
Jakarta, Obsessionnews.com – Reformasi birokrasi mencakup antara lain pembenahan struktural, prosedural, kultural , dan etika kepemimpinan. Birokrasi bukan lagi dilayani rakyat, tapi harus melayani rakyat dan teladan bagi rakyat.
Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta tahun 2013-2017 mengaku telah melaksanakan reformasi birokrasi sebagai misi yang tercatat dalam Perda No.2 Tahun 2012 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Yakni membangun pemerintahan yang bersih dan transparan serta berorientasi pada pelayanan publik.
Tantangan yang dihadapi Pemprov DKI 2013-2017 adalah harus mampu dan berhasil menangani permasalahan implementasi konsep reformasi efektif dan efisien, serta perubahan sikap dan tingkah laku (mindset) aparatur sumber daya manusia (SDM)/aparatur sipil negara (ASN). Selain itu juga harus mampu melakukan penataan kelembagaan yang transparan dan akuntansi, memberikan pelayanan publik prima, dan membangun sinergitas antar lembaga pemerintahan, serta sinergitas pemerintahan, masyarakat madani dan dunia usaha.
Setelah berjalan empat tahun, bagaimana kondisi kinerja Pemprov DKI era Gubernur Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok terkait reformasi birokrasi dan misi tersebut? Mampu dan berhasilkah Pemprov DKI menangani permasalahan pelaksanaan reformasi birokrasi ini?
Hanya Mampu Meraih Predikat CC
Pengamat politik Network for South East Asian Studies (NSEAS), Muchtar Effendi Harahap, melalui keterangan tertulisnya yang diterima Obsessionnews.com, Senin (13/2/2017), mengatakan, Pemprov DKI periode 2013-2014 hanya mampu meraih predikat CC. Predikat Pemprov DKI berada di urutan ke-18 dengan nilai CC= 58. Nilai Pemprov DKI diberikan oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPANRB), sama dan sederajat dengan nilai Pemprov Papua Barat. Bahkan di bawah Pemprov Kalimantan Tengah.

“Hasil penilaian kinerja Pemprov DKI ini menunjukkan prestasi Ahok dalam urusan akuntabilitas penerapan program kerja, dokumentasi target tujuan, dan pencapaian organisasi tergolong rendah dan tidak sebanding dengan posisi DKI sebagai ibu kota RI dengan sumber daya terbesar di Indonesia,” kata Muchtar.
Alumnus Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, FISIP Universitas Gadjah Mada (UGM),Yogyakarta, tahun 1982 ini menambahkan, Ahok ternyata tak mampu melaksanakan kebijakan nasional tentang reformasi birokrasi. Realitas objektif menunjukkan lembaga negara tingkat pusat yang berkompetensi menilai kinerja Ahok mengurus pemerintahan DKI masih di bawah Gubernur Kalimantan Tengah dalam urusan pembangunan daerah, yang jauh lebih rendah memiliki APBD dan juga sumber daya ketimbang Pemprov DKI.
Kepatuhan Sedang dan Zona Kuning
Hal lain yang disoroti Muchtar adalah masalah kepatuhan pelayanan publik. Hasil penilaian dan pemeriksaan kepatuhan pelayanan publik oleh lembaga negara Ombudsman RI (ORI) menunjukkan posisi Pemprov DKI di bawah kepemimpinan Ahok hanya meraih predikat kepatuhan sedang atau zona kuning, bahkan masih di bawah Pemprov Nusa Tenggara Timur (NTT). Pemprov DKI Jakarta hanya mempeoleh peringkat 17 dengan nilai 61,20.
Penilaian Kemendagri
Mengutip data Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Muchtar mengungkapkan, Kemendagri menilai kinerja Pemrov DKI era Ahok di bidang manajemen keuangan dan kemampuan penyerapan alokasi APBD di bawah Kabupaten Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Inovasi Pelayanan Publik
Sementara itu dari segi inovasi mendukung pelayanan publik, Muchtar menilai Pemprov DKI era gubernur sebelumnya, Fauzi Bowo mampu lebih produktif ketimbang Ahok. Foke melakukan inovasi-inovasi pelaksanaan program dan kegiatan dalam urusan pelayanan publik, dan juga memprakarsai pengembangan sistem informasi Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP). Hal ini termuat dari Laporan Keterangan Pertangungjawaban (LKPJ) Gubernur DKI tahun 2012. Lebih lanjut Foke memperoleh penghargaan dari Warta Ekonomi e-Government Award dan Smart City Award 2011.
Di lain pihak inovasi pelayanan publik yang dihasilkan Pemprov DKI tahun 2013-2017 hanyalah Qlue yang baru dirilis pada 2016. Namun, kalangan pengurus RW/RT se-DKI menolak penggunaan Qlue ini, sehingga terjadi konflik terbuka antara Ahok dengan sejumlah pengurus RW/RT.
