Jumat, 19 April 24

Persaingan AS-Cina di Asia Tenggara dan Implikasinya Terhadap Indonesia

Persaingan AS-Cina di Asia Tenggara dan Implikasinya Terhadap Indonesia

Oleh: Muchtar Effendi Harahap, Alumnus  Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, FISIP UGM,Yogyakarta (1982), dan Ketua Dewan Pendiri NSEAS (Network fo South East Asian Studies)

Dalam ilmu hubungan internasional dikenal konsep dasar “kepentingan nasional”. Konsep ini  menjelaskan dan memahami perilaku politik internasional. Politik luar negeri suatu negara dipengaruhi “kepentingan nasional” sebagai “tujuan” mendasar dan paling menentukan.  Bagi teoritisi  politik internasional, pencapaian kepentingan nasional menyebabkan  kehidupan negara akan berlangsung stabil dan baik dari segi politik, ekonomi, sosial, pertahanan, keamanan, dan lain-lain.

Selanjutnya, teoritisi politik internasional acapkali menyamakan kepentingan nasional sebagai upaya negara untuk mengejar power atau kekuasaan. Power atau kekuasaan  bermakna, segala sesuatu dapat mengembangkan dan memelihara kontrol satu negara terhadap negara lain baik secara individual maupun kolektif. Hubungan kekuasaan dan pengendalian ini dapat melalui cara halus (kerja sama) atau kasar (paksaan). Kekuasaan nasional dan kepentingan nasional dianggap sebagai sarana dan sekaligus tujuan dari tindakan suatu negara untuk “bertahan hidup” dalam politik internasional. Dalam memahami level analisis dalam politik internasional, kepentingan nasional sebagai dasar tujuan politik luar negeri suatu negara dapat dianalisis berdasarkan level analisis “negara bangsa”. Intinya, aktor politik luar negeri suatu negara adalah negara bangsa  berdasarkan kepentingan nasional

Di lain pihak, salah satu level analisis lain yakni  “sistem internasional”  sebagai penentu. Level analisis ini mengenal konsep “polar” sebagai pesebaran power. Yaitu 1. Sistem Uniporal untuk satu pusat power/kekuasaan; 2. Sistem Bipolar untuk dua pusat power; 3. Sistem Tripolar untuk tiga pusat power; dan, 4. Sistem Multipolar untuk empat atau lebih pusat power.   Jenis sistem ini sangat bergantung pada persebaran power negara di suatu kawasan atau seluruh dunia.

Satu hal paling penting dari teori sistem multipolar (empat atau lebih pusat power/kekuasaan) yakni mengacu pada konsep “negara-bangsa”. Teori ini menunjukkan, negara-bangsa adalah fenomena eurocentrik dan mekanik, pada skala lebih besar, “globalis” dalam tahap awal. Seluruh ruang dunia saat ini dipisahkan menjadi wilayah negara-bangsa merupakan konsekuensi langsung dari penjajahan, imperialisme, dan proyeksi model Barat atas seluruh umat manusia.

Konsep negara bangsa ini mengalami “kemerosotan” dan “pengerusan”  akibat berkembangnya perspektif “globalisasi” dalam studi hubungan internasional. Perspektif globalisasi  berupaya meminimalkan “peran” negara bangsa. Globalisasi dapat diartikan sebagai meningkatnya hubungan internasional kearah  negara bangsa  tetap mempertahankan masing-masing identitas, namun menjadi semakin tergantung satu sama lain. Globalisasi juga dapat bermakan sebagai “internasionalisasi”, “ liberalisasi”, “universalisasi”, “westernisasi”, dan “hubungan transplanetori dan suprateritorial”.

Globalisasi sebagai sebuah proyek diusung oleh negara-negara adikuasa (superpower).  Dari sudut pandang ini, globalisasi tidak lain adalah kapitalisme dalam bentuk paling mutakhir. Negara-negara kuat dan kaya praktis akan mengendalikan ekonomi  dunia dan negara-negara kecil makin tidak berdaya karena tidak mampu bersaing.  Globalisasi cenderung berpengaruh besar terhadap perekonomian dunia, bahkan berpengaruh terhadap bidang-bidang lain seperti sosial politik,  budaya, juga agama, dan lain-lain. .

