereka juga menyatakan mendukung kebijakan pemerintah.
“Mereka juga mendukung sepenuhnya kebijakan pemerintah, pembangunan bangsa ini, dan mengapresiasi apa yang dilakukan oleh Pak Presiden, serta meminta untuk punya akses komunikasi. Yang disampaikan Presiden, ‘Mari kita buka komunikasi.’ Itu saja,” ujar Pratikno kepada wartawan, Minggu (25/6).
Sementara itu Ketua Umum Jaringan Intelektual Muda Islam (JIMI), Don Zakiyamani menilai
pertemuan Jokowi dan GNPF MUI yang walaupun diberitakan silahturahmi lebaran tetapi bernuansa politis.
JIMI menilai pertemuan itu merupakan upaya Jokowi dalam mempengaruhi para ulama dan habaib yang hadir agar mendukung pemerintahan Jokowi-JK.
“JIMI berharap GNPF MUI tidak tertipu, karena upaya hal sama pernah terjadi di masa yang lalu. Bangsa ini jangan lupa sejarah, ketika Soekarno berjanji akan memberikan syariat Islam kepada Aceh nyatanya tidak dilaksanakan. Ketika itu Soekarno bahkan berlinang air mata untuk meyakinkan ulama Aceh,” kata Don melalui keterangan tertulis, Senin (26/6).
Menurut Don, hal sama sekarang sedang dilakukan Jokowi dengan mengatakan ekonomi yang dijalankannya sangat pro-rakyat.
“Bagaimana mungkin ekonomi pro-rakyat sementara cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai asing,” cetusnya.
Dia menambahkan upaya pembodohan ulama harus dicegah. Lihat saja kebohongan tentang ranking ekonomi Indonesia di dunia.
“Bila tidak dikritik ekonom luar negeri tentu kita semua percaya bahwa ekonomi kita memang rangking 3 dunia. Padahal tidak demikian,” tegas Don.
JIMI menilai upaya tersebut merupakan kejahatan, pembohongan publik bahkan ulama pun akan ditipu rezim. JIMI meminta ulama tetap bersama rakyat dan tidak mau dibodohi rezim berkuasa. JIMI menilai ekonomi kita sangat kapitalis dan liberal. Jadi tidak benar bahwa arah ekonomi kita sangat pro-rakyat.
Akibat arah ekonomi kapitalis dan liberal, tutur Don, hutang kita semakin bertambah, aset negara satu demi satu harus dijual. Regulasi ekonomi kita sangat menguntungkan asing. Bahkan di dalam negeri keturunan Cina semakin merajalela dengan korporasi yang mereka miliki.
JIMI mengimbau kepada umat Islam selain melakukan silahturahmi Idul Fitri agar melakukan dakwah kesadaran berbangsa dan bernergara. Negara sudah darurat dan revolusi harus segera dilaksanakan. (arh)