Sabtu, 20 April 24

Pentingnya Pemulihan Hak Korban dalam Sistem Peradilan Pidana

Pentingnya Pemulihan Hak Korban dalam Sistem Peradilan Pidana

Pentingnya Pemulihan Hak Korban dalam Sistem Peradilan Pidana**
Oleh: Abdul Haris Semendawai SH LLM*

 

 

Sebagai ilmu yang mempelajari tentang korban, perkembangan viktimologi cukup pesat. Sejak awal perkembangannya sekitar tahun 1940-an, hingga didirikannya World Society of Victimology (WSV) yang dipelopori oleh Schneider dan Drapkin pada tahun 1977, viktimologi telah memberikan pengaruh yang sangat besar dalam perjalanan hukum pidana di beberapa negara di dunia, termasuk di Indonesia.

 

Perubahan besar dimaksud terwujud pada saat diadakannya kongres di Milan, pada tanggal 26 Agustus 1985 yang menghasilkan beberapa prinsip dasar tentang korban kejahatan dan penyalahgunaan kekuasaan yang selanjutnya diadopsi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 11 Desember 1985 melalui deklarasi yang dinamakan Declaration of Basic Principle of Justice for Victims of Crime and Abuse Power.

 

Dalam UN Declaration of Basic Principle of Justice for Victims of Crime and Abuse Power disebutkan mengenai pembentukan prinsip-prinsip dasar tentang perlindungan korban. Beberapa hal pokok yang diatur dalam deklarasi tersebut antara lain mengenai apa yang dimaksud sebagai korban dan bagaimana cara memperlakukan korban.

 

Korban dalam deklarasi tersebut didefinisikan sebagai orang-orang yang secara pribadi atau kolektif, telah menderita kerugian, termasuk luka fisik atau mental, penderitaan emosional, kerugian ekonomi atau perusakan cukup besar atas hak-hak dasarnya, lewat tindakan atau penghapusan yang bertentangan dengan hukum pidana yang berlaku di negara-negara anggota, termasuk hukum yang melarang penyalahgunaan kekuasaan yang bisa dikenai pidana.

 

Deklarasi itu juga mengamanatkan korban harus diperlakukan dengan rasa kasih dan dihormati martabatnya. Korban berhak mendapatkan kesempatan menggunakan mekanisme keadilan dan memperoleh ganti rugi dengan segera, sebagaimana ditetapkan oleh perundangan nasional atas kerugian yang dideritanya.

 

Sedangkan bagi orang yang bersalah atau pihak ketiga yang bertanggung jawab atas perilaku mereka, apabila tepat, harus memberikan restitusi yang adil kepada korban, keluarga atau tanggungannya. Restitusi mencakup pengembalian harta milik atau pembayaran atas kerusakan atau kerugian yang diderita.

 

Apabila kompensasi tidak sepenuhnya tersedia dari orang yang bersalah atau sumber-sumber lain, negara harus berusaha untuk memberi kompensasi keuangan kepada korban yang menderita luka berat atau keluarga yang menjadi tanggungan orang yang meninggal atau menderita luka berat.

 

Para korban juga harus menerima bantuan material, medis, psikologis dan sosial yang perlu lewat sarana pemerintah, sarana-sarana sukarela, menyangkut dana penduduk asli. Dan, juga para korban harus diberi tahu tersedianya pelayanan kesehatan dan sosial dan bantuan lain yang berkaitan dan mereka harus senantiasa diberi kesempatan untuk memanfaatkannya.

 

Prinsip-prinsip tentang perlindungan korban dalam deklarasi PBB sejalan dengan tujuan dari viktimologi itu sendiri, yakni menganalisis berbagai aspek yang berkaitan dengan korban, berusaha untuk memberikan penjelasan sebab musabab terjadinya viktimisasi, dan mengembangkan sistem tindakan guna mengurangi penderitaan manusia.

 

Sedangkan dilihat dari fungsinya, selain mempelajari sejauh mana peran dari seorang korban dalam terjadinya tindak pidana, viktimologi juga berfungsi mempelajari bagaimana perlindungan yang seharusnya diberikan oleh pemerintah terhadap seseorang yang telah menjadi korban kejahatan.

 

Berkaca dari praktik hukum acara pidana di Indonesia, sebelum era reformasi bergulir, perlindungan lebih dominan diberikan kepada tersangka atau terdakwa dari berbagai kemungkinan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Seperti dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dimana perlindungan bagi tersangka atau terdakwa diatur dalam banyak pasal, mulai dari Pasal 50-68. Sedangkan pasal-pasal yang mengatur perlindungan dan hak korban kejahatan sangat sedikit.

