Jumat, 19 April 24

Pengamat: Ahok Gagal Reformasi Birokrasi

Pengamat: Ahok Gagal Reformasi Birokrasi
* Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. (Foto: Edwin B/Obsessionnews.com)

Jakarta, Obsessionnews.com – Reformasi  birokrasi  mencakup antara lain pembenahan struktural, prosedural, kultural , dan etika kepemimpinan. Birokrasi bukan lagi dilayani rakyat, tapi harus melayani rakyat dan teladan bagi rakyat.

Pemerintah Provinsi  (Pemprov)  DKI Jakarta tahun 2013-2017 mengaku  telah melaksanakan reformasi birokrasi  sebagai misi yang tercatat dalam  Perda No.2 Tahun 2012 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Yakni membangun pemerintahan yang bersih dan transparan serta berorientasi pada pelayanan publik.

Tantangan yang dihadapi Pemprov DKI 2013-2017 adalah harus mampu dan berhasil menangani permasalahan implementasi konsep reformasi efektif dan efisien,  serta perubahan sikap dan tingkah laku (mindset) aparatur sumber daya manusia (SDM)/aparatur sipil negara (ASN). Selain itu juga harus mampu melakukan penataan kelembagaan yang transparan dan akuntansi, memberikan pelayanan publik prima, dan membangun sinergitas antar lembaga pemerintahan, serta  sinergitas pemerintahan, masyarakat madani dan dunia usaha.

Setelah berjalan empat  tahun, bagaimana kondisi kinerja  Pemprov DKI era  Gubernur Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok  terkait reformasi birokrasi dan misi tersebut?  Mampu dan berhasilkah Pemprov DKI   menangani permasalahan pelaksanaan reformasi birokrasi ini?

Hanya Mampu Meraih Predikat CC

Pengamat politik Network for South East Asian Studies (NSEAS), Muchtar Effendi Harahap, melalui keterangan tertulisnya yang  diterima Obsessionnews.com, Senin (13/2/2017), mengatakan, Pemprov DKI periode 2013-2014 hanya mampu meraih predikat CC. Predikat Pemprov DKI berada di urutan ke-18 dengan nilai CC= 58. Nilai Pemprov DKI diberikan oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPANRB),  sama dan sederajat dengan nilai Pemprov Papua Barat. Bahkan di bawah Pemprov Kalimantan Tengah.

Pengamat politik dan Ketua Dewan Pendiri Network for South East Asian Studies (NSEAS), Muchtar Effendi Harahap.

“Hasil penilaian kinerja Pemprov DKI ini menunjukkan prestasi Ahok dalam urusan akuntabilitas penerapan program kerja, dokumentasi target tujuan, dan pencapaian organisasi tergolong rendah dan tidak sebanding dengan posisi DKI sebagai ibu kota RI dengan sumber daya terbesar di Indonesia,” kata Muchtar.

Alumnus  Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, FISIP Universitas Gadjah Mada (UGM),Yogyakarta, tahun 1982 ini menambahkan, Ahok ternyata tak  mampu melaksanakan kebijakan nasional tentang reformasi birokrasi. Realitas objektif menunjukkan lembaga negara tingkat pusat  yang berkompetensi menilai kinerja Ahok mengurus  pemerintahan DKI masih di bawah Gubernur Kalimantan Tengah dalam urusan pembangunan daerah, yang jauh lebih rendah memiliki APBD dan juga sumber daya ketimbang Pemprov DKI.

Kepatuhan Sedang dan Zona Kuning

Hal lain yang disoroti Muchtar adalah masalah kepatuhan pelayanan publik. Hasil penilaian dan pemeriksaan kepatuhan pelayanan publik oleh lembaga negara Ombudsman RI (ORI) menunjukkan posisi Pemprov DKI di bawah kepemimpinan Ahok hanya meraih predikat kepatuhan sedang atau zona kuning, bahkan masih di bawah Pemprov Nusa Tenggara Timur (NTT). Pemprov DKI Jakarta hanya mempeoleh peringkat 17 dengan nilai 61,20.

