Minggu, 2 April 23

Pembawa Bendera Tulisan Arab Ditangkap, Adilkah Polisi?

Pembawa Bendera Tulisan Arab Ditangkap, Adilkah Polisi?

TANGGAL 16 Januari 2017, ribuan massa yang tergabung dalam laskar pembela Islam melakukan aksi unjuk rasa bertajuk aksi 161. Massa menuntut pihak kepolisian segera mengusut kasus penganiayaan yang dialami sejumlah anggota Front Pembela Islam (FPI) saat terjadi bentrok dengan massa LSM Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia (GMBI), usai pemeriksaan Ketua FPI Habib Rizieq di Mapolda Jabar, Bandung, pekan lalu.

Massa FPI melakukan longmarch dari Masjid Al-Azhar menuju ke Mabes Polri. Mereka menuntut agar Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian mencopot Kapolda Jabar Irjen Anton Charliyan dari jabatannya karena dianggap membiarkan pecahnya kerusuhan antara FPI vs GMBI di Bandung. Dalam aksi longmarch, ada seorang pemuda yang terlihat membawa kain berwarna merah putih seperti bendera RI yang ditulisi huruf Arab.

Dia ternyata seorang hafidz Quran yang diketahui bernama Nurul Fahmi yang kemudian ditangkap polisi karena membawa bendera merah putih bertuliskan tauhid. Polisi menangkap Fahmi dan menjeratnya dengan pasal yang berat dengan ancaman 5 tahun sehingga ditahan. Proses penangkapan Fahmi dinilai berlebihan, dengan dijemput banyak Polisi.

Fahmi ditangkap Jumat (20/1) dini hari sekitar pukul 01.30 WIB, tanpa ada proses pemeriksaan sebelumnya, langsung ditetapkan sebagai tersangka. Proses BAP nyaris tidak memiliki pendampingan hukum karena proses penangkapan tiba-tiba tanpa ada pemeriksaan sebagai terperiksa sebelumnya. Setelah proses BAP, Fahmi dinyatakan resmi ditahan di Polres Jakarta Selatan.

Akhirnya, Tim Pembela Fahmi pulang sekitar jam 4 subuh, dan mendapat kabar Fahmi dipindahkan ke Tahanan Polda Metro Jaya. Proses Fahmi ini dinilai sangat tidak adil, dari ketidaktegasan aparat dalam penerapan pasal tentang lambang negara yang sebelumnya lazim dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak menggunakan embel-embel Islam. “Hari ini kita dipertontonkan sebuah upaya kriminalisasi kepada Nurul Fahmi dengan jeratan hukum yang berat karena menggambar Bendera dengan kalimat Tauhiid,” kata kuasa hukum Fahmi, Kamil Pasha, Jumat (20/1).

Saat Fahmi ditangkap polisi pada pukul 01.00 dini hari, ada sekitar 23 orang polisi datang menggerebek rumah Fahmi dan langsung menangkapnya. “Mereka menangkap anak saya seperti menangkap seorang gembong narkoba,” cerita Ibu Fahmi. Sampai saat ini Fahmi masih ditahan. Ada sekitar 20 pengacara muslim yang menawarkan bantuan sukarela untuk membebaskan Fahmi. Sampai akhirnya dibuatlah sebuah Tim.

Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Argo Yuwono kepada wartawan di Mapolda Metro Jaya, Jakarta, Jumat (20/1) membenarkan, Polisi menangkap pelaku yang membawa bendera RI bertuliskan Arab. Nurul Fahmi ditangkap di Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Polisi mengamankan bendera berlafaz ‘Laa Illaha Illallah’ dan gambar pedang di bawahnya, juga motor yang digunakan pelaku pada saat aksi demo. Menurut Argo, Fahmi terancam dikenakan Pasal 26 UU No. 24 tahun 2009 tentang lambang negara, dengan ancamannya 5 tahun penjara.

