Kamis, 25 April 24

Pasar Ikan Higienis Tak Laku, Pedagang Ogah Tempati

Pasar Ikan Higienis Tak Laku, Pedagang Ogah Tempati
* Kondisi pasar yang memprihatinkan tanpa banyak pelanggan yang datang

Tempat itu sekilas terlihat layaknya bangunan terbengkalai. Cat mulai terkelupas, sampah dipojokan seolah dibersihkan ala kadarnya. Kumuh dan mangkrak, mungkin itulah kesan yang pantas disematkan bagi Pasar Ikan Higienis (PIH) Mina Rejomulyo, Kota Semarang. Tak tanggung-tanggung, sebutan higenis tertera jelas di pasar yang berlokasi di Jalan Pengapon, Nomor 39, Kota Semarang, berseberangan dengan kantor Pertamina. Namun sayang, kondisi di sana jauh dari kata “Higienis”.