 

Karena itu tidak heran jika sistem pemidanaan yang berlaku saat ini di Indonesia lebih menggunakan pendekatan penyelesaian perkara pidana dengan cara penghukuman (pemidanaan) atau dikenal dengan istilah retributive justice. Semua bentuk kejahatan yang terbukti di persidangan diputus dengan cara menghukum pelaku, sedangkan hak-hak korban kejahatan  seperti kurang diperhatikan.

 

Dari situ bisa tergambar bahwa pendekatan retributive justice lebih fokus pada pelaku dan mengenyampingkan hak-hak korban. Karena setiap penyelesaian perkara pidana dituntaskan dengan menghukum pelaku dengan tujuan menimbulkan efek jera dan membuat yang bersangkutan tidak kembali mengulangi perbuatannya.

 

Namun, pendekatan model retributive justice kurang memerhatikan nasib korban dan apa yang sesungguhnya diinginkan oleh korban karena korban tidak terlibat secara langsung dalam menentukan penyelesaian kasus tersebut. Negara yang dipresentasikan aparat penegak hukum secara tidak langsung mengambil alih hak-hak korban dengan mengatasnamakan penegakan hukum melalui prosedur yang berlaku.

 

Kepentingan korban diwakili oleh negara melalui aparat penegak hukum dengan cara cara memidanakan pelaku, sedangkan korban hanya bisa menunggu dan menyaksikan apa yang dilakukan oleh negara. Terkadang, putusan hakim dapat memuaskan bagi korban, namun tidak jarang justru membuat korban kecewa, karena putusannya jauh dari rasa keadilan yang diidam-idamkan korban dan masyarakat.

 

Kemudian muncul paradigma restorative justice yang menawarkan solusi berbeda. Proses penyelesaian perkara pidana dilakukan melalui mekanisme yang melibatkan kedua belah pihak, yaitu pelaku dan korban. Pola penyelesaian perkara dengan model mediasi menjadikan para pihak lebih banyak berperan mengatasi persoalannya.

 

Sedangkan pengadilan berperan sebagai fasilitator dan mediator terhadap perkara pidana yang mengandung konflik dengan tujuan mendamaikan kedua belah pihak. Putusan pengadilan dapat berupa kesepakatan damai, pemberian ganti rugi kepada korban, dan penghukuman kepada pelaku. Dengan demikian tujuan penegakan hukum bukan semata-mata pemidanaan tetapi juga pemulihan hubungan antara pelaku dan korban.

 

Jika dikaitkan, viktimologi sangat bermanfaat bagi aparat penegak hukum, khususnya majelis hakim. Viktimologi dapat membuat hakim tidak hanya menempatkan korban sebagai saksi dalam persidangan suatu perkara pidana, tetapi juga turut memahami kepentingan dan penderitaan korban akibat dari sebuah kejahatan atau tindak pidana, sehingga apa yang menjadi harapan dari korban terhadap pelaku kejahatan sedikit banyak dapat terkontritisasi di dalam putusan hakim.

 

Paradigma keadilan restoratif sendiri sudah banyak diterapkan di berbagai negara maju di dunia, seperti Amerika Serikat, Eropa, Australia, Jepang, Korea dan lain-lain. Salah satu keuntungan yang didapat dari penerapan model ini adalah mengurangi beban lembaga pemasyarakatan dalam menampung narapidana. Selain itu, penerapan keadilan restoratif juga dapat mengurangi tunggakan perkara di Mahkamah Agung akibat tidak sebandingnya jumlah hakim agung dan perkara yang harus diselesaikan.

 

Namun, memang tidak mudah mewujudkan keadilan restoratif dalam sistem pemidanaan di Indonesia, yang masih dipengaruhi mainstream retributive justice, dengan teori dasar bahwa perbuatan pidana merupakan pelanggaran terhadap aturan yang dibuat oleh negara, sehingga penyelesaian perkaranya hanya fokus terhadap pelaku sedangkan hak-hak korban diwakili oleh negara.

 

 

Peserta konferensi yang saya banggakan,

Langkah maju sedikit terlihat dalam praktik sistem peradilan pidana di Indonesia, dimana ganti kerugian yang sebelumnya masuk ke dalam ranah perdata saat ini sudah bisa diajukan dalam persidangan pidana. Rezim penggantian ganti kerugian yang terdapat dalam KUHAP pada dasarnya mengacu pada pembedaan yurisdiksi peradilan pidana dan peradilan perdata, yang prinsipnya adalah penggabungan perkara perdata berupa ganti kerugian kepada pelaku tindak pidana dalam prosedur acara pidana.

