Selasa, 16 April 24

Peduli Pelaut, Negara Harus Hadir Benahi KPI

Peduli Pelaut, Negara Harus Hadir Benahi KPI

Peduli Pelaut, Negara Harus Hadir Benahi KPI
Oleh: Moningka Ticoalu
(Humas Petitor ‘Petisi Pelaut Indonesia’)

Seiring dengan adanya pembenahan menyeluruh terhadap serikat-serikat pekerja yang ada di Indonesia oleh Pemerintah Orde Baru, maka pada 20 Februari 1973 terbentuklah Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI) yang beranggotakan 20 organisasi Serikat Pekerja Lapangan Pekerjaan (SBLP) diantaranya adalah Serikat Pelaut Indonesia (SPI).

SPI sendiri pembentukannya didasarkan pada pengintegrasian serikat-serikat buruh anggota FBSI dalam polarisasi menurut lapangan pekerjaan atau profesi. SPI dibentuk pada tanggal 24 November 1975, yang merupakan penggabungan dari Serikat Buruh Pariwisata, Serikat Buruh Transport dan Serikat Buruh Karyawan Maritim Indonesia termasuk unsur Pelaut.

Namun karena adanya 2 organisasi sejenis yang seringkali menimbulkan hambatan dan kekaburan wewenang tugas dilapangan, terutama dalam menangani masalah ketenagakerjaan pelaut yang jelas-jelas akan berdampak kepada terpolarisasinya pelaut Indonesia dalam kepentingan diluar organisasi.

Dari kedua organisasi ini juga, maka Persatuan Pelaut Indonesia (PPI) yang dibentuk pada 28 November 1966, dan diresmikan pada t6 Februari 1967, ditandai dengan adanya serah terima dan penyerahan asset-aset organisasi dari Front Pelaut Indonesia (FPI) kepada PPI, dan selanjutnya untuk menjalankan roda organisasi maka pada tanggal 9 Februari 1967 dibentuk DPP Paripurna PPI. Sehingga PPI-lah yang memiliki asset organisasi terbesar dan eksistensinya tak terlepas dari peran penting para pembinanya terutama para Kepala Daerah Pelayaran (Kedapel).

Berpijak dari kesadaran untuk menghilangkan dualisme organisasi dan komitmen akan persatuan maupun kesatuan serta kesamaan visi dan misi, maka timbul gagasan untuk menyatukan kedua organisasi tersebut (PPI dan SPI) dalam satu wadah, sehingga benar-benar dapat melaksanakan tugas pembinaan dan perlindungan kepada pelaut secara lebih efisien maupun efektif yang didahului dengan ikrar bersama Pengurus PPI dan SPI pada 20 Februari 1976. Maka pada 27 April 1976, ditandatanganilah dokumen penyatuan SPI dan PPI dalam suatu “Deklarasi Pelaut Indonesia” oleh wakil-wakil pelaut dari SPI dan PPI.

Dengan demikian secara resmi Kesatuan Pelaut Indonesia (KPI) atau Indonesian Seafarers Union telah terbentuk. Selanjutnya pada tanggal 28 s/d 29 April 1976 dilaksanakanlah Musyawarah Nasional Pelaut (MNP) Indonesia yang bertempat di Hotel Lembah Nyiur, Cisarua, Bogor, dengan menghasilkan komposisi Dewan Pembina dan Penasehat KPI dan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) KPI periode 1976 sampai 1981.

KPI sebagai organisasi yang berkewajiban melaksanakan mekanisme keorganisasian, maka KPI pun telah beberapa kali mengalami pergantian kepengurusan. Pemenuhan ketentuan keorganisasian terutama menyangkut pelaksanaan Munas dan Kepengurusan ditingkat pusat secara berkelanjutan dilaksanakan, seperti Munas I KPI yang dilaksanakan pada 4 – 7 Desember 1981 di Surabaya, Munas II KPI yang digelar pada 8 – 9 Januari 1987 di Jakarta.

Dalam dua periode kepengurusan 1981-1992, KPI berhasil memiliki gedung sendiri sebagai kantor pusat KPI. Disamping itu dalam periode kepengurusan ini juga, KPI berhasil mendapatkan legalitas hukum bagi organisasi yaitu dengan disahkannya Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) KPI oleh Menteri Kehakiman pada 20 Mei 1989. Selain itu dalam periode yang sama, PP KPI juga mengambil oper 3 buah ruko, dimana gedung tersebut difungsikan sebagai klinik kesehatan dengan nama “Baruna Medical Center (BMC)” yang diresmikan oleh Menteri Tenaga Kerja pada 14 Agustus 1989.