Dalam menganalisis persaingan AS-Cina (RRC) di Asia Tenggara, makalah ini lebih menggunakan level analisis negara bangsa dan sistem multipolar, sekalipun sesungguhnya layak menggunakan perspektif globalisasi. Dinamika politik ekonomi di Asia Tenggara ditentukan persaingan antara AS dan sekutunya (Barat) dengan Cina-Rusia dan sekutunya (Timur). Persaingan antar dua kekuatan raksasa ini sesungguhnya dipengaruhi kepentingan nasional masing-masing negara terlibat sebagai sarana dan sekaligus tujuan untuk “bertahan hidup” dalam politik internasional.

Persaingan AS-Cina di Asia Tenggara

Secara geopolitik persaingan global antar AS dan Cina (RRC)-Rusia telah bergeser dari kawasan Timur Tengah dan Asia Tengah, ke kawasan Asia Pasifik. Artinya, Asia Pasifik menjadi “medan perang” baru berbagai kepentingan negara adikuasa. Sebagai bagian dari Asia Pasifik, Asia Tenggara, Laut Cina Selatan dan Indonesia tentunya otomatis juga akan menjadi “sasaran arena persaingan” berbagai negara adikuasa.

Ketika persaingan global AS-Cina semakin menajam di kawasan Asia Pasifik, termasuk Asia Tenggara,  memiliki implikasi atau  berdampak langsung terhadap Indonesia.  Bahkan, dinamika politik ( termasuk perebutan kekuasaan negara) dan ekonomi dalam negeri Indonesia tidak terbebas dari dinamika persaingan global AS-Cina dimaksud.

Munculnya Cina sebagai  negara  adikuasa regional baru  kurun waktu 10 – 15 tahun ke depan dapat meningkatkan persaingan AS-Cina di Asia Tenggara, sekaligus meningkatkan potensi konflik bersenjata (militer). AS dan Cina sama-sama mempunyai “kebijakan strategis” dan “doktrin pertahanan-keamanan”  dalam rangka menguasai wilayah strategis khususnya Asia Tenggara dan Laut Cina Selatan. AS mempunyai doktrin disebut  the US Commission on Ocean Policy”, sedangkan Cina mempunyai doktrin disebut the String of Pearl”  sebagai rencana strategis untuk menguasai Jalur Sutra.

Pada pinsipnya AS memiliki kepentingan nasional di kawasan Asia Tenggara. AS menilai Asia Tenggara dan juga Indonesia memiliki posisi krusial.  AS perlu membina hubungan kuat dengan negara-negara ASEAN seperti Singapore, Filipina dan Vietnam, memiliki posisi strategis untuk mengepung pengaruh Cina di Asia Tenggara. Khususnya Singapura dinilai berlokasi sangat ideal untuk menguasai “choke points” (titik-titik kunci) seperti  Selat Malaka, serta akses menuju Vietnam dan Filipina. Diharapkan, bisa membantu AS membangun superioritas udara atas jalur-jalur di Laut Cina Selatan.

Ada beberapa kepentingan dan kebijakan AS di Asia Tenggara:

  1. Asia Tenggara memiliki arti geopolitik dan geostrategis penting pada persaingan alur laut paling kritis di dunia. Lebih dari AS $ 1,3 triliun barang dagangan diangkut melalui Selat Malaka dan Selat Lombok. Diperkirakan hampir separuh dari nilai perdagangan dunia, termasuk minyak yang krusial dari Teluk Persia ke Jepang, Korea Selatan, dan Cina. Untuk mengamankan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan AS dan sekutu-sekutunya, sangat tergantung pada kemampuan memelihara kehadiran di Asia Tenggara dan pengaruh AS, serta terbukanya akses tanpa hambatan ke jalur-jalur laut di kawasan itu.
  2. Asia Tenggara memiliki potensi kandungan minyak dan gas bumi serta tingkat produksi lebih besar ketimbang dibayangkan. Cadangan minyak dan gas bumi di Asia Tenggara belum sepenuhnya diketahui. Fokus utama dan sasaran strategis AS adalah penguasaan cadangan minyak dan gas bumi diprediksi punya kandungan cukup besar.
  3. Setiap gangguan atau pengalihan terhadap alur pasokan minyak akan mengakibatkan pengaruh berdampak menghancurkan ekonomi Asia Timur, dan pada perkembangannya dampak turunan terhadap AS. Perlu dan bahkan keharusan dibuatnya kebijakan mencegah intervensi kekuatan pesaing lain, terutama Cina dan Rusia. AS berupaya menguasai kawasan ini, sehingga pengawasan atas alur laut mempunyai nilai kunci, atau “choke points”.  Di seluruh Asia Tenggara AS akan menempatkan diri pada posisi mampu menekan Cina.
  4. Kebijakan AS memperkuat kehadiran militer di kawasan ini sehingga mampu menghadapi tantangan klaim Cina di Laut Cina Selatan dan pulau-pulau dipersengketakan seperti Spratley dan Paracel.  Dilaksanakan program pelatihan bersama sekawasan Asia Tenggara didukung oleh infrastruktur efektif dan program bantuan terhadap para sekutu, khususnya Filipina.
  5. Kebijakan normalisasi hubungan militer  dengan Indonesia secara penuh dan memulihkan pengalihan perlengkapan militer dan suku cadang dalam rangka mencegah kemerosotan kemampuan pertahanan Indonesia.

Sebagaimana AS, Cina juga memiliki kepentingan dan menjadikan vital atas kawasan Asia Tenggara. Kawasan ini terutama sebagai jalur perairan terpenting dan strategis di dunia, khusus membawa sumber daya energi dan bahan baku lain ke Cina, Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan. Cina menyadari betul bahwa sepertiga minyak mentah diperdagangkan di dunia melewati perairan Asia Tengagara.

Dewasa ini Cina terlibat di dalam sejumlah sengketa perbatasan terutama Spartly (Nansha) dan Paracel (Xisha), dengan Vietnam, Filipina, Malaysia, Taiwan, dan Brunei. Adapun di kawasan utara, di Laut Cina Timur, Cina bersengketa dengan Jepang atas Kepulauan Senkaku.

Beberapa kepentingan dan kebijakan Cina di Asia Tenggara:

  1. Saat ini sebagai salah satu negara pengguna energi/migas terbesar di dunia, Cina amat mencemaskan keamanan jalur pasokan laut mereka di Selat Malaka, membentang 800 km(500 mil) di antara pulau Sumatera Indonesia dan Semenanjung Melayu (Malaysia)  dan menyempit hanya 2,4 km (1,5 mil) lebarnya di Selat Singapura, mengarah ke Laut Cina Selatan.
  2. Sebagaimana Amerika, Rusia, Jepang dan India, Cina menyadari betul, saat ini sekitar 70 % perdagangan dunia bergerak melintasi Samudera Hindia antara  Timur Tengah dan Asia Pasifik. Seperempat perdagangan minyak mentah dunia melewati Selat Malaka.
  3. Cina mempunyai sasaran strategis menguasai wilayah-wilayah berada di jalur Laut Cina Selatan, merupakan Jalur Sutra Maritim. Untuk mengimbangi pengaruh AS begitu kuat secara militer di Asia Tenggara, dan menguasai Jalur Sutra Maritim, Cina punya doktrin kemaritiman dikenal dengan “String of Pearl.
  4. Kebijakan Cina lebih menekankan pola perang Asimetris (nirmiliter) dalam menguasai wilayah-wilayah bernilai strategis secara geopolitik di kawasan Asia Tenggara.  Sasaran perang asimetris ini ada tiga:
  5. Membelokkan sistem sebuah negara sesuai arah kepentingan kolonialisme.
  6. Melemahkan ideologi serta mengubah pola pikir rakyat.
  7. Menghancurkan food security (ketahanan pangan) dan “energy security” (jaminan pasokan dan ketahanan energi) suatu negara, selanjutnya menciptakan ketergantungan negara target terhadap negara lain di bidang “food and energy security”.
  8. Salah satu kunci Cina lebih kuat dari AS, karena untuk mewujudkan ”China Dream”, menjadi simbol kebangkitan etnis/ras  Cina, Xi Jinping (Presiden Cina) dan Li Keqiang (PM Cina), maka Cina-Hongkong dan Macau harus saling bekerja sama dan saling melengkapi. Cina tetap menganggap Huaren dan Huaqiao (warga Cina perantauan) menjadi aset penting mengejar “China Dream” . Kebijakan Cina, semua elemen Cina di manapun berada adalah “satu bangsa” melalui “program cultural nationalism”.
  9. Cina melaksanakan kebijakan Turnkey Project Management, sebuah model investasi asing ditawarkan dan disyaratkan oleh Cina kepada negara peminta dengan “sistem satu paket.” Artinya mulai dari SDM (Tenaga Kerja) level manajemen, konsumsi, teknisi mesin, tenaga ahli, tenaga kerja trampil dan bahkan tenaga kerja kasar (kuli)  disediakan atau berasal dari Cina (RRC).