Penilaian Kemendagri

Mengutip data Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Muchtar mengungkapkan, Kemendagri  menilai kinerja Pemrov DKI era Ahok di bidang manajemen keuangan dan kemampuan penyerapan alokasi APBD di bawah Kabupaten Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Inovasi Pelayanan Publik

Sementara itu dari segi inovasi mendukung pelayanan publik,  Muchtar menilai Pemprov DKI era gubernur sebelumnya, Fauzi Bowo mampu lebih produktif ketimbang Ahok.  Foke melakukan inovasi-inovasi  pelaksanaan program dan kegiatan dalam urusan pelayanan publik, dan  juga memprakarsai  pengembangan sistem informasi  Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP). Hal ini termuat dari Laporan Keterangan Pertangungjawaban (LKPJ) Gubernur DKI tahun  2012. Lebih lanjut  Foke memperoleh penghargaan dari Warta Ekonomi e-Government Award dan Smart City Award 2011.

Di lain pihak inovasi pelayanan publik yang dihasilkan Pemprov DKI tahun 2013-2017 hanyalah  Qlue yang baru dirilis pada  2016. Namun, kalangan pengurus RW/RT se-DKI menolak penggunaan Qlue ini,  sehingga terjadi konflik terbuka antara Ahok dengan sejumlah pengurus RW/RT.

Pengaduan Masyarakat

Reformasi  birokrasi mengharuskan perubahan area komunikasi politik dengan  rakyat dua arah atau timbal balik. Reformasi birokrasi membuka saluran pengaduan atau keluhan masyarakat. Tentunya, semakin sedikit pengaduan dan keluhan rakyat atas pelayanan publik semakin berkualitas kinerja Pemprov DKI.

“Faktanya, jumlah pengaduan era Fauzi Bowo dengan  era Ahok tidak ada perbedaan berarti,” kata Muchtar.

Mengutip  laporan Ombudsman RI tahun 2011,  Muchtar mengatakan, dari segi jumlah pengaduan masyarakat pada saat Pemprov DKI  dipimpin Fauzi Bowo jumlah pengaduan masyarakat tertinggi  di Indonesia.

Namun, di era setelah Fauzi Bowo, kondisi tertinggi ini masih tetap bertahan. Di era Ahok capaian jumlah pengaduan sama dengan  capaian  Fauzi Bowo. Artinya,  tidak ada perubahan kemajuan dan peningkatan kualitas  berarti dalam jumlah pengaduan masyarakat.

Berdasarkan laporan Ombudsman RI itu, kinerja Pemprov DKI Jakarta era Ahok dapat dikatakan buruk mengingat Jakarta masih menduduki provinsi dengan pengaduan tertinggi di Indonesia.

Manajemen Aset Lemah

Muchtar juga mengkritisi manajemen aset milik DKI. Dia menilai Pemprov DKI tahun 2013-2017 mempunyai kualitas rendah dan kelemahan dalam pengelolaan dan perlindungan aset DKI. Dari urusan pengelolaan dan perlindungan aset DKI selama ini, Pemprov DKI tahun 2013-2017 mengalami kegagalan mencapai target capaian sesuai regulasi.

Pelanggaran HAM

Sementara itu hasil penelitian NSEAS tentang pelanggaran HAM di DKI menyebutkan dari segi penegakan HAM Pemprov DKI era  Fauzi Bowo menerima 75 pengaduan dengan 2.130 korban. Sedangkan Pemprov DKI tahun 2013-2017  pada  2015 menerima 103 pengaduan dengan korban 20.784 orang. Pada 2015 terdapat 113 penggusuran 8.145 KK dan 6.283 unit usaha. Lebih dari 60% penggusuran tidak diberikan solusi apapun bagi warga. Lebih dari 80% dilakukan secara sepihak tanpa musyawarah.

