
Jakarta – Perlambatan ekonomi pada tahun 2014 diperkirakan tidak akan berlanjut pada 2015. Ekonomi Indonesia tahun depan diperkirakan akan tumbuh lebih tinggi, antara 5,3 hingga 5,6 persen.
“Dengan catatan, Presiden Jokowi-JK dan tim kabinetnya dapat memanfaatkan peluang dari membaiknya lingkungan eksternal untuk memaksimalkan ekonomi domestik,” ujar kata Direktur Eksekutif CORE Indonesia Hendri Saparini dalam diskusi seputar persoalan ekonomi nasional 2014 dan tantangan ekonomi di 2015 pada Selasa (16/12).
Namun bila strategi kebijakan otoritas fiskal tidak tepat sasaran dan tidak tepat momentum, serta BI tidak berhasil mengendalikan moneter maka kinerja ekonomi tahun 2015 akan bias ke bawah.
Menurut Hendri, tiga sumber pertumbuhan penting. Penyumbang utama pertumbuhan ekonomi domestik masih berasal dari konsumsi swasta yang diperkirakan tumbuh moderat sekitar 5%.
Konsumsi pemerintah tahun depan diperkirakan akan kembali menjadi sumber pertumbuhan bagi ekonomi nasional. Bila perencaan dan realisasi baik penerimaan maupun belanja efektif maka akan ada potensi perumbuhan sekitar 4-5% di tahun 2015.
Adapun ekspor diperkirakan hanya tumbuh marjinal di tahun 2015 pada kisaran 3-4 persen. Pasalnya, negara tujuan utama ekspor seperti Tiongkok, Jepang, dan Eropa masih mengalami perlambatan.
Selain itu, beberapa harga komoditas yang menjadi andalan Indonesia, seperti mineral, batubara dan palm oil diproyeksikan masih tetap melemah.
Meskipun depresiasi rupiah terhadap dollar AS masih berlanjut hingga tahun depan, pengaruhnya tidak akan signifikan dalam mendorong pertumbuhan ekspor, kecuali jika Tim Kabinet melakukan kebijakan ekspor yang pro aktif, misalnya dengan menyiapkan policy matrix yang menjelaskan komoditas apa, ke pasar mana dan dengan strategi pemasaran apa.
Berbeda dengan kinerja ekspor, investasi diproyeksikan cukup optimis. Pertama, karena adanya optimisme terbentuknya pemerintahan baru. Apalagi berbagai lembaga internasional masih merekomendasikan Indonesia sebagai salah satu negara yang paling menarik untuk berinvestasi.
Kedua, Jokowi-JK diproyeksikan akan memberikan tempat luas bagi investor asing untuk berinvestasi terutama pada infrastruktur strategis seperti listrik, gas pelabuhan, dan sebagainya.
“Untuk meredam dampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi khususnya sektor riil, upaya pengendalian inflasi semestinya tidak dibebankan seluruhnya kepada BI,” tambah alumnus Doktoral Universitas Tsukuba Jepang itu.
Pemerintah Jokowi-JK, lanjutnya, harus berbeda dengan sebelumnya sehingga turut ambil bagian dalam mengendalikan inflasi secara pro aktif karena sebagian besar sumber inflasi ada pada supply side, bukan demand side.