Implikasi Terhadap Indonesia Era Jokowi-JK

Dalam perspektif politik (kolonialisme) global, Indonesia diletakkan sebagai:

  1. Pemasok bahan mentah bagi negara-negara industri maju.
  2. Pasar bagi barang  jadi dihasilkan oleh negara-negara industri maju.
  3. Pasar untuk pemutaran ulang kelebihan kapital diakumulasi oleh negara-negara industri maju.

Faktor geoposisi silang di antara dua samudera dan dua benua, menjadikan Indonesia mutlak harus kondusif, aman dan nyaman bagi keberlangsungan lalu lintas pelayaran antar negara bahkan antar benua. Terdapat 80% perdagangan dunia melalui Indonesia; 50% tanker minyak dunia.

Indonesia kini sesungguhnya menjadi sasaran proxy war (lapangan tempur) baik bagi Cina maupun AS. Namun, proxy war dilakukan secara asimetris (non militer).

Kerja sama ekonomi Indonesia-Cina sesungguhnya memasuki era baru saat Presiden SBY dan Presiden Cina, Xi Jinping, menandatangani perjanjian kerjasama Oktober 2013 di Jakarta. Selama ini hubungan kerjasama Indonesia-Cina hanya bidang perdagangan, namun sejak penandatangan ini meningkat ke arah industrialisasi  dan pembangunan non perdagangan seperti infrastruktur, transportasi enerji, keuangan dan pariwisata.

Pada 2014, rezim SBY-Boediono melalui Pilpres digantikan rezim Jokowi-JK. Di bawah rezim Jokowi-JK  hubungan kerja sama ekonomi meningkat pesat, bahkan Indonesia cenderung berpaling ke Cina.

Rezim Jokowi-JK cenderung berpaling ke Cina, bermula dari pertemuan antara Jokowi dan Presiden Cina (RRC) Xi Jinping, di sela-sela acara KTT Asia Afrika (KAA) ke-60, di Jakarta Convention Center, 22 April 2015. Dalam pertemuan itu, Jokowi ingin memastikan RRC dalam pembangunan infrastruktur di Indonesia, meliputi pembangunan 24 pelabuhan, 15 bandar udara (airport), pembangunan jalan sepanjang 1.000 kilometer (km), pembangunan jalan kereta api sepanjang 8.700 km, dan pembangunan pembangkit listrik (powerplan) berkapasitas 35 ribu megawatt. Ada kesepakatan Indonesia-Cina  terkait bantuan pembangunan infrastruktur.