Pengaduan Masyarakat
Reformasi birokrasi mengharuskan perubahan area komunikasi politik dengan rakyat dua arah atau timbal balik. Reformasi birokrasi membuka saluran pengaduan atau keluhan masyarakat. Tentunya, semakin sedikit pengaduan dan keluhan rakyat atas pelayanan publik semakin berkualitas kinerja Pemprov DKI.
“Faktanya, jumlah pengaduan era Fauzi Bowo dengan era Ahok tidak ada perbedaan berarti,” kata Muchtar.
Mengutip laporan Ombudsman RI tahun 2011, Muchtar mengatakan, dari segi jumlah pengaduan masyarakat pada saat Pemprov DKI dipimpin Fauzi Bowo jumlah pengaduan masyarakat tertinggi di Indonesia.
Namun, di era setelah Fauzi Bowo, kondisi tertinggi ini masih tetap bertahan. Di era Ahok capaian jumlah pengaduan sama dengan capaian Fauzi Bowo. Artinya, tidak ada perubahan kemajuan dan peningkatan kualitas berarti dalam jumlah pengaduan masyarakat.
Berdasarkan laporan Ombudsman RI itu, kinerja Pemprov DKI Jakarta era Ahok dapat dikatakan buruk mengingat Jakarta masih menduduki provinsi dengan pengaduan tertinggi di Indonesia.
Manajemen Aset Lemah
Muchtar juga mengkritisi manajemen aset milik DKI. Dia menilai Pemprov DKI tahun 2013-2017 mempunyai kualitas rendah dan kelemahan dalam pengelolaan dan perlindungan aset DKI. Dari urusan pengelolaan dan perlindungan aset DKI selama ini, Pemprov DKI tahun 2013-2017 mengalami kegagalan mencapai target capaian sesuai regulasi.
Pelanggaran HAM
Sementara itu hasil penelitian NSEAS tentang pelanggaran HAM di DKI menyebutkan dari segi penegakan HAM Pemprov DKI era Fauzi Bowo menerima 75 pengaduan dengan 2.130 korban. Sedangkan Pemprov DKI tahun 2013-2017 pada 2015 menerima 103 pengaduan dengan korban 20.784 orang. Pada 2015 terdapat 113 penggusuran 8.145 KK dan 6.283 unit usaha. Lebih dari 60% penggusuran tidak diberikan solusi apapun bagi warga. Lebih dari 80% dilakukan secara sepihak tanpa musyawarah.
“Lebih lanjut mereka diklaim direlokasi ke Rusunawa. Dalam perjalanannya kemudian mengalami kesulitan untuk membayar uang sewa dan memperoleh kondisi Rusunawa yang tidak memadai,” tegas Muchtar.
Selain itu Muchtar menilai Pemprov DKI era Ahok telah melanggar HAM terutama terkait penggusuran.
Konflik Sesama Lembaga Pemerintahan
Muchtar mengungkapkan Ahok suka menyulut konflik dengan sesama lembaga pemerintahan. Fakta menunjukkan Ahok konflik terbuka dengan antara lain DPRD DKI, DPRD Kota Bekasi, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Kemendagri, Wali Kota Jakarta Utara, dan Badan Pusat Statistik ( BPS).
Selain itu Ahok juga konflik dengan masyarakat madani secara terbuka, antara lain sebagian besar pengurus RW/RT, umat Islam dalam dugaan kasus penistaan agama Islam, rakyat miskin yang terkena penggusuran paksa, pedagang kaki lima yang terkena penggusuran paksa, dan nelayan korban pembangunan pulau palsu.
Sementara itu di dunia usaha Muchtar mengatakan kebijakan Ahok lebih mengutamakan perusahaan besar dan BUMN/BUMD dibandingkan usaha golongan kecil.
“Fakta-fakta ini membuktikan Pemprov DKI era Ahok tak mampu dan gagal menangani masalah sinergitas dengan sesama lembaga pemerintahan, masyarakat, dan dunia usaha,” tegasnya.
Pemerintahan Bersih dan Anti Korupsi
Muchtar mengatakan, para pendukung buta Ahok acap kali mengklaim Ahok bersih dan anti korupsi. Ahok sendiri pernah menuduh PNS Pemprov DKI maling. Dikesankan Ahok akan membuat Jakarta lebih baik.
Muchtar yang juga Ketua Dewan Pendiri NSEAS mengungkapkan data dan fakta berupa audit BPK RI dan empat kasus besar dugaan korupsi era Ahok, yakni kasus Uninteruptible Power Supply (UPS), kasus Rumah Sakit Sumber Waras, kasus Rusun Cengkareng, dan kasus reklamasi.
Audit BPK tahun 2015 menemukan 50 kasus senilai Rp30,15 triliun (hampir 50% APBD DKI). Tiap tahun DKI mendapat status Wajar Dengan Pengecualian (WDP). “Lebih buruk ketimbang era Fauzi Bowo,” tandas Muchtar.