“Lebih lanjut mereka diklaim direlokasi ke Rusunawa. Dalam perjalanannya kemudian mengalami kesulitan untuk membayar uang sewa dan memperoleh kondisi Rusunawa yang tidak memadai,” tegas Muchtar.

Selain itu Muchtar menilai Pemprov DKI era  Ahok telah melanggar HAM terutama terkait penggusuran.

Konflik Sesama Lembaga Pemerintahan

Muchtar mengungkapkan Ahok suka menyulut konflik dengan sesama lembaga pemerintahan. Fakta menunjukkan Ahok konflik terbuka dengan antara lain  DPRD DKI, DPRD Kota Bekasi, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK),  Kemendagri, Wali Kota Jakarta Utara, dan Badan Pusat Statistik ( BPS).

Selain itu Ahok juga konflik dengan masyarakat madani secara terbuka, antara lain sebagian besar pengurus RW/RT,  umat Islam dalam dugaan kasus penistaan agama Islam,  rakyat miskin yang terkena penggusuran paksa,  pedagang  kaki  lima yang terkena penggusuran paksa, dan nelayan korban pembangunan pulau palsu.

Sementara itu di dunia usaha Muchtar mengatakan kebijakan Ahok lebih mengutamakan perusahaan besar dan BUMN/BUMD dibandingkan usaha golongan  kecil.

“Fakta-fakta ini membuktikan Pemprov DKI era Ahok tak mampu dan gagal menangani masalah sinergitas dengan  sesama  lembaga pemerintahan, masyarakat, dan dunia usaha,” tegasnya.

Pemerintahan Bersih dan Anti Korupsi

Muchtar mengatakan, para pendukung buta Ahok acap kali mengklaim Ahok bersih dan anti korupsi. Ahok sendiri pernah menuduh PNS Pemprov DKI maling. Dikesankan Ahok akan membuat Jakarta lebih baik.

Muchtar yang juga Ketua Dewan Pendiri NSEAS mengungkapkan data dan fakta berupa audit BPK RI dan empat kasus besar dugaan korupsi era  Ahok, yakni kasus Uninteruptible Power Supply (UPS), kasus Rumah Sakit Sumber Waras, kasus Rusun Cengkareng, dan kasus reklamasi.

Audit BPK tahun 2015 menemukan  50 kasus senilai Rp30,15 triliun (hampir 50% APBD DKI). Tiap tahun DKI mendapat status Wajar Dengan Pengecualian (WDP).   “Lebih buruk  ketimbang era  Fauzi Bowo,” tandas Muchtar.

Sementara  itu  kasus UPS berawal  temuan BPK. Ahok  sempat mengelak. Namun  terbukti ikut menanda tangani dokumen anggaran UPS.

BPK juga menemukan kasus besar dugaan korupsi RS Sumber  Waras. Ahok  terlibat  proses pembelian sejak awal. Lahan yang dibeli ternyata masih dalam kondisi bersengketa. BPK menyebut  kasus ini  penyimpangan  sempurna.   Hasil audit sudah final, dan DKI harus mengembalikan kerugian negara. KPK mengatakan,  perkara ini masih terus berjalan.

Selain itu BPK juga menemukan kasus dugaan korupsi Rusun Cengkareng. Ada yang menilai kasus Rusun Cengkareng lebih besar dari kasus Rumah Sakit Sumber Waras. Ahok  memberikan disposisi terkait pembelian lahan secara langsung kepada Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah BPKAD) dan Dinas Perumahan DKI. Walau sudah diingatkan, Ahok  tetap ngotot  membeli. Saat ini proses kasus Rusun Cengkareng  masih berlangsung di Bareskrim  Polri.