Di bidang keuangan, di bawah rezim Jokowi-JK, utang luar negeri Indonesia terhadap Cina tumbuh 56,61 %. Pada Januari 2015 utang Indonesia ke Cina AS $ 8,55 miliar, sementara per Januari 2016 tumbuh menjadi AS $ 13,65 miliar, melejit 59 %. Dari lima negara kreditor besar Indonesia, hanya utang ke Cina saja mengalami kenaikan selama tahun terakhir. Sementara itu, utang ke Singapura, Jepang, AS dan Belanda sama-sama menurun (Bank Indonesia, Maret 2016).

Selanjutnya, pada September 2016, diperkirakan utang Indonesia ke Cina melonjak hingga 46,09 %. Jika Juli 2015 jumlah utang ke Cina sebesar  AS $ 9,69  miliar, maka Juli 2016 menaik AS $ 4,47 miliar menjadi AS $ 14,17 miliar (Bank Indonesia, 2016). Jika tahun 2015 Cina masih berada di peringkat kelima sebagai negara kreditor terbesar, pada Juli 2016 Cina sudah di peringkat ketiga terbesar. Dari lima Kreditor dimaksud, tercatat hanya utang Indonesia ke Cina dan Jepang mengalami kenaikan. Sisanya mengalami penurunan.

Investasi Cina di bidang keuangan dan infrastuktur, terutama  pelabuhan,  akan bermanfaat bagi Cina dari segi geopolitik dan geostrategis Cina. Cina memandang amat penting untuk menjaga jalur laut ke Hongkong, Shenzhen, Guangzhou, dan pelabuhan Cina lain agar tetap terbuka dan bebas dari segi keamanan laut. Hal ini selaras dengan doktrin “String of Pearl” Cina dengan gagasan dasar, yakni sebagai doktrin penguasaan maritim kawasan Asia Tenggara, khususnya wilayah-wilayah melewati Laut Cina Selatan.

Berdasarkan skema Cina tentang penguasaan geopolitik jalur sutra, Indonesia termasuk mata-rantai penting menjadi sasaran strategis dan perang asimetris Cina. Metode digunakan dalam bentuk investasi dan bantuan (utang), termasuk pembangunan infrastruktur.

Implikasi Jangka Pendek

  1. Berbondong-bondong Masuknya Tenaga Kerja Cina

Cina akan mendatangkan ribuan tenaga kerja dan akan berbondong-bondong migrasi secara massal dari Cina. Hal ini menyebabkan hilangnya peluang lapangan pekerjaan bagi rakyat Indonesia. Dan bahkan bisa terjadi “konflik manifest” rakyat Indonesia dengan kelompok tenaga kerja Cina yang datang ke Indonesia.

  1. Isu Politik Kebangkitan Komunisme

Implikasi jangka pendek ini menimbulkan polemik dan persepsi publik adanya kebangitan Komunisme. Argumentasi utama adalah RRC sebagai negara berideologi Komunisme tentu akan membantu bangkitnya kembali Komunisme di Indonesia. Hal ini menyebabkan meningkatnya keresahan dan kecaman rakyat Indonesia anti Komunisme, terutama kelompok Islam politik, mantan perwira dan TNI,  serta kaum terpelajar didikan Barat  terhadap kebijakan rezim Jokowi-JK terkait kerja sama ekonomi Indonesia-Cina dan pada gilirannya mengurangi legitimasi politik rezim Jokowi-JK. Rezim Jokowi-JK  perlu mengelola dan mengendalikan isu politik kebangkitan Komunisme ini agar tidak menjadi konflik manifest.

  1. Isu Politik Proyek Pulau Palsu (Reklamasi) Pantai Utara DKI

Kini sudah muncul polemik dan persepsi negatif terhadap kebijakan Gubernur DKI Jakarta, Ahok,  tentang pembangunan pulau palsu (reklamasi).  Pembangunan pulau palsu ini diklaim sebagai upaya untuk memindahkan rakyat Cina ke Indonesia dengan memberi permukiman dan perumahan. Gelombang rakyat Indonesia anti kebijakan pembangunan pulau palsu ini semakin meningkat dan dinilai sebagai ancaman bagi kedaulatan dan kelanjutan NKRI. Rezim Jokowi-JK  perlu mengelola dan mengendalikan isu politik pulau palsu ini agar tidak menjadi konflik manifest.