Selanjutnya Munas III KPI yang dilaksanakan pada 8 – 10 Oktober 1992 di Ujung Pandang, Sulawesi Selatan. KPI sebagai organisasi profesi yang semestinya dipimpin dan diatur oleh para pelaut, sejak berdirinya selama 3 periode dipimpin oleh pejabat, sehingga organisasi tidak dapat secara maksimal memperjuangkan kepentingan pelaut Indonesia secara umum maupun pelaut Indonesia anggota KPI secara khusus.

Seiring dengan pergantian peta perpolitikan dalam negara dan tuntutan-tuntutan akan reformasi, maka mulai timbul rasa ketidak puasan dan keberanian dari pelaut-pelaut anggota KPI untuk mengkritisi kinerja PP KPI yang dianggap tidak membela kepentingan pelaut dan terlalu terkontaminasi oleh kepentingan penguasa, serta tidak sesuai lagi dengan arus reformasi bangsa yang menghendaki iklim demokratis.

Kepengurusan PP.KPI yang lebih banyak diisi oleh mantan pejabat, bahkan pejabat pemerintah yang masih berdinas aktif serta orang yang bukan pelaut dipandang oleh pelaut-pelaut anggota KPI, sangat bertentangan dengan ketentuan Konvensi ILO No. 87 Tahun 1948 yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia dengan Keppres No. 83 Tahun 1998 dan Konvensi ILO No. 98 Tahun 1949 yang diratifikasi oleh Pemerintah dengan UU No. 18 Tahun 1956. Demikian juga halnya, keberadaan pejabat maupun pensiunan PNS dan orang yang bukan pelaut adalah sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja.

Ketidakpuasan dan keprihatinan atas kondisi KPI juga menjadi perhatian The International Transportworkers Federation (ITF) selaku induk afiliasi KPI ditingkat internasional. Dimana KPI diterima menjadi anggota ITF sejak 1981, dengan nomor anggota afiliasi 8151. Maka ITF mengirim beberapa orang perwakilannya ke Jakarta dan bertemu dengan PP.KPI pada tanggal 8-9 Desember 1999.

Dalam pertemuan itu ITF menyampaikan beberapa hal yang harus diperhatikan serta dilaksanakan oleh PP.KPI, salah satunya mempersiapkan pelaksanaan Munaslub pada 15 April 2000, guna melakukan perubahan atas AD KPI sebagai persiapan pelaksanaan Munas berikut. Selanjutnya pada 9 Februari 2000 ditandatanganilah Memorandum of Agreement (MoA) antara PP.KPI dengan ITF.

Munaslub KPI yang dilaksanakan pada 22 April 2000 di Purwakarta, Jawa Barat, hasilnya jauh dari yang diharapkan oleh pelaut-pelaut anggota KPI, karena tidak menghasilkan sesuatu yang secara signifikan menunjukkan perubahan dalam tubuh KPI. Hal itu menyebabkan pelaut-pelaut anggota KPI semakin merasa frustasi dengan kondisi organisasi.

Begitu pula sejak selesainya “Munaslub” tersebut mulai terdengar suara-suara kritis dari beberapa Pengurus Cabang (PC), yang merasa tidak puas atas kinerja dan tindak-tanduk beberapa orang PP.KPI yang semakin tidak terarah.

Menyusul berdasarkan hasil Rapat Kerja Nasional KPI tahun 2000 yang dilaksanakan di Semarang pada tanggal 26 – 27 Oktober 2000, diselenggarakanlah Munas Ke-V KPI di Malino Sulawesi Selatan pada tanggal 15 – 17 Februari 2001, yang diikuti oleh peserta dari kantor-kantor cabang KPI. Munas tersebut akhirnya dead-lock karena PP KPI tidak dapat mempertanggung jawabkan laporan keuangan dan asset-aset organisasi, sehingga laporan pertanggungjawaban PP KPI ditolak oleh sebagian besar peserta.

Melihat kondisi organisasi yang semakin terpuruk dan mengarah kepada kehancuran maka pelaut-pelaut anggota KPI yang mengatasnamakan GEMPUR (Gerakan Emansipasi Pelaut Untuk Reformasi) menggelar demo besar-besaran mendatangi kantor Departemen Perhubungan, menuntut agar Pemerintah tidak terlibat serta campur tangan dalam urusan KPI dan mencabut semua pejabatnya dari organisasi KPI.