Kisahnya, Fahmi merasa sepulang longmarch ada orang-orang yang memfotonya. Keesokan harinya, mulailah medsos (media sosial) dihebohkan oleh berita bahwa Kapolri akan mengusut pelecehan bendera merah putih yang dituliskan bahasa Arab. Fahmi pun kaget. Sebab dia benar-benar baru tahu bahwa ada pasal terkait dengan hal tersebut.

Padahal, Fahmi murni melakukan hal itu karena ketidaktahuannya dengan pasal tersebut. Orang awam pun akan merasa wajar. Apalagi, selama ini telah banyak bendera merah putih yang diukirkan gambar dan tulisan oleh berbagai oknum dan itu tidak pernah dipermasalahkan apalagi sampai dipolisikan. Ada bendera merah putih bertuliskan “Metallica”. Ada juga yang bergambar foto Iwan Falls. Bahkan, ada juga bendera merah putih yang di tengahnya bertuliskan “Kami Minta Ahok Dibebaskan”. Dan sangat banyak lagi bendera merah putih yang ditulis dan atau digambar macam-macam. Kenapa itu tidak diusut polisi. Kok hanya Fahmi yang diusut. Tebang pilih dan diincar?

Lagipula, Fahmi menggambar bendera dengan kalimat Tauhid karena ketidaktahuan tentang larangan menggambar di atas Bendera. Ketidaktahuan dia atas larangan tersebut didasari karena lazim dan banyaknya gambar-gambar di atas bendera dalam versi yang lain yang kita semua bisa temukan, contohnya versi Slank, Arema, Metallica, Iwan Fals dan lain-lain.

Jadi, wajar ada pendapat kalau lah memang menulisi bendera adalah bentuk kriminal, harusnya Fahmi bukan orang pertama yang ditangkap. Maka ini jelas sekali ada bentuk ketidakadilan aparat kepolisian terhadap umat Islam saat ini. Bagaimana pula sikap Kapolri seharusnya seharusnya terhadap pelaku para pendukung OPM yang membakar bendera merah putih di Papua.

Fahmi adalah sosok pemuda yang telah merampungkan program tahfidz Qur’an di Masjid Qiblatain, Arab Saudi. Dia seorang hafidz Qur’an. Pantas, sangat pantas jika dia marah ketika seorang Ahok menghina ayat suciNya. Pantas jika dia kemudian tidak pernah absen sekali pun dalam aksi-aksi bela Islam ini. Karena dia memang mencintai Al-Qur’an. Mencintai Islam. Dia sedang menunjukkan keberpihakannya.

Dengan hanya ditangkapnya Fahmi, tentu masyarakat akan mencap Polri tebang pilih. Harusnya polisi juga menahan semua orang yang telah menulisi dan atau menggambari bendera merah putih selama ini.

Benarkah lafazd tauhid di bendera merah putih melanggar hukum? Di Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan (UU 24/2009) menyebutkan, bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan Indonesia merupakan simbol kedaulatan dan kehormatan negara, serta simbol identitas wujud eksistensi bangsa dan negara. Ini menegaskan bahwa lambang negara adalah salah satu simbol negara.

Pasal 154a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyatakan: “Barang siapa menodai bendera kebangsaan Republik Indonesia dan lambang Negara Republik Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat puluh lima ribu rupiah.”

Pasal 57 UU 24/2009:  Setiap orang dilarang: (a). mencoret, menulisi, menggambari, atau membuat rusak Lambang Negara dengan maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan Lambang Negara; (b). menggunakan Lambang Negara yang rusak dan tidak sesuai dengan bentuk, warna, dan perbandingan ukuran; c. membuat lambang untuk perseorangan, partai politik, perkumpulan, organisasi dan/atau perusahaan yang sama atau menyerupai Lambang Negara; dan (d). menggunakan Lambang Negara untuk keperluan selain yang diatur dalam Undang-Undang ini.

