
Jakarta – Pesta demokrasi lima tahun sekali sudah selesai, sejumlah lembaga survei mendahului KPU, merilis hasil surveinya terkait perolehan suara Pilpres 9 Juli 2014 berdasar hitung cepat (quick count) meski belum bisa dijamin validitas dan kredibilitasnya. Sebagian lembaga survei memenangkan pasangan Capres-Cawapres Prabowo-Hatta, sedangkan sebagian lainnya memenangkan pasangan Jokowi-JK.
Yang mengkhawatirkan, ternyata masing-maisng kubu yang sudah keburu mendeklarasikan kemenangan sebagai presiden terpilih berdasarkan hasil quick count, bukan real count atau hasil resmi dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang baru akan diumumkan pada 22 Juli nanti. Bahayanya, jika nanti ternyata KPU mengumumkan pemenang Pilpres lain dengan hasil lembaga survei, maka bisa memancing pertikaian antar kubu dan bahkan bisa saling bantai.
Inilah hasil lembaga survei yang dipakai maisng-masing kubu pasangan Capres-Cawapres yang berlaga di Pilpres 2014. Pasangan Prabowo-Hatta telah dimenangkan oleh empat lembaga survei yakni Lingkar Survei Nasional (LSN), Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis, (Puskaptis), Indonesia Research Center (IRC), dan Jaringan Suara Indonesia (JSI). Sedangkan pasangan Jokowi-JK dimenangkan oleh Lingkaran Survei Indonesia (LSI), Populi Center, CSIS, Litbang Kompas, Indikator Politik Indonesia, RRI, dan Saiful Mujani Research Center (SMRC). Berikut 11 hasil survei yang telah dirilis oleh lembaga survei.
Berikut hasil yang dirilis 11 lembaga survei tersebut. Populi Center: Prabowo-Hatta 49,05%, Jokowi-JK 50,95%. CSIS: Prabowo-Hatta 49,05%, Jokowi-JK 50,95%. Litbang Kompas: Prabowo-Hatta 47,66%, Jokowi-JK 52,33%. Indikator Politik Indonesia: Prabowo-Hatta 47,05%, Jokowi-JK 52,95%. LSI: Prabowo-Hatta 46,43, Jokowi-JK 53,37%. RRI: Prabowo-Hatta 47,32%, Jokowi-JK 52,37%. SMRC, Prabowo-Hatta 47,09%, Jokowi-JK 52,91%. Puskaptis: Prabowo-Hatt 52,05%, Jokowi-JK 47,95%. IRC: Prabowo-Hatta 51,11%, Jokowi-JK 48.89%. LSN: Prabowo-Hatta 50,56%, Jokowi-JK 49,94%. JSI: 50,13%, Jokowi-JK 49,87%.
Baik kubu Jokowi maupun Prabowo, keduanya sama-sama mengklaim pihaknya yang menang versi Quick Count. Demikian juga, sebagian masyarakat lebih condong percaya terhadap hasil survei yang memenangkan Jokowi-JK. Sedangkan sebagaian masyarakat lainnya lebih percaya kemenangan Prabowo-Hatta. Jadi, dari sisi masyarakat pun ikut terpecah menjadi dua kubu yang rawan memancing konflik.
Menanggapi hal itu, aggota Dewan Etik Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi), Hamdi Muluk, mempertanyakan lembaga survei yang telah merilis kemenangan terhadap Prabowo-Hatta. Menurutnya, kemenangan itu di luar nalar logika. “Kalau secara logika, tentunya dari sekian banyak itu, sesuatu yang benar itu kalau koheren dengan kebenaran-kebenaran yang lain. Jadi kalau dari 10, tujuh mengatakan A, tiga mengatakan B, kemungkinan B yang salah,” kata Hamdi dalam jumpa pers di Jakarta, Rabu (9/7).