Selanjutnya dengan dibantu oleh DPP K-SPSI, pelaut-pelaut anggota KPI segera membentuk Karetaker PP.KPI dan Panitia Pelaksanaan (Panpel) Munaslub yang bertujuan untuk menyelamatkan organisasi dari kehancuran. Munaslub KPI diselenggarakan pada tanggal 7-9 April 2001 bertempat di Hotel Cempaka Jakarta Pusat, diikuti oleh 260 orang pelaut anggota, baik dari unsur PC, Pengurus Unit Khusus, Pelaut Kapal Asing dan Pelaut Kapal Nasional.

Munaslub KPI menghasilkan komposisi kepengurusan PP KPI yang bersih dari pejabat pemerintah. Selain memilih PP.KPI sebagai pimpinan dan pelaksana organisasi, maka Munaslub juga memilih 35 orang untk duduk di Majelis Perwakilan Anggota (MPA) guna membantu pelaksanaan tugas PP.KPI.

PP KPI yang terpilih dalam Munaslub pada hari itu juga mendapat pengakuan dari ITF dan semua serikat buruh pelaut afiliasi ITF yang ada di 135 negara didunia, demikian juga didalam negeri sendiri. Dengan demikian, organisasi KPI dapat terselamatkan dari kehancuran.

PP KPI segera melakukan langkah-langkah darurat untuk menempatkan kembali organisasi pada jalur yang semestinya dan hal-hal lain yang terkait dengan aktivitas rutin organisasi, terutama menyangkut proses administrasi pengawakan sehingga tidak ada hambatan dalam kegiatan penempatan anggota untuk bekerja dikapal.

Untuk memenuhi ketentuan dan mekanisme keorganisasian dan berdasarkan ketentuan AD/ART diselenggarakan Munas VI KPI yang dilaksanakan di Hotel Mandarin Oriental Jakarta pada 20-22 Desember 2004, yang diikuti oleh 250 orang pelaut anggota KPI dan PC.

Dukungan dan perhatian dunia internasional terhadap pelaksanaan Munas VI KPI dibuktikan dengan kehadiran dari perwakilan beberapa serikat buruh pelaut afiliasi ITF, antara lain NSU, JSU, SMOU, SOS, MUA dan SIU, termasuk International Labour Organisation (ILO). Dari perhelatan ini forum Munas dirubah menjadi Kongres, serta jabatan Ketua Umum diganti jabatan Presiden.

Akan tetapi setelah civil society yang diperjuangkan oleh pelaut-pelaut yang bergabung di GEMPUR berhasil, dan DPP KPI periode 2004-2009 terpilih orang-orang sipil semuanya. Dalam Kongres VII KPI yang diadakan di Sheraton Bandara Hotel Cengkareng pada 15-17 Desember 2009 pengurus sipili itu justru gagal memilih dan menetapkan DPP KPI periode 2009-2014.

Hal ini akibat dari belum tuntasnya jadwal kongres dan masih dead lockednya acara pemilihan DPP KPI baru, serta laporan pertanggungjawaban asset KPI yang juga sebagian besar ditolak oleh peserta kongres menjadi bagian kisruhnya kongres. Termasuk DPP KPI periode 2004-2009 yang setelah menyampaikan laporan pertanggungjawabannya sudah demisioner, tetapi Sekjen DPP KPI membubarkan kongres tanpa pemberitahuan dan penjelaan apapun pada Pimpinan dan Peserta Kongres.

Berdasarkan hukum, Pimpinan Kongres VII KPI dibenarkan untuk melaksanakan dan berkewajiban memproses hukum pelanggaran yang dilakukan oleh Sekjen DPP KPI yang sudah demisioner itu, karena dengan kesewenangannya telah membubarkan Kongres VII KPI.

Dalam perkembangannya bukan Munaslub diadakan untuk menuntakan Kongres VII yang gagal memilih dan menetapkan DPP KPI, justru DPP KPI periode 2004-2009 yang demisioner itu berkuasa lagi untuk periode 2009-2014. DPP KPI periode 2009-2014 adalah pengurus yang mengangkat dirinya sendiri, dan tidak melalui pemilihan secara demokratis di Kongres VII karena kongres tersebut bubar, yang didahului oleh banyak Peserta yang walk out.

Di era 2009-2014, terjadi pemerasan dalam pembuatan KTKLN (Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri) di KPI dengan pemaksaan agar pelaut itu masuk anggota dan harus membayar ratusan ribu. Padahal oleh Pemerintah dalam hal ini pihak BNP2TKI, pembuatan KTKLN tersebut 100% gratis.

