Jumat, 29 Maret 24

Breaking News
  • No items

Pasca Pilkada Jakarta, Apakah Kebhinekaan Kita Terancam?

Pasca Pilkada Jakarta, Apakah Kebhinekaan Kita Terancam?

Oleh: Denny JAPendiri Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA

 

Keberagaman, ujar Robert Casey, harga yang harus kita bayar jika ingin hidup dalam dunia modern yang kompleks. Apa yang dikatakan Robert Casey sudah menjadi common wisdom, diaminkan oleh mayoritas.

Merawat keberagaman, hidup damai dalam perbedaan, saling menghormati berbagai persepsi di ruang publik, menjadi fondasi utama bangunan demokrasi modern.

Namun benarkah keberagaman di Indonesia kini terancam? Benarkah fondasi Pancasila goyah pasca kalahnya Ahok dan menangnya Anies?

Selesai pilkada Jakarta, saya membaca banyak kegelisahan. Aneka Isu negatif meluas terutama di social media: di facebook, twitter dan berbagai kelompok WA.

Misalnya isu itu seperti ini. Setelah pilkada Jakarta, kini pilkada Jabar diserbu isu agama serupa. Bersiaplah. Isu agama akan meluas dan digunakan untuk mengalahkan tokoh moderat di aneka pilkada lain. Mendung untuk keberagaman Indonesia.

Atau, selamat merayakan kemenangan pilkada Jakarta. Bersenang-senanglah di atas runtuhnya fondasi keberagaman bangsa. Tanpa sadar mereka tak hanya merayakan kemenangan pilkada. Tapi sebenarnya mereka merayakan kalahnya fondasi keberagaman Indonesia.

Atau, mereka yang memberi peluang politisasi agama, harap catat. Pada waktunya, mereka sendiri akan ditelan oleh gelombang itu. Mereka mengira politisasi agama hanya alat sesaat saja untuk pilkada. Mereka lupa, politisasi agama itu akan menjadi monster yang melahap mereka dan keberagaman kita.

Dari nada dan aura aneka berita tersebut ada kekhawatiran yang meluas. Seolah kalahnya Ahok di Jakarta menjadi penanda kalahnya komunitas pro keberagaman. Atau menangnya Anies-Sandi di Jakarta akan membawa gerbong semakin dominannya syariah Islam di dunia publik.

Benarkah kekhawatiran itu? Sedang terancamkah kebhinekaan kita?

Saya mengapresiasi kekhawatiran itu, dan positif atas upaya menjaga keberagaman. Namun saya membantah kekhawatiran itu  dengan tiga hal. Pertama, data. Kedua, data. Ketiga, data!

-000-

Saya memegang data sebelas kali survei Jakarta sejak Maret 2016 sampai April 2017. LSI melakukan survei paling banyak dibanding lembaga survei lain. Dinamika opini publik dan persepsi aneka segmentasi pemilih terbaca jelas dalam sebelas kali survei itu.

Tak benar kalahnya Ahok berarti kalahnya semangat keberagaman. Yang mengalahkan Ahok di Jakarta adalah melting pot, kumpulan aneka kepentingan. Mereka disatukan oleh persepsi yang sama: Ahok harus dikalahan. Titik!

Memang ada alasan tak ingin memilih Ahok semata karena Ahok berbeda agama. Namun jauh lebih banyak di segmen itu menolak Ahok bukan karena agama Ahok, tapi persepsi mereka atas arogansi Ahok. Bukan karena agama Ahok tapi karena Ahok dianggap menista agama mereka.

Apakah benar Ahok menista agama? Pengadilan yang akan memutuskan. Namun mayoritas pemilih punya persepsi Ahok menista agama, seperti yang terekam dalam survei berkali-kali.

Mereka dengan sentimen agama adalah the angry voters, pemilih yang marah. Yang dominan di kalangan segmen ini bukanlah pemilih yang begitu taat dan saleh dengan agamanya. Umumnya mereka bukanlah pendukung syariat Islam di dunia publik.

Banyak pula segmen anti Ahok yang justru aktivis keberagaman, HAM, dan demokrasi. Bagi mereka Ahok buruk untuk keberagaman. Demokrasi Indonesia masih labil. Di tangan pemimpin yang tak sensitif dengan pernyataan publik soal agama, akan membuat fondasi keberagaman yang labil itu semakin goyah.

Bagi mereka, justru untuk meneguhkan keberagaman, Ahok harus dikalahkan. Tentu saja mereka pro Pancasila.

Jika ditanya, ibu bapak sekalian, apakah ibu bapak inginkan demokrasi modern seperti barat, negara Islam seperti di Timur Tengah, atau negara Pancasila?

Yang inginkan negara Islam, syariah Islam di ruang publik, di bawah 10 persen. Di atas 70 persen pemilih Jakarta, termasuk yang memilih Anies-Sandi menginginkan Pancasila.

Data membantah kekhawatiran itu. Yang mengalahkan Ahok bukan minoritas pendukung negara Islam, tapi justru mayoritas pendukung negara Pancasila!

Itu adalah data, bukan teori, bukan harapan!

-000-

Sering ditanyakan, mengapa pendukung Anies-Sandi yang pro keberagaman bersedia bekerja sama dengan aneka kelompok intoleran? Bukankah ini berarti memberi panggung bagi membesarnya kelompok yang anti keberagaman?