Peneliti psikologi politik dari UI ini menduga ada manipulasi data yang digunakan, oleh keempat lembaga survei tersebut untuk memenangkan Prabowo. Karena hasilnya berbeda dengan lain karena mengunakan metodologi yang berbeda namun dianggap tidak ilmiah. Untuk itu, untuk mengklarifikasi hasil rilrisnya Persepi berencana akan memanggil lembaga survei yang berada di bawahnya. “Persepi dalam hal ini akan panggil lembaga yang ada di bawah Persepi. Yang terbanyak, yang benar harusnya,” ujar Hamdi.
Sementara itu, Sekjen Persepi Yunarto Wijaya juga menuding, lembaga yang memenangkan Prabowo seperti Puskaptis kerap merilis hasil surveinya berbeda dengan yang lain, dan sering salah survainya terkait Pilkada Kota Palembang beberapa waktu yang lalu. “Ketika didiamkan terjadi lagi, bukan pada level metodologis, ini aib dan memalukan, membuat konflik di bawah. Puskaptis karena dianggap menyesatkan harus diamankan polisi di Palembang. Kita tidak inginkan itu terjadi karena situasi memanas,” Kata Toto.
Selain ketujuh lembaga survei yang sudah memenangkan Jokowi-JK. Kabar terakhir Poltracking Institute juga menampilkan hasil quick count atau hitung cepat yang memenangkan Jokowi-JK. Lembaga tersebut sebanarnya sudah melakukan kontrak dengan TV One. Namun sayangnya dibatalkan, TV One lebih memilih untuk menyayangkan empat lembaga survei yang memenangkan Prabowo.
Direktur Eksekutif Poltracking Hanta Yuda mengaku memutuskan kerja sama dengan salah satu televisi swasta tersebut karena dianggap tidak sesuai dengan komitmen awal. Dimana TV One sudah bersedia untuk mempublikasikan hasil survainya. Banyak pihak menduga karena suvei ini memenangkan Jokowi akhirnya TV One membatalkan.
Padahal sejak awal, kata Hanta televisi tersebut menyatakan hanya akan menampilkan hasil quick count yang dilakukan Poltracking. Namun, lanjutnya, tiba-tiba televisi itu mengundang tiga lembaga survei lainnya. Meski begitu, Hanta tetap menghormati keputusan redaksi TV One. ”Komitmen awal hanya Poltracking kan, juga sudah sejak tiga hari lalu di iklan-iklan. Hanya kami. Tapi, tadi pagi ada salah satu teman redaksi menyampaikan ada tiga lembaga,” kata Hanta.
Menurut Hanta, tiga lembaga survei lain yang akan ditampilkan hasil quick count-nya oleh televisi swasta tersebut berbeda datanya dengan data Poltracking. Dimana lembaga ini menempatkan Jokowi-JK pada posisi nomor wahid dengan presentasi Prabowo-Hatta 46,63 persen sedangkan Jokowi-JK 53,37 persen.
Hanta mengaku tidak masalah hasil survainya tidak jadi diekspose di TV One, ia lebih memilih mempertaruhkan nama baik lembaganya dengan mengedepankan prinsip-prisip ilmah dengan metodologi yang jelas.
Menanggapi perselisihan antara kedua kelompok lembaga survei tersebut, Pengamat Politik Burhanudin Muhtadi juga mengatakan, pada dasarnya seorang peneliti boleh salah tapi tidak boleh berbohong. “Peneliti salah boleh, tapi tidak boleh berbohong,” katanya.
Bahaya
Nampaknya, saling klaim dua kubu pasangan Capres-Cawapres tidak hanya membingungkan masyarakat, tapi juga bisa memprekeruh suasana ke arah konflik akar rumput. Siapa pun lembaga survei itu tidak menyadari bahwa akibat perilakunya yang provokatif akan membuat bentrokan antar masyarakat dan bahkan bisa saling bunuh. Lembaga survei yang memunculkan hasil perolehan suara pasangan Capres-Cawpares di Pilpres 9 Juli 2014 dinilai sesuai pesanan dan atau bayaran.