Ancaman pidana bagi orang yang melanggar ketentuan di atas diatur dalamPasal 68 UU 24/2009 sebagai berikut: “Setiap orang yang mencoret, menulisi, menggambari, atau membuat rusak Lambang Negara dengan maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan Lambang Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 huruf a, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).”

Dari bentuk-bentuk larangan terhadap lambang negara yang dimaksud di atas dapat kita lihat unsur-unsur pidananya: a). setiap orang; b). mencoret, menulisi, menggambari, atau membuat rusak lambang negara; c).  dengan maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan lambang negara.

Oleh karena itu, menurut Chandra Purna Irawan MH dari Sharia Law Institute,‎ untuk dapat dihukum dengan pasal ini, orang tersebut harus memenuhi seluruh unsur-unsur pidananya terutama “dengan maksud” atau dengan sengaja menghina lambang negara dan unsur-unsur pidana itu perlu dibuktikan.

Suara pihak penguasa terlihat dalam hal ini dalam pernyataan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto mendukung pelaku yang menambahkan tulisan Arab di bendera Merah Putih ditindak tegas. “Ya, harus ditindak tegas,” kata Wiranto di Gedung Majelis Ulama Indonesia, Jakarta, Rabu (18/1) lalu.

Namun, polisi seharusnya tidak melupakan prinsip utama hukum pidana ketika memeriksa kasus ini. Meski perbuatan menulis lafadz tauhid di bendera merah putih  memenuhi unsur pidana, tetapi belum tentu pelakunya layak dihukum. Sebab, penyidik harus mampu membuktikan adanya kehendak jahat (mens rea) yang ditunjukkan pelaku saat melakukan tindakan tersebut.

Pakar hukum tata negara UI Maragrito Kamis menegaskan, seseorang dapat dikategorikan melakukan penghinaan tehadap lambang negara jika memang mempunyai niat untuk melakukan penghinaan. “Dia harus secara sadar merancang menghina derajat merah putih itu,” tandasnya seperti dilansir media online, Sabtu (21/1). Jika tidak terbukti, lanjut dia, maka kasus tersebut tidak dapat diproses. “Tidak ada, tidak bisa, karena unsur delik. Harus dimaksudkan kalau orang itu, dia bermaksud,” jelasnya sembari menambahkan, “Kalau dia lalai, dia ikut rame saja, tidak dapat diklasifikasi (menghina lambang negara). Kalau sekadar ikut rame, anak kecil tulis-tulis saja (bendera merah putih), saya berpendapat tidak cukup alasan (diproses). Dia harus berniat, menghendaki menghina merah putih.”

Di dalam hukum pidana tidak semua perbuatan yang memenuhi unsur pidana harus diberikan sanksi. Ada dua hal yang menjadi pertimbangan utama. Pertama, apakah dilakukan dengan melawan hukum. Kedua, apakah orangnya dapat dipersalahkan.

Dalam hal ini, sekali lagi kita harus melihat konteks untuk bisa menilai apakah pelaku melawan hukum dan bisa dipersalahkan atau tidak. Sebab, apa yang dilakukan pelaku tidak lebih hanya sebatas reaktif ketidak tahuan atau tidak ada maksud menghina atau merendahkan. Hukum pidana harus tetap menunjung tinggi prinsip ultimum remedium. Artinya, sanksi pidana harus dijadikan senjata pamungkas dalam menyelesaikan suatu kasus.

Jika polisi bersemangat akan memanggil pelaku yang menuliskan lafadz tauhid di bendera merah putih. Maka sudah selayaknya polisi pun harus memanggil Presiden Jokowi yang telah menginjak bendera merah putih pada waktu peringatan hari Pancasila (jika berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan).

Polisi pun juga harus memanggil pelaku lain yang menulis dengan kalimat Metallica atau pun tulisan lainnya. Jangan sampai timbul kesan dari rakyat “terlalu tampak kebencian penguasa kepada Islam, Ulama, Ustadz dan aktivis dakwah”. Khawatir timbul gejolak semesta, pikirkanlah kembali?! (Ars)

 

 

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.