 

Penjelasan mengenai prinsip penggabungan perkara ganti kerugian yang bersifat keperdataan dalam persidangan perkara pidana merujuk pada Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor: M.1.P.07.03. TH 1982 tentang Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum acara Pidana. Diterangkan bahwa perlindungan terhadap hak korban suatu tindak pidana diberikan dengan mempercepat proses untuk mendapat ganti rugi yang dideritanya ialah dengan menggabungkan perkara pidananya dengan permohonan mendapatkan ganti rugi, yang hakikatnya merupakan suatu perkara perdata dan biasanya diajukan melalui gugatan perdata dengan demikian akan dihemat waktu dan biaya perkara.

 

Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, definisi restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga. Secara konsep, restitusi telah mulai bergeser sebagai suatu mekanisme yang berbeda dengan prosedur pada penggabungan perkara gugatan ganti kerugian sebagaimana diatur dalam KUHAP.

 

Demikian pula pengaturan restitusi dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU TPPO) memiliki konsep yang merujuk pada Undang-Undang tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Namun, UU TPPO memiliki prosedur yang lebih aplikatif dalam pengaturan hukum acaranya jika dibandingkan dengan yang diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban.

 

Keberadaan dan pengaturan ganti kerugian dalam perkara pidana telah mengalami transformasi dengan adanya pengaturan mengenai restitusi dalam beberapa aturan seperti Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi terhadap Korban Pelanggaran HAM yang Berat, Undang-Undang tentang Perlindungan Saksi dan Korban, dan Undang-Undang TPPO.

 

Sebagai catatan, definisi ganti kerugian dalam KUHAP hanya mencakup ganti rugi bagi orang (tersangka, terdakwa, dan terpidana) yang dirugikan karena kesalahan dan/atau penyalahgunaan kewenangan dalam menerapkan hukum acara pidana sebagaimana diatur dalam pasal 95 KUHAP, tidak mencakup korban tindak pidana secara umum.

 

Sementara itu, pengaturan restitusi dalam UU TPPO secara tegas menyebutkan pengajuan restitusi kepada pelaku tidak meniadakan hak si korban untuk melakukan gugatan secara perdata.  Demikian restitusi telah menjadi satu konsep hukum pidana tersendiri yang berkembang terkait dengan hak korban atas pemulihan yang diatur dalam hukum positif Indonesia.

 

Peserta konferensi yang saya banggakan,

Sebelum era reformasi bergulir dimana terjadi pergantian rezim kekuasaan di Indonesia, perlindungan terhadap saksi dan/atau korban dalam proses peradilan pidana di Indonesia belum diatur secara khusus. Pasal-pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) lebih banyak mengatur mengenai perlindungan tersangka maupun terdakwa dalam suatu tindak pidana.

 

Sementara itu, posisi saksi dan/atau korban dalam proses peradilan pidana kurang mendapatkan perhatian, baik dari masyarakat itu sendiri maupun aparat penegak hukum. Begitu pula dengan hak-hak korban kejahatan yang belum mendapatkan pengakuan dalam peraturan perundang-undangan. Padahal, korban adalah pihak yang paling dirugikan dalam suatu tindak pidana.

 

Untuk itulah, perlu diciptakan iklim kondusif dengan cara memberikan perlindungan hukum dan keamanan pada tiap orang yang dapat membantu mengungkap suatu tindak pidana. Dengan jaminan perlindungan hukum dan keamanan, akan tercipta suatu keadaan yang memungkinkan masyarakat tidak takut melaporkan tindak pidana.

 

Pascareformasi, suara dan desakan untuk lebih memerhatikan perlindungan dan hak-hak saksi dan/atau korban kejahatan mulai digaungkan. Berbeda dengan beberapa negara lain di dunia, inisiatif untuk memberikan perlindungan dan pemenuhan hak-hak saksi dan/atau korban kejahatan muncul bukan datang dari para aparat penegak hukum, seperti polisi, jaksa maupun pengadilan, melainkan datang dari kelompok masyarakat yang berpandangan bahwa saksi dan/atau korban sudah saatnya diberikan perlindungan dalam sistem peradilan pidana.

 

Suara untuk lebih memerhatikan perlindungan dan hak-hak saksi dan/atau korban juga tidak lepas dari dideklarasikannya Konvensi PBB tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Tahun 2004 yang diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006; Konvensi PBB Menentang Kejahatan Transnasional Terorganisasi yang kemudian diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009 dan Deklarasi PBB tentang Prinsip-prinsip Dasar Keadilan untuk Korban Kejahatan dan Penyalahgunaan Kekuasaan.