Sementara itu kasus UPS berawal temuan BPK. Ahok sempat mengelak. Namun terbukti ikut menanda tangani dokumen anggaran UPS.
BPK juga menemukan kasus besar dugaan korupsi RS Sumber Waras. Ahok terlibat proses pembelian sejak awal. Lahan yang dibeli ternyata masih dalam kondisi bersengketa. BPK menyebut kasus ini penyimpangan sempurna. Hasil audit sudah final, dan DKI harus mengembalikan kerugian negara. KPK mengatakan, perkara ini masih terus berjalan.
Selain itu BPK juga menemukan kasus dugaan korupsi Rusun Cengkareng. Ada yang menilai kasus Rusun Cengkareng lebih besar dari kasus Rumah Sakit Sumber Waras. Ahok memberikan disposisi terkait pembelian lahan secara langsung kepada Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah BPKAD) dan Dinas Perumahan DKI. Walau sudah diingatkan, Ahok tetap ngotot membeli. Saat ini proses kasus Rusun Cengkareng masih berlangsung di Bareskrim Polri.
Sementara itu terkait kasus dugaan korupsi reklamasi Teluk Jakarta, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut butuh waktu untuk mengungkapnya. Kasus ini melibatkan grup perusahaan Agung Podomoro. Kasus ini terkait Raperda reklamasi. Pengaju Raperda adalah Ahok. Sedangkan Sunny (Staf Khusus Ahok) diduga menjadi perantara. Disinyalir terdapat aliran dana ke Teman Ahok.
“Adakah masuk akal Ahok pernah menuduh semua PNS di Pemprov DKI adalah maling? Ini cara culas untuk menutupi ketidakmampuan dan kegagalan melaksanakan laksanakan reformasisecara efektif dan efisien,” tandas Muchtar.
Berdasarkan data, fakta dan angka yang disajikan itu Muchtar menyimpulkan Pemprov DKI era Ahok sesungguhnya tak mampu dan gagal melaksanakan reformasi birokrasi.
“Gubernur baru tentu harus terbebas dari prilaku menyimpang gubernur lama semacam ini,” katanya. (Baca: DKI Perlu Gubernur Baru)
Rekomendasi Untuk Gubernur Baru
Muchtar memberikan beberapa rekomendasi untuk gubernur baru. Pertama, reformasi birokrasi dalam alam demokratisasi mutlak diperlukan dan harus dilaksanakan agar Pemprov DKI sungguh-sungguh menangani permasalahan terkait pelaksanaan reformasi birokrasi. Keputusan dan prilaku politik gubernur baru harus mengutamakan penciptaan hubungan sinergik, bukan konflik terbuka.
Kedua, untuk penyelenggaraan urusan pemerintahan Pemprov DKI, gubernur baru harus berpikir dan bertindak berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk Perda tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) DKI disusun bersama eksekutif dan legislatif di DPRD DKI. Gubernur harus konsisten dan konsekuen melaksanakan program dan kegiatan setiap urusan pemerintahan yang telah ditetapkan di dalam Perda dimaksud. Prinsip rule of the game atau aturan main harus ditegakkan.
Ketiga, gubernur baru harus memiliki kebutuhan untuk membangun hubungan kemitraan harmonis dan sinergik dengan DPRD sebagai perwakilan rakyat DKI. Pencapaian tujuan penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah tanggungjawab bersama gubernur dan DPRD. Hubungan gubernur dan DPRD harus positif, memiliki visi sama dan komitmen kuat menjalankan pemerintahan Provinsi DKI untuk kesejahteraan masyarakat dan untuk menciptakan pemerintahan baik (good governance) dengan menegakkan prinsip transparansi, akuntabelitas publik, efisien dan efektif, dan lain-lain.
Keempat, gubernur baru juga harus membangun hubungan kelembagan antara gubernur dan DPRD sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Gubernur dan DPRD sebagai perwakilan rakyat harus dapat terbangun dalam pelaksana tugas dan wewenang masing-masing dengan dasar kemitraan untuk menjamin penyelenggaraan urusan pemerintahan efektif dan demokratis. Dalam kedudukan memimpin Pemprov, gubernur mempunyai tugas dan wewenang dan berhubungan dengan DPRD, juga sebagai penyelenggara pemerintahan daerah, yakni memimpin penyelengaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan ditetapkan bersama DPRD, mengajukan rancangan Perda, menetapkan Perda telah mendapat persetujuan DPRD, serta menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD untuk dibahas bersama DPRD. (arh)
Baca Juga:
Status Ahok Jadi Polemik, Jokowi Minta Fatwa MA
Pimpinan DPR Dukung Usulan Hak Angket ‘Ahok Gate’
Aksi Kawal Sidang Ahok, Bendera Parmusi Terbesar dan Tertinggi