Purwokerto, Obsessionnews.com – Mata uang Rupiah menunjukkan fluktuasi pada beberapa bulan terakhir. Hal ini ditunjukkan oleh pergerakan rupiah yang bergerak melemah kemudian menguat kembali hampir ke posisi awal pada kisaran 14.000 an per dolar US. Pergerakan nilai kurs Rupiah terhadap $ tersebut menunjukkan fluktuasi, ungkap Tim Promosi Unsoed Ir.Alief Einstein,M.Hum. saat mendampingi pemaparan Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Unsoed Dr.Abdul Aziz Ahmad (Aziz).
1. Pergerakan Rupiah
Koordinator Program Doktor Ilmu Ekonomi FEB Unsoed Dr.Abdul Aziz Ahmad mengatakan :”Rupiah yang sempat di posisi di atas Rp16.600 tersebut menguat tidak terlepas dari peran bank Indonesia dalam upaya stabilisasi Rupiah yang diberitakan mengucurkan dana mencapai lebih dari Rp. 200 triliun untuk mempengaruhi pasar spot mata uang dan stabilisasi nilai obligasi negara.
Sebelum mendeteksi penyebab dari penyebab fluktuasi rupiah pada waktu-waktu terakhir, perlu diketahui dahulu mengapa terjadi pergerakan penguatan atau pelemahan suatu mata terhadap mata uang lain secara umum. Sebagai mana halnya umumnya berlaku di pasar, naik turunnya harga suatu komoditas ditentukan oleh pergerakan penawaran dan permintaan.
Di sisi permintaan, kenaikan permintaan yang tidak diantisipasi dengan kenaikan permintaan akan menyebabkan terjadinya kelangkaan produk dan berdampak kenaikan harga.
Di sisi lain, jika penawaran menjadi berkurang sementara permintaan tidak berubah juga menyebabkan pergeseran penawaran yang berdampak kenaikan harga dan stok berkurang. Kemudian, terkait persoalan uang, akan memunculkan pertanyaan apa yang mendorong terjadinya pergerakan penawaran dan permintaan uang.
Pergerakan nilai mata uang terhadap mata uang lain dapat diklasifikasikan menurut periode jangka pendek, jangka menengah, serta jangka panjang, papar Aziz.
a. Jangka Pendek
Pergerakan mata uang dalam periode yang pendek (harian atau mingguan) lebih ditentukan oleh kondisi terkini pasar finansial dan pelakunya. Beberapa faktor umum yang biasa diidentifikasikan menentukan pergerakan jangka pendek mata uang adalah trend pasar, sentimen atau psikologi pelaku pasar, posisi investor, juga pengambilan risiko investor jangka pendek.
Fluktuasi mata uang juga dipengaruhi oleh intervensi bank sentral yang ditujukan untuk menjaga stabilitas nilai mata uang dalam negeri. Bank Indonesia yang memiliki tugas utama untuk menjaga stabilitas nilai Rupiah melakukan intervensi di pasar dan sangat mempengaruhi pergerakan Rupiah. Bank Indonesia melakukan operasi pasar terbuka melalui pemenuhan pasokan US dolar jika Rupiah melemah.
Aktivitas non ekonomi juga mendorong fluktuasi pergerakan mata uang jangka pendek. Persoalan stabilitas keamanan, isu terorisme, atau demonstrasi dalam skala besar juga dianggap mendorong pergerakan depresiasi nilai Rupiah. Sementara situasi politik maupun sosial yang dianggap terkendali juga akan memberikan efek positif pada apresiasi Rupiah, kata Aziz.
b. Jangka Menengah
Untuk kategori jangka menengah, pergerakan mata uang dipengaruhi oleh kondisi ekonomi makro seperti kebijakan moneter dan fiskal, kebijakan suku bunga, pertumbuhan ekonomi, portfolio balance, neraca perdagangan, inflasi, juga aliran investasi. Sebagai misalnya dalam neraca perdagangan yang diakibatkan aktivitas perdagangan internasional akan mendorong ketersediaan valuta asing dalam negeri.
Makin banyak ekspor akan berarti makin banyak valuta asing yang diterima negara yang nantinya akan dikonversi menjadi Rupiah dan mendorong penguatan Rupiah. Sebaliknya, Rupiah akan melemah jika impor menunjukkan pergerakan yang semakin naik dan lebih tinggi dari posisi ekspor, jelas Aziz.
c. Jangka Panjang
Untuk jangka panjang, pergerakan mata uang dipengaruhi oleh fundamental ekonomi makro seperti tren-tren perdagangan internasional, tingkat produktivitas dan efisiensi ekonomi, dan kondisi paritas daya beli masyarakat atau Purchasing Power Parity.
Selanjutnya Aziz menjelaskan bahwa pada beberapa bulan terakhir di tahun 2020 ini, fluktuasi Rupiah terhadap mata uang asing khususnya USD diperkirakan masih merupakan pergerakan mata uang dalam jangka pendek.