Menyusul ketika Dirjen Hubla Kemenhub memberlakukan pembuatan atau penerbitan SID (Seafarers Indentification Document) sebagai kartu identitas pe­laut yang dibuat secara elektronik, adalah ha­sil konvensi ILO Nomor 185 ta­hun 1958 mengenai konvensi perubahan dokumen identitas pelaut, selain untuk melengkapi bu­ku pelaut dan paspor, juga mewajibkan pelaut atau man­ning agent untuk memegangnya. Di SID juga terjadi pemerasan dengan modus yang sama seperti pembuatan KTKLN, padahal menurut pejabat Ditjen Hubla hanya dikenakan Rp. 10.000,- saja.

Ketidakmampuan DPP KPI 2004-2014 menjalankan organisasi sudah jelas, karena mereka hanya memanfaatkan organisasi buat kepentingan pribadi dan kelompoknya: Presidennya yang ex oiler, Sekjennya orang politik dan bukan pelaut, Wakil Sekjennya bukan pelaut hanya sekolah pelayaran jurusan administrasi (tatalaksana), ada juga ex koki, bahkan ada pegawai kantornya yang sama sekali bukan pelaut tapi punya otoritas dalam keuangan KPI, sangat pantas jika KPI tidak profesional dan berintegritas.

Semuanya cuma memanfaatkan kekayaan organisasi demi membangun dinasti status quo dan dijadikan ATM untuk melegitimasi “Batal Demi Hukum” Kongres VII KPI tahun 2009 menjadi legal dan tercatat di Kemenkumham. Sehingga DPP KPI 2004-2014 ini telah menghalalkan segala cara demi keuntungan pribadi, tidak perduli dengan kepentingan puluhan bahkan ratusan ribu pelaut Indonesia menjadi korban yang tidak dapat tertangani oleh mereka.

Mengingat dalam peringatan HUT Ke-70 TNI, pidato Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan tegas menyatakan, bahwa Indonesia adalah negara maritim. Maka posisi profesi pelaut Indonesia menjadi sangat penting untuk menjadi bagian motor penggeraknya, adalah momentum bagi Pemerintah untuk memperhatikan sumber daya manusia pelaut dan memberikan porsi yang lebh kepada Pelaut Indonesia agar segera berdaya guna dan berhasil guna, utamanya sebagai bagian motor penggerak untuk perspektif dan prospektif visi Poros Maritim Dunia.

Akan tetapi hal ini tidaklah cukup jika organisasi KPI yang milik berserikatnya Pelaut Indonesia tidak disentuh oleh Pemerintah agar terbenahi dan terbebas dari cengkraman dinasti status quo serta sarangnya KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) yang berkuasa luar biasa hingga saat ini. Pertanyaannya, melalui apa sentuhan untuk pembenahan organisasi KPI bisa Pemerintah lakukan?

Pelaut senior yang sebagian besar anggota KPI dengan enteng menjawabnya, cukup dengan Pemerintah memfasilitasi digelarnya Munaslub KPI. Sebab darimana dana untuk bisa menggelar forum munaslub yang akan menelan biaya yang besar, pelaut senior menyatakan, jelas tidak mampu.

Hasoloan Siregar yang menjadi salah seorang inisiator dan petitor “Petisi Pelaut Indonesia”, yang hari ini (6/10/2015) dilayangkan kepada Presiden Jokowi, Menko Maritim dan Sumber Daya Rizal Rami serta kepada kementerian terkait, menyatakan “Sangatlah beralasan kami, pelaut seniro, meminta difasilitasi oleh Pemerintah.

Bukan berarti KPI diintervensi oleh Pemerintah, melainkan Pemerintah dimohon oleh pelaut yang tidak punya dana ini tapi bertekad membenahi organisasi KPI, agar Pemerintah dapat mengadakan Munaslub KPI atas permintaan kami dalam kehidupan berdemokrasi yang sehat, bersih dan transparan”, tandas Solo, panggilan akrabnya.

Sementara pelaut senior lainnya, Djoko, mengingatkan janji Jokowi dalam Pilpres 2014, bahwa negara harus hadir ditengah-tengah rakyat untuk bisa menyelesaikan masalah rakyat. “Nah, kami, pelaut senior. Jelas sangat mengharapkan negara hadir untuk pembenahan organisasi KPI yang milik pelaut ini, yang kondisinya sudah gawat darurat.

Hak kedaulatan kami dirampas habis oleh DPP KPI. Aspirasi kami yang diwakilkan dengan mandat penuh kepada Pengurus Cabang atau Pengurus Unit KPI, juga ditikam dari belakang dan dikebiri habis. Baik DPP maupun PC atau PU KPI pada realitanya berperilaku lebih jahat ketimbang PP KPI sebelum ea reformasi”, pungkasnya. (*)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.