Jawaban atas pertanyaan ini adalah visi dan fakta sejarah, bukan lagi data. Demokrasi membolehkan semua warga negara yang sah untuk berkumpul, mendukung atau melawan siapapun.

Begitulah mozaik isu publik yang terjadi dalam praktik demokrasi modern. Untuk satu isu, aneka kelompok yang berbeda bisa menyatu dalam satu posisi yang sama. Namun menghadapi isu lain yang berbeda, mereka yang bersatu itu bisa bahkan saling berhadapan. Bersatu atau berhadapan, itu tergantung dengan isu sosial yang datang.

Tak usah heran dan itu biasa saja jika dalam kubu yang anti Ahok itu berkumpul kelompok yang sebenarnya bertentangan. Ada FPI, HTI yang dianggap garis keras. Namun ada juga aktivis keberagaman dan HAM di sana. Ada NU. Ada Muhammadiyah.

Visi demokrasi membolehkan mereka berkumpul dan bersatu. Tak ada prinsip demokrasi yang dilanggar. Namun bersatunya mereka hanya untuk isu pilkada saja. Mereka diikat kepentingan yang sama mengalahkan Ahok. Mengapa  Ahok harus dikalahkan? Mereka punya alasan berbeda bahkan bertentangan.

Survei LSI sudah mengujinya. Ketika ditanya apakah sebaiknya Indonesia menerapkan sistem negara Islam? Pendukung anti Ahok itu terpolarisasi pro dan kontra saling berhadapan.

Di kalangan anti Ahok dan pendukung Anies, lebih banyak yang kontra negara Islam ketimbang yang pro. Ini juga data.

-000-

Mengapa kelompok yang pro keberagaman di kubu Anies-Sandi membiarkan garis keras mendapat panggung dan semakin eksis di ruang publik?

Begitulah visi demokrasi modern. Di Amerika Serikat,  ada KKK yang rasialis kulit putih. Ada pula kelompok Elijah Mohammad yang rasialis kulit hitam. Mereka  dibolehkan hidup di ruang publik. Mereka pun dibolehkan ikut pemilu, ikut berkampanye. Mereka dibebaskan memilih siapa yang harus didukung dan dilawan.

Yang dilarang kemudian, bukan gagasannya yang dianggap rasialis. Yang dilarang hanya jika mereka melakukan tindakan kriminal.

Ujar John Raws, jika kelompok toleran ternyata tidak toleran kepada kelompok intoleran, maka kelompok toleran itu berubah karakternya menjadi kelompok intoleran.

Kelompok yang toleran pun harus ikhlas bahwa ruang publik itu milik bersama. Demokrasi dan HAM baik teori ataupun praktik, membolehkan kelompok intoleran di ruang publik.

Sejauh masih dalam dunia gagasan, gagasan yang toleran dan  intoleran sama-sama dibolehkan  hidup. Dalam pasar bebas dunia gagasan, mereka dipersilahkan bersaing meyakinkan publik.

Yang dilarang adalah tindakan kriminal, kekerasan dan hate speech. Namun larangan itu berlaku bukan hanya untuk pelaku gagasan yang intoleran. Ia juga diterapkan untuk pelaku gagasan yang toleran.

Mengapa demokrasi modern tidak takut dengan gagasan intoleran yang mungkin akan mematikan demokrasi itu sendiri?

Dalam kurva pasar bebas dunia ide, gagasan intoleran umumnya hanya minoritas saja, di ekstrem kiri atau kanan. Mayoritas publik tetaplah pelaku gagasan toleran.

-000-

Kemenangan Anies- Sandi justru kemenangan isu kebhinekaan yang lebih kokoh. Kebhinekaan justru labil jika diwarnai ketimpangan sosial. Kebhinekaan justru negatif jika tidak disertai kuatnya rasa persatuan.

Menang telaknya Anies-Sandi di putaran kedua justru karena gagasan itu: kebhinekaan yang berkeadilan sosial dan diwarnai rasa persatuan yang kuat.

Dengan isu di atas, Anies-Sandi pun menang dalam segmen pemilih kelas menengah. Tanpa isu kebhinekaan, semata isu agama, Anies-Sandi hanya menang di pemilih menengah bawah saja. Anies akan menang tipis atau bahkan kalah tipis.

Justru isu kebhinekaan yang membuat Anies-Sandi tak hanya menang, tapi menang telak. Ini juga data.

Saya senang ikut merumuskan tema itu bersama Anies Baswedan.  Digitroops di bawah Fahd Pahdepie membuatkan videonya. Digitroops memainkan isu itu secara massif di media sosial.

Saya juga senang ikut membantu Prabowo tampil tegas sekali soal isu keberagaman itu. Digitroops juga membuat video Prabowo dengan pernyataan sangat tegas. Ujar Prabowo,”Saya menjadi orang pertama yang akan menurunkan Anies-Sandi jika tak setia pada kebhinekaan, Pancasila dan NKRI.”

Kebhinnekaan kita tidak terancam dengan kalahnya Ahok dan menangnya Anies. Kebhinekaan kita justru sedang dalam proses diperkokoh dengan isu keadilan sosial dan persatuan.

Pilkada sudah selesai. Mari kita move on, melangkah ke depan. Yang menang didukung dan dibantu. Yang kalah dihormati dan dirangkul.

Keberagaman akan terus tumbuh di Indonesia. Bahkan jika Batman, Superman, Ironman dan tokoh superhero lain bersatu sekalipun untuk menghapus keberagaman, mereka  tak akan berhasil. (***)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.