Jakarta, Obsessionnews.com – Ada dua peristiwa politik Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang spektakuler untuk ukuran Indonesia. Pertama, dalam pemungutan suara Pilkada DKI Jakarta 2017 putaran kedua pada Rabu (19/4), pasangaan calon (paslon) Ahok-Djarot kalah telak melawan paslon Anies-Sandi. Padahal Ahok-Djarot adalah paslon incumbent atau pertahana, yang didukung kekuatan parpol besar, sejumlah konglomerat Cina, media massa mainstream milik konglomerat Cina, bahkan rezim Jokowi.
Saat pemungutan suara pada putaran kedua, kondisi sangat jujur, adil, aman, tertib dan nyaman. Memang beberapa hari sebelumnya terjadi penyaluran sembako oleh relawan Ahok-Djarot, namun tak menyebabkan kerusuhan sosial. Pilkada DKI yang dimenangkan Anies-Sandi benar-benar aman dan tertib.
Pengamat politik Network for South East Asian Studies (NSEAS) Muchtar Effendi Harahap mengatakan, pendukung Anies-Sandi layak mengucapkan terima kasih terhadap TNI dan Polri.
“Karena partisipasi kedua lembaga negara inilah kondisi pemungutan suara putaran kedua aman dan tertib. Walau kemudian pendukung buta Ahok tak mampu mengendalikan diri. Melalui berbagai kegiatan merek masih belum mau mengakui kekalahan Ahok-Djarot. Mereka menuduh Anies-Sandi menang karena intimidasi, dan lain-lain. Mereka tidak siap kalah. Ribuan karangan bunga ditujukan untuk tetap menilai Ahok hebat, mampu dan telah berbuat banyak di DKI. Padahal semua itu hanyalah fiktif belaka,” tegas Muchtar ketika dihubungi Obsessionnews.com, Jumat (12/5).
Kedua, peristiwa politik Ahok terkait keputusan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara, bahwa Ahok bersalah telah menista agama Islam dan harus ditahan selama dua tahun, Selasa (9/5). Pada hari keputusan itu, Ahok langsung dimasukkan ke dalam Rutn Cipinang, Jakarta Timur.
Muchtar mengungkapkan, sesungguhnya vonis majelis hakim sangat berhubungan dengan keputusan Polri menjadikan Ahok sebagai tersangka penista agama Islam pada Rabu (16/11/2016). Perjuangan umat Islam cukup berat sampai beberapa kali aksi demo, agar Ahok dipenjarakan dan diadili.
“Sudah umum Ahok sangat kuat karena didukung dan dilindungi rezim Jokowi. Terlalu banyak data dan fakta menunjukkan Ahok sangat kuat. Sebagai contoh, KPK selaku penegak hukum relatif independen yang bebas pengaruh dari rezim, ternyata tidak berani menjadikan Ahok sebagai tersangka. Padahal sudah banyak dan fakta diajukan masyarakat madani terhadap KPK, bahwa Ahok diduga terlibat korupsi pembelian tanah Rumah Sakit Sumber Waras, misalnya,” tandas alumnus Program Pascasarjana Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, tahun 1986 ini.
Beragam aksi demo untuk menuntut KPK menjadikan Ahok tersangka telah dilakukan beragam kelompok masyarakat madani di Jakarta. Tetapi hasilnya KPK tetap saja tak berani menjadikan Ahok tersangka.
“Hal ini sangat berbeda dengan sikap Polri. Walaupun didahului aksi-aksi demo umat Islam di Jakarta, Polri berani menjadikan Ahok sebagai tersangka. Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian langsung mengumumkan Ahok tersangka setelah dilakukan gelar perkara,” ujar Muchtar.
Untuk itu, lanjutnya, umat Islam kontra Ahok khususnya di seluruh Indonesia sudah sangat layak mengucapkan terima kasih kepada Polri. Karena atas keberanian Polri menjadikan Ahok tersangka, kemudian majelis hakim melaksanakan pengadilan Ahok sang penista agama Islam. Hasilnya, Ahok divonis dua tahun ditahan.
“Umat Islam seyogyanya objektif menyikapi Polri. Tentu masih ada masalah terkait isu kriminalisasi aktivis dan ulama Islam,” kata Muchtar.
Ia menambahkan, keberanian Polri ini menjadi lebih terbukti lagi jika menindaklanjuti dugaan korupsi Ahok atas pembelian tanah milik Pemprov DKI sendiri di Cengkareng, dan juga penerimaan dana CSR serta reklamasi.
Ucapan terima kasih kedua sangat layak juga diberikan kepada majelis hakim dalam pengadilan Ahok. Mengapa?
Menurut Muchtar, vonis yang dijatuhkah majelis hakim Pengadilan Jakarta Utara memang lebih berat dari tuntutan Jaksa yang hanya satu tahun pidana dengan masa percobaan dua tahun. Umat Islam perlu mengapresiasi keputusan majelis hakim ini yang independen dan bebas dari intervensi pihak luar.
“Para hakim bersikap objektif, tak terpengaruh, punya integritas, dan berwawasan kosmopolit, serta masih punya hati. Takut terhadap Tuhan. Perlu dipahami, sebelum vonis diambil para hakim, Jaksa Agung telah membangun opini publik bahwa Ahok tak bersalah telah menista agama,” katanya.
Muchtar menyebut sebuah media yang membeberkan Jaksa Agung M. Prasetyo menyebut Jaksa Penuntut Umum (JPU) meyakini Ahok tidak terbukti melakukan penistaan agama. Oleh sebab itu, menurut Prasetyo, JPU menuntut Ahok dengan Pasal 156 KUHP, bukan dengan Pasal 156 a KUHP. Tetapi, majelis hakim ternyata tak terpengaruh dengan opini Jaksa Agung ini. Majelis hakim memutuskan Ahok bersalah secara sah dan meyakinkan terbukti melakukan tindak pidana yang diatur dalam Pasal 156a huruf KUHP tentang penodaan agama. (arh)
Baca Juga:
Pakar Hukum Pidana Unpad Desak Polri Hentikan Provokasi Papan Bunga Ahok