Sementara itu terkait kasus dugaan korupsi reklamasi Teluk Jakarta, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut butuh waktu  untuk mengungkapnya.  Kasus  ini melibatkan  grup perusahaan Agung Podomoro. Kasus ini terkait Raperda reklamasi.  Pengaju Raperda adalah Ahok. Sedangkan Sunny (Staf Khusus Ahok) diduga menjadi perantara. Disinyalir  terdapat aliran dana ke Teman Ahok.

“Adakah masuk akal Ahok pernah menuduh semua PNS di Pemprov DKI adalah maling? Ini cara culas untuk menutupi ketidakmampuan dan kegagalan melaksanakan laksanakan reformasisecara efektif dan efisien,” tandas Muchtar.

Berdasarkan data, fakta dan angka yang disajikan itu Muchtar menyimpulkan Pemprov DKI era Ahok sesungguhnya tak mampu dan gagal  melaksanakan reformasi birokrasi.

“Gubernur baru tentu harus terbebas dari  prilaku menyimpang gubernur lama semacam ini,” katanya. (Baca: DKI Perlu Gubernur Baru)

Rekomendasi Untuk Gubernur Baru

Muchtar memberikan beberapa rekomendasi untuk gubernur baru. Pertama, reformasi birokrasi dalam alam  demokratisasi mutlak diperlukan dan harus dilaksanakan  agar Pemprov DKI sungguh-sungguh menangani   permasalahan terkait pelaksanaan reformasi birokrasi.  Keputusan dan prilaku politik gubernur baru harus mengutamakan penciptaan hubungan sinergik, bukan konflik terbuka.

Kedua, untuk penyelenggaraan urusan pemerintahan Pemprov DKI, gubernur baru  harus berpikir dan bertindak berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk Perda tentang  Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional  (RPJMN)  DKI disusun bersama  eksekutif dan legislatif di DPRD DKI. Gubernur harus konsisten dan konsekuen melaksanakan program dan kegiatan setiap urusan pemerintahan yang telah ditetapkan di dalam Perda dimaksud. Prinsip rule of the game atau aturan main harus ditegakkan.

Ketiga, gubernur  baru   harus memiliki kebutuhan untuk membangun hubungan kemitraan harmonis dan sinergik dengan DPRD sebagai perwakilan rakyat DKI. Pencapaian tujuan penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah tanggungjawab bersama gubernur dan DPRD. Hubungan gubernur dan DPRD harus positif, memiliki visi sama dan komitmen kuat menjalankan pemerintahan Provinsi DKI untuk kesejahteraan masyarakat dan untuk menciptakan pemerintahan baik (good governance) dengan menegakkan prinsip transparansi, akuntabelitas publik, efisien dan efektif, dan lain-lain.

Keempat, gubernur baru  juga harus membangun hubungan kelembagan antara gubernur dan DPRD sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Gubernur dan DPRD sebagai perwakilan rakyat harus dapat terbangun dalam pelaksana tugas dan wewenang masing-masing dengan dasar kemitraan untuk menjamin penyelenggaraan urusan pemerintahan efektif dan demokratis. Dalam kedudukan memimpin Pemprov, gubernur mempunyai tugas dan wewenang dan berhubungan dengan DPRD, juga sebagai penyelenggara pemerintahan daerah, yakni  memimpin penyelengaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan ditetapkan bersama DPRD, mengajukan rancangan Perda, menetapkan Perda telah mendapat persetujuan DPRD, serta  menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD untuk dibahas bersama DPRD. (arh)

Baca Juga:

Status Ahok Jadi Polemik, Jokowi Minta Fatwa MA

Pimpinan DPR Dukung Usulan Hak Angket ‘Ahok Gate’

Aksi Kawal Sidang Ahok, Bendera Parmusi Terbesar dan Tertinggi

Pengangguran DKI Era Ahok Terbesar di Indonesia

Jokowi dan Ahok Tak Mampu Urus APBD DKI Jakarta

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.