  1. Isu Politik Asing, Aseng dan Asong

Isu politik asing, aseng dan asong menguasai kehidupan ekonomi politik  Indonesia telah menjadi perbincangan di publik baik melalui media sosial, media massa maupun disksui publik. Isu ini semakin membesar dan meluas sesuai dengan berkembangnya isu berbondong-bondong tenaga kerja Cina masuk ke Indonesia dan penguasaan sebagian besar sumber daya Indonesia oleh kelompok konglomerat Cina. Isu ini juga dapat meningkatkan kecaman dan penolakan terhadap kegiatan ekonomi Cina di Indonesia sebagai realisasi kerja sama ekonomi Indonesia-Cina. Rezim Jokowi-JK  perlu mengelola dan mengendalikan isu politik asing, aseng dan asong  ini agar tidak menjadi konflik manifest.

  1. Isu  Politik Penyeludupan Narkoba dan PSK dari  Cina

Isu politik penyeludupan narkoba dan masuknya PSK (pelacur)  dari Cina telah menjadi polemik dan perbincangan publik akhir-akhir ini. Telah muncul isu di kalangan rakyat Indonesia, ditingkatkannya hubungan kerja sama ekonomi dengan Cina menyebabkan meningkatnya pemasokan narkoba ke Indonesia dari Cina. Selanjutnya, muncul isu meningkatnya  jumlah PSK   masuk ke Indonesia dari Cina. Rezim Jokowi-JK  perlu mengelola dan mengendalikan isu politik penyeludupan narkoba dan PSK  dari Cina  ini agar tidak menjadi konflik manifest.

Implikasi Jangka Menengah

Implikasi jangka menengah, yakni Indonesia niscaya dibanjiri berbagai produk konsumen dan sejenis dari Cina dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan (hidup) kalangan pekerja asal Cina dimaksud.

Bagaimanapun juga membanjirnya produk konsumen dan sejenis dari Cina akan membawa dampak negatif terhadap kondisi kehidupan usaha industri produk konsumen dan sejenis dalam negeri. Ada perkiraan, satu dua tahun ke depan Indonesia akan menjadi negara konsumen produk Cina dengan harga lebih murah ketimbang produk lokal. Dikhawatirkan, para  investor asing akan mengalihkan investasi dan  dana dari Indonesia ke  Cina dan Vietnam. Akibatnya, terjadi pengangguran besar-besaran tenaga kerja/buruh lokal.

Implikasi Jangka Panjang

Implikasi jangka panjang, yakni Cina akan memperoleh hak mengelola pelabuhan minimum 30-an tahun atau bahkan lebih. Artinya, bahwa sistem pengelolaan baik di pelabuhan laut maupun (bandara) udara akan dikendalikan Cina. Simpul-simpul strategis  Indonesia terkait transportasi untuk distribusi barang dan jasa dalam kendali dan kontrol Cina.  Hal ini dapat membawa dampak negatif terhadap kondisi kedaulatan dan peran negara dalam pengelolaan pemerintahan, dunia usaha dan masyarakat madani di Indonesia.

Jika pada praktiknya keputusan mendasari rezim Jokowi-JK  berpaling ke Cina semata-mata atas dasar pertimbangan “keuntungan ekonomi”, maka Indonesia berpotensi untuk “tergadai”  melalui “skema investasi asing” Cina dan semakin kehilangan “martabat” dan “kedaulatan” sebagai negara  bangsa dalam politik internasional. (*)

Makalah ini disajikan pada Diskusi Dialogis:  “Ancaman Komunisme Cina Raya dan Bahaya Politik Kartel Keturunan: Fakta atau Ilusi?”, diselenggarakan  oleh QOMAT, Kampus Sjafruddin Prawiranegara, Sekolah Tinggi Ekonomi Perbankan Islam (STEBANK), Jakarta Pusat, 5 Januari 2017.

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.