Bahayanya, ada kelompok survei tertentu memenangkan Jokowi-JK tetapi kelompok survei yang lain memenangkan Prabowo-Hatta. Hal ini bisa memicu konflik dan perang horisontal antar masyarakat. “Lembaga survey yang tidak bertindak independen melalui Quick Count-nya ini telah memprovokasi rakyat untuk saling bunuh dan saling bantai,” ungkap Jurubicara Front Aksi Mahasiswa (FAM) Indonesia, Wenry Anshory, Rabu (9/7).
Ia mengungkapkan, menurut sebuah lembaga survey independen yang dibayar sebuah perusahaan asing untuk melakukan Quick Count, hasil Pilpres 2014 adalah Prabowo 50 persen, Jokowi 50 persen. Namun, oleh lembaga survey yang tidak independen dan tidak kredibel karena telah dibayar oleh kedua tim sukses, hasil Quick Count telah direkayasa dan di mark up untuk dimenangkan oleh capres yang didukungnya.
“Lembaga survei yang mendukung Prabowo melakukan mark up suara untuk memenangkan Prabowo dengan selisih angka 1-2 persen di atas Jokowi. Sementara lembaga survei yang dibayar Jokowi telah melakukan mark up hasil Pilpres sangat tebal, memenangkan Jokowi dengan selisih suara 4-5 persen di atas Prabowo,” beber Aktivis Mahasiwa dari Universitas Al-Azhar ini.
Wenry menegaskan, bila terjadi saling bantai dan saling bunuh antar pendukung kedua capres, maka lembaga survey bayaran yang harus disalahkan dan dimintai pertanggungjawaban. “Demi uang dan kursi kekuasaan, mereka para pengelola lembaga survey tega memprovokasi rakyat untuk saling bantai,” ungkapnya sembari menyerukan: “Selamatkan bangsa dan negara Indonesia! Kembali ke Pancasila dan UUD 1945!”
Inisiator Gerakan Masyarakat Sipil untuk Pemilu Bersih, Adhie M Massrdi juga khawatir terhadaap dualisme hasil quick count lembaga survei tersebut, karena bisa memicu konflik dan perang horisontal antar masyarakat. “Celakalah kalian, para intelektual di lembaga-lembaga survei, yang telah menggadaikan pengetahuannya (semata) demi hidup mewah di atas reruntuhan demokrasi,” hujat Koordinator Gerakan Indonesia Bersih (GIB) ini.
“Kini, karena ulah kalian memenangkan setiap yang bayar (kalian), rakyat tidak percaya lagi kepada lembaga Quick Qount (sekalipun itu benar). Sehingga orang lebih percaya kepada perhitungan manual,” tandas Mantan jurubicara Presiden era Gus Dur.
Padahal, lanjut Adhie, yang demikian itu (hitung manual) membuat riuh politik yang semakin rendah martabatnya kian panjang dan merisaukan. Seharusnya, Rabu (9/7) petang ini, panasnya suhu politik pilpres sudah bisa diturunkan. “Tapi karena segolongan intelektual yang sudah menjual martabatnya demi hidup mewah yang hedon, semua institusi demokrasi kehilangan integritas dan kredibilitasnya,” ungkapnya.
“Sungguh, celakalah kalian para intelektual penjaja moral dng harga yang murah!” seru Adhie Massardi. Kini, masih ada upaya untuk mengamankan suasana agar tak terjadi hal yang tidak diinginkan. Yakni, masing-masing kubu Tim Capres-Cawapres harus meminta para pendukungnya agar menahan diri hingga ada keputusan resmi KPU dan tidak melakukan gerakan yang memperkeruh suasana. Termasuk kubu yang sekarang sudah mengerahkan massa keliling kota mengklaim pihaknya sudah menang yang pada akhirnya bisa memancing reaksi dari pihak lawan. (Abn)