Pada minggu ketiga Maret 2020, referensi JISDOR bank Indonesia menunjukkan Rupiah anjlok mendekati Rp17.000 per USD. Pada saat yang sama terjadi aksi jual di pasar saham sampai 4% di beberapa hari berturut-turut. Pada kasus ini, pelemahan Rupiah diperkirakan karena spontanitas reaksi pasar atas perilaku jual di pasar saham.
Aksi jual Surat Utang Negara (SUN) oleh investor asing senilai Rp170 triliun di bulan Maret ditengarai berdampak langsung pada jatuhnya Rupiah. Dari dalam negeri juga, makin tingginya kasus infeksi corona yang menyebabkan kekhawatiran adanya lockdown dan dapat mengganggu perekonomian telah mendorong para investor untuk melakukan aksi jual dan juga mengamankan portofolionya dengan pembelian dolar.
Pelemahan Rupiah tersebut juga terkait dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi rendah yang disampaikan menteri keuangan telah menimbulkan kekhawatiran dan sentimen negatif di pasar.
Dari faktor eksternal, penurunan risk appetite investor global atas kekhawatiran penyebaran virus corona ditengarai berdampak buruk pada kestabilan Rupiah. Sentimen pasar negatif ini juga diperkirakan karena kegagalan negara terkemuka untuk menstimulasi stabilisasi ekonomi, seperti kegagalan senat USA pada Maret tersebut untuk melakukan stimulasi antisipasi dampak covid telah memberikan reaksi berantai pada pasar modal dan pasar uang global.
Khawatir atas depresiasi Rupiah yang makin dalam, pada minggu ketiga Maret Bank Indonesia telah mengeluarkan dana sekitar Rp.114 Triliun dari cadangan devisa untuk stabilisasi Rupiah di pasar spot. Bank Indonesia juga melakukan aksi beli SUN mencapai Rp166 triliun dengan tujuan agar nilai SUN tetap terjaga yang mampu menghentikan aksi jual oleh investor supaya Rupiah tidak melemah drastis kembali. Efek dari intervensi BI ini telah berdampak langsung penguatan Rupiah yang signifikan di bawah Rp 15.000 per USD.
Rupiah berangsur menguat pada periode April sampai awal Juni. Di Minggu pertama Juni, Rupiah sempat menguat di level tertinggi dengan nilai di bawah Rp13.900 per USD.
Pada beberapa minggu terakhir Rupiah menunjukkan pergerakan naik turun dengan prediksi penyebab yang minor yang lebih disebabkan faktor eksternal, jelas Aziz.
2. Pergerakan IHSG
Dr.Abdul Aziz Ahmad yang juga ahli Ekonomi Regional mengatakan bahwa di pasar saham tahun 2020 ini, Indeks Harga Saham Gabungan telah mengalami penurunan yang dimulai sejak periode awal Februari. Di periode tersebut IHSG yang pada bulan sebelumnya masih di atas indeks 6.000 menunjukkan pelemahan dan terus bergerak melemah.
Bahkan pada minggu ketiga Maret mencapai level terendah di angka indeks 3.937. Selama dua bulan tersebut, akhir Januari sampai akhir Maret, IHSG tergerus di atas 2000 poin atau anjlok di atas 30%. Pelemahan indeks saham tidak hanya di Indonesia, namun juga terjadi secara global.
Makin meluasnya penyebaran virus corona banyak disebut telah mendorong pelemahan indeks saham. Efek pelambatan ekonomi, proyeksi pelambatan pertumbuhan ekonomi, kebijakan yang ambigu dalam penanganan wabah telah berdampak sentimen negatif di pasar saham.
Hal tersebut telah berdampak investor untuk mengevaluasi kembali portofolionya, terlebih di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Para investor menjadi terlalu berhati-hati dan kondisi ekonomi dianggap tidak mendukung untuk pengambilan risiko.
Bahkan obligasi pemerintah di Asia yang menawarkan imbalan tinggi juga tidak menarik lagi bagi investor.
Pada akhir Maret, setelah mencapai titik terendah, IHSG berangsur-angsur menunjukkan pergerakan meningkat dengan fluktuasi minor. IHSG tercatat menguat sampai kisaran 4.800. Beberapa sentimen positif pendorong IHSG antara lain penguatan WTI Crude Oil hampir 16%, juga menguatnya harga komoditas lain seperti batu bara, emas, dan CPO.
Demikian juga penguatan nilai tukar Rupiah atas Dolar AS dilevel Rp 15.000an telah berperan mendorong kenaikan naik IHSG. Meskipun demikian, IHSG sampai saat ini belum mampu menguat sebaik posisi awal tahun. IHSG akan memiliki potensi semakin menguat lagi jika pemerintah mampu membuat kebijakan ekonomi yang mampu menstimulasi pertumbuhan ekonomi dan memperbaiki beragam indikator ekonomi makro, kata Aziz. (Red)