 

Hal-hal prinsip yang perlu diperhatikan dari konvensi ini antara lain setiap negara wajib melakukan upaya untuk mencegah dan mengatasi adanya pembalasan atau intimidasi yang mengakibatkan saksi dan/atau korban ketakutan sehingga tidak mempunyai keberanian bersaksi. Negara juga diwajibkan membangun kondisi yang kuat di tengah masyarakat sehingga orang mempunyai keberanian melapor dan yang terlibat kejahatan bersedia bekerja sama dengan aparat hukum. Yang juga tak kalah penting, korban diberikan kemudahan dalam mengakses ke peradilan pidana dan pelayanan untuk mendapatkan penggantian kerugian dan bantuan kesehatan medis, psikologis oleh pelaku tindak pidana atau oleh negara.

 

Berangkat dari semua kondisi tersebut, lahirnya sejumlah peraturan perundang-undangan yang mengatur perlindungan saksi dan/atau korban sebagai dasar hukum dan mandat pemberian perlindungan saksi dan korban, termasuk salah satunya yaitu lahirnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban sebagaimana telah diubah melalui Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

 

Kehadiran undang-undang ini berdasarkan azas kesamaan di depan hukum yang menjadi ciri dari negara hukum, dimana saksi dan korban dalam proses peradilan pidana harus diberikan jaminan perlindungan hukum. Sejumlah materi pokok yang diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban, yaitu perlindungan dan hak saksi dan korban, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK); syarat dan tata cara pemberian perlindungan dan bantuan; dan ketentuan pidana.

 

Kehadiran berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur perlindungan dan hak-hak saksi dan/atau korban, menunjukkan betapa pentingnya peran saksi dan/atau korban dalam sistem peradilan pidana. Selanjutnya untuk melaksanakan pemberian perlindungan dan bantuan terhadap saksi dan/atau korban tindak pidana, maka dibentuklah Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban yang disingkat LPSK sesuai amanat Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban.

 

Pada usianya yang memasuki 8 tahun, LPSK terus dikenal dan keberadaannya semakin dimanfaatkan. Hal tersebut dapat dilihat dari tren peningkatan jumlah permohonan yang masuk ke LPSK setiap tahunnya.

 

 

 

Data Permohonan dari Tahun ke Tahun

 

No. PERMOHONAN PER-TAHUN JUMLAH
1 2011 340
2 2012 655
3 2013 1.560
4 2014 1.076
5 2015 1.687
6 2016 (per Juli) 1.140

Sumber: Divisi Penerimaan Permohonan LPSK

 

 

Permohonan yang diajukan para saksi dan/atau korban ke LPSK bertujuan guna mengakses layanan yang disediakan, mulai perlindungan fisik, pemenuhan hak prosedural hingga layanan pemberian bantuan, baik medis, psikologis dan psikososial. LPSK juga berperan memfasilitasi korban untuk mendapatkan restitusi dan kompensasi.

 

Selain perlindungan fisik, saksi dan/atau korban juga mendapatkan hak prosedural. Pemenuhan hak prosedural bagi saksi dan/atau korban terlindung LPSK, dilakukan untuk mempersiapkan saksi dan/atau korban menghadapi pemeriksaan oleh aparat penegak hukum dalam proses peradilan. Pemenuhan hak prosedural juga termasuk pendampingan kepada saksi dan/atau korban sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pemberian perlindungan, mengingat risiko dan ancaman.

 

Khusus kepada korban pelanggaran HAM, korban tindak pidana terorisme, korban tindak pidana perdagangan orang, korban tindak pidana penyiksaan, korban tindak pidana kekerasan seksual, dan korban penganiayaan berat, selain berhak sebagaimana dimaksud pada Pasal 5, juga berhak mendapatkan bantuan medis dan bantuan rehabilitasi psikososial dan psikologis, yang diberikan berdasarkan Keputusan LPSK.

 

Bantuan medis merupakan bantuan yang diberikan untuk memulihkan kesehatan fisik korban, termasuk melakukan pengurusan dalam hal korban meninggal dunia. Misalnya pengurusan jenazah hingga pemakaman. Rehabilitasi psikologis maksudnya bantuan yang diberikan oleh psikolog kepada korban yang menderita trauma atau masalah kejiwaan lainnya untuk memulihkan kembali kondisi kejiwaan korban.

 

Sedangkan rehabilitasi psikososial dimaksudkan semua bentuk pelayanan dan bantuan psikologis serta sosial yang ditujukan untuk membantu meringankan, melindungi dan memulihkan kondisi fisik, psikologis, sosial dan spiritual korban sehingga mampu menjalankan fungsi sosialnya kembali secara wajar seperti sebelum terjadinya kejahatan yang menimpanya.

 

Hak lainnya yang bisa diperoleh korban tindak pidana yaitu restitusi. Pemberian restitusi sendiri diatur dalam Pasal 7A Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Yang dimaksud dengan restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga.

 

Restitusi dapat diajukan sebelum putusan pengadilan atau sesudahkannya. Jika diajukan sebelum putusan, LPSK dapat mengajukan restitusi kepada penuntut umum untuk dimuat dalam tuntutannya. Sedangkan restitusi yang diajukan setelah putusan, LPSK dapat mengajukannya kepada pengadilan untuk mendapatkan penetapan. Restitusi yang diatur dalam pasal ini berupa ganti kerugian atas kehilangan kekayaan atau penghasilan, penggantian biaya perawatan medis atau psikologis, serta ganti kerugian yang timbul akibat penderitaan yang berkaitan langsung sebagai akibat tindak pidana.

 

Untuk korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan korban tindak pidana terorisme, juga berhak mendapatkan kompensasi. Kompensasi bagi korban pelanggaran hak asasi yang berat, diajukan oleh korban, keluarga, atau kuasanya kepada Pengadilan Hak Asasi Manusia melalui LPSK. Pelaksanaan pembayaran kompensasi bagi korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat diberikan oleh LPSK berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Sedangkan pemberian kompensasi bagi korban tindak pidana terorisme dilaksanakan sesuai dengan ketentuan undang-undang yang mengatur mengenai tindak pidana terorisme.

 

LPSK mencatat, per Juli 2016, setidaknya terdapat 2.004 korban yang mendapatkan layanan dari LPSK, berupa bantuan medis, psikologis, psikososial dan fasilitasi restitusi. Yang terbanyak korban pelanggaran HAM berat dan kasus terorisme dengan 1.757 korban, tindak pidana perdagangan orang sebanyak 109 korban, tindak pidana umum dan penganiayaan sebanyak 105 dan kekerasan seksual dan anak sebanyak 33 korban. Satu orang pemohon bisa mendapatkan lebih dari satu layanan bantuan. Hal itu sangat bergantung kepada permohonan dan hasil assessment.

 

Khusus fasilitasi restitusi, sampai Juli 2016, LPSK tercatat tengah memfasilitasi restitusi bagi 92 korban, terbagi atas 85 korban tindak pidana perdagangan orang, 5 korban tindak pidana umum dan penganiayaan, serta 2 korban kekerasan seksual dan anak. Sebagian besar tuntutan restitusi banyak yang dikabulkan majelis hakim. Hanya saja permasalahannya terletak pada saat eksekusi karena pelaku kejahatan lebih memilih mengganti pembayaran restitusi dengan hukuman pidana.

 

Diaturnya mengenai tuntutan ganti rugi atau restitusi oleh korban kepada pelaku kejahatan dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban merupakan salah satu langkah maju dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Dengan demikian korban kejahatan yang menderita kerugian, baik fisik maupun aset atau harta benda akibat suatu perbuatan pidana, tidak perlu harus mengajukan gugatan perdata karena telah dimungkinkan mengajukan tuntutan restitusi dalam proses peradilan pidana yang menjadi tanggung jawab pelaku kejahatan.

 

Sedangkan fasilitasi kompensasi bagi korban pelanggaran HAM berat dan terorisme hingga kini masih belum bisa dilaksanakan. Sebab, pemberian kompensasi harus berdasarkan putusan pengadilan. Sementara pengadilan HAM belum ada yang digelar dan untuk kasus terorisme, banyak pelaku yang tewas sehingga tidak bisa disidangkan ke pengadilan.

 

Kehadiran Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban yang di dalamnya juga mengamanatkan lahirnya LPSK merupakan jawaban atas perkembangan sistem peradilan pidana saat ini, yang tidak lagi berorientasi kepada pelaku tetapi juga berorientasi kepada kepentingan saksi dan korban. Apalagi, keberadaan saksi dan korban merupakan hal yang sangat menentukan dalam pengungkapan tindak pidana pada proses peradilan pidana. (***)

 

*) Abdul Haris Semendawai SH LLM – Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) RI

**) Disampaikan pada Seminar Internasional Viktimologi FH Unsoed Purwokerto 21 September 2016.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.