
Bogor – Menjelang akhir jabatan Presiden SBY dan akhir periode DPR RI periode 2009-2014, Pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan serta diundangkan pada 17 Oktober 2014. UU ini sebagai hasil revisi dari UU Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan.
“Dalam menanggapi dinamika perkembangan akan hadirnya undang-undang ini, beberapa elemen masyarakat sipil memberikan tanggapan ataupun kritikan terhadap dikeluarkannya UU Perkebunan yang baru ini,” tandas Ketua Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Mansuetus Darto, di sela-sela Workshop UU Perkebunan, di Hotel Mirah, Bogor, Senin (19/1/2015).
SPKS yang bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit menggelar Workshop bertema “Mencari Keadilan dari UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan” mengundang organisasi masyarakat sipil yang fokus pada sosial dan lingkungan seperti IHCS, Sawit Watch, KPA, Aman, Greenpeace, SPI dan JKPP serta petani kelapa sawit dari 4 provinsi yakni Kaltim, Riau, Kalimantan Barat dan Sumatra Utara.
Workshop kali ini merupakan kelanjutan dari dua kali pertemuan sebelumnya yang diinisiasi oleh SPKS bersama kelompok masyarakat sipil lainnya untuk menemukan permasalahan baik terhadap kebijakan lingkungan maupun sosial atau potensi permasalahan konstitusional dalam UU Perkebunan yang baru ini. Banyak kritikan maupun pandangan yang diungkapkan para pihak khususnya dari beberapa masyarakat sipil dalam kegiatan tersebut.
Terkait UU Perkebunan tersebut, Mansuetus Darto menekankan pada “Mencari kemitraan yang adil dari UU Perkebunan”. Menurutnya, konflik yang sering terjadi antara petani dan perusahaan merupakan konflik soal Sistem Kemitraan. “Ini terjadi karena adanya kemitraan yang tidak adil,” ungkap Ketua SPKS.
Ia pun menilai, kebijakan pemerintah yang mengusung program kemitraan dalam perkebunan kelapa sawit bukanlah kebijakan yang diusung dan disetujui petani, karena kemitraan yang adil hanyalah dilakukan melalui pendekatan Pekebunan Mandiri dengan menempatkan koperasi petani sebagai subyek.
“Suka atau tidak suka, kemitraan itu juga adalah bentuk kekalahan negara atas koorporasi karena ketidakmampuannya dalam memperkuat ekonomi kerakyatan dalam perkebunan sawit Indonesia,” tegasnya.
Ia memaparkan, praktek kemitraan yang tidak adil antara koorporasi dan petani lebih banyak disebabkan oleh praktek bisnis perusahaan besar yang tidak berlandaskan hak asasi manusia dan kebijakan pemerintah tentang kemitraan.
“Pemerintah selalu menutup mata dengan konflik di sektor perkebunan dan seharusnya UU ini harus memberikan solusi yang positif bagi perkebunan rakyat di Indonesia,” bebernya.
Praktek kemitraan selama ini, menurut dia, bertentangan dengan prinsip kemitraan yang adil yaitu jujur, berkeadilan, sejajar atau setara, kemandirian, menghormati hak dan pilihan, transparan dan bertanggung jawab serta konsisten secara terus menerus.
Gunawan selaku Ketua IHCS juga menyoroti tentang “Permasalahan Konstitusional Undang-Undang Perkebunan” yang baru tersebut. Gunawan menjelaskan bahwa UU Perkebunan No. 39 Tahun 2014 bukan merupakan perubahan tetapi mengganti UU Perkebunan lama No. 18 Tahun 2013 tentang Perkebunan, karena terdapat sejumlah Pasal dalam UU perkebunan tersebut yang bertentangan dengan Konstitusi UUD 1945 berdasarkan Keputusan Mahkamah Konstitusi.
Ia pun mengingatkan, terdapat potensi pelanggaran Konstitusional dalam UU Perkebunan tersebut dimana diantaranya, yaitu pelanggaran hak masyarakat adat (musyawarah dan penetapan masyarakat adat berdasar undang-undang), pelanggaran hak petani pemulia tanaman (Izin mencari sumberdaya genetik dan pelepasan benih oleh pemerintah atau pelaku usaha) serta pelanggaran jaminan kepastian hukum (setiap orang secara tidak sah), harus dilihat kondisi yang berbeda-beda, tidak ada sangsi jika perusahaan tidak punya HGU, kemudahan penyesuaian oleh PMA.
Menjawab persoalan tersebut, Gunawan menegaskan bahwa UU Perkebunan memiliki kelemahan mendasar atas sejarah perkebunan di Indonesia yang telah menimbulkan dualisme pertanian di Indonesia, yaitu padat modal di perkebunan skala besar dan pertanian keluarga skala kecil, dan menimbulkan konflik agraria yang mengakibatkan perampasan tanah petani serta pelanggaran HAM dengan kekerasan.
Ia menambahkan, lemahnya pemahaman sejarah, juga berdampak tidak dipergunakan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara pengujian sejumlah undang-undang terkait agraria dan pertanian, sehingga mengulangi kesalahan yang sama, yaitu bertentangan dengan konsep Hak Menguasai Negara atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Selain itu, lanjutnya, UU Perkebunan ini juga telah bertentangan dengan upaya perlindungan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hak masyarakat adat, hak-hak tradisional dan hak-hak yang bersifat turun temurun. “Menghalangi masyarakat adat, petani dan masyarakat yang bekerja di pedesaan dalam mengembangkan penghidupan dan kehidupannya secara individu maupun kolektif,” bebernya.
Terkait UU Perkebunan No. 39 Tahun 2014, Jefri Gideon Saragih menegaskan bahwa terdapat kebijakan baru yang ditambahkan dalam UU Perkebunan yang baru ini yaitu, tentang penanaman modal serta tentang ketentuan peralihan atas izin usaha perkebunan.
Selain itu, tegas dia, juga mengenai kebijakan Pembatasan Modal Asing yang belum diperketat melalui UU ini dan pembatasan lahan sebesar 100.000 ha terhadap perusahaan sawit. Namun, menurutnya, masih terdapat kesamaan mengenai ketentuan pidana yang tidak beda jauh dengan Pasal 21 juncto Pasal 47 UU No. 18 Tahun 2014 tentang Perkebunan sebelumnya, dimana kriminalisasi terhadap masyarakat, terutama petani masih sangat rentan terjadi. (Asma)