Jakarta – Euforia pemilihan umum presiden yang mendorong penguatan rupiah terhadap dolar AS hanya bersifat sementara. Hal ini tidak terlepas dari lemahnya struktur ekonomi nasional yang diyakini belum mampu untuk mempertahankan penguatan rupiah akibat efek Joko Widodo.
Penilaian tersebut dikemukakan pengamat ekonomi, Agustinus Prasetyantoko saat ditemui di ruang kerjanya di Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta, akhir pekan ini.
“Kalau current account deficit pada kuartal kedua sebesar US$9 miliar atau empat persen (dari PDB), maka rupiah akan kembali ke kisaran Rp11.700,” ucapnya.
Menurut Prasetyantoko, penguatan rupiah terhadap dolar AS di kisaran Rp11.400-Rp11.500-an sangat berkaitan erat dengan sentimen positif yang mengapresiasi terpilihnya Jokowi sebagai presiden terpilih. Oleh karena itu, jelas dia, posisi rupiah tersebut belum bisa dipastikan telah mencerminkan fundamental ekonomi yang sebenarnya.
Dia memperkirakan, defisit neraca transaksi berjalan di kuartal kedua 2014 akan mencapai US$9 miliar. “Kalau saat pengumuman current account deficit itu investor bereaksi terlalu negatif seperti setahun lalu, maka itu artinya fundamental ekonomi kita belum baik,” papar Prasetyantoko.
Dengan demikian, jelas dia, meski stabilitas politik di dalam negeri menunjukkan dinamika yang kondusif, namun kondisi tersebut belum cukup kuat untuk mempertahankan eksistensi investor di pasar domestik. “Mudah-mudahan current account deficit kita tidak sampai 4,4 persen seperti tahun lalu,” harapnya.
Sejauh ini, kata Prasetyantoko, pemerintah bersama pihak-pihak terkait belum berupaya secara optimal untuk membenahi fundamental ekonomi nasional. Oleh sebab itu, jelas dia, pelemahan sejumlah indikator makroekonomi nasional selalu bermula dari persoalan yang serupa.
“Masalahnya ada di struktur ekonomi kita, seperti ekspor rendah, industri yang lemah dan konsumsi bahan bakar minyak yang tinggi, sehingga meningkatkan impor. Solusinya harus lintas sektoral. Selama ini struktur ekonomi kita belum ada perubahan signifikan,” tuturnya.
Dengan kondisi seperti saat ini, ungkap Prasetyantoko, adalah berlebihan jika pemerintah dan sejumlah kalangan berharap agar investor tetap bertahan di Indonesia. “Kita tidak usah berharap terlalu banyak agar rupiah dalam posisi yang sangat kuat atau IHSG bisa 6000. Itu sangat berlebihan saya pikir,” tegasnya.
Terlebih lagi, lanjut dia, makroekonomi Indonesia juga tengah menghadapi tantangan yang dipicu oleh upaya normalisasi kebijakan Federal Reserve AS. “Kalau Fed Funds Rate diumumkan naik, menurut saya rupiah juga akan melemah lagi, kalau kita tidak bisa menunjukkan perubahan kebijakan dari pemerintahan baru yang lebih menjanjikan perbaikan,” ujarnya.
Prasetyantoko menambahkan, Jokowi sebagai presiden terpilih diharapkan mampu mendesain kebijakan mengenai BBM, termasuk kebijakan menekan konsumsi masyarakat terhadap BBM. “Selanjutnya, memperbaiki struktur industri yang bertujuan meningkatkan ekspor dan menurunkan impor,” imbuhnya. (Ipotnews)