
A.Rapiudin
Jakarta –Ketentuan dalam UU Nomor 8 tahun 2012 tentang kuota 30 persen caleg perempuan yang kemudian dimasukkan ke dalam Peraturan KPU Nomor 7 tahun 2013, bukan datang tiba-tiba, tetapi sudah dimulai sejak Pemilu 2004 lalu. Karena itu, peraturan tersebut seharusnya tidak menjadi masalah bagi partai politik untuk memenuhinya.
Hal tersebut disampaikan pengamat politik Puskapol UI Sri Budi Eko Wardhani di Jakarta, Kamis (4/4).
“Secara logika mestinya peraturan ini tidak menjadi masalah buat partai politik.Apalagi, parpol yang ikut Pemilu 2014 mendatang sebagian besar adalah partai lama,” ujarnya menanggapi tentang partai politik yang kesulitan memenuhi kuota 30 persen lantaran jumlah perempuan yang mau terjun ke dunia politik sedikit.
Menurut Sri Budi, persoalan di partai politik terkait pemenuhan kuota 30 persen perempuan terletak pada rekrutmen dan kaderisasi. Kalau parpol mampu melakukan rekrutmen, kaderisasi, bahkan pendidikan politik terhadap kadernya, khususnya perempuan, maka parpol tidak akan kesulitan memenuhi kuota 30 persen.
“Jadi, parpol harus tetap komitmen dalam melakukan rekrutmen, kaderisasi, dan pendidikan politik bagi kader perempuannya sehingga siap saat menjadi caleg,” katanya.
Lebih lanjut, Sri Budi menegaskan, kebijakan afirmatif merupakan bagian dari prinsip keadilan dalam demokrasi yang diimplementasikan melalui pencalonan minimal 30 persen perempuan sebagai caleg. Selain itu, kebijakan afirmatif melalui Peraturan KPU tersebut sangat strategis, karena berkaitan dengan pemenuhan tanggung jawab parpol peserta pemilu sesuai perintah UU No. 8 tahun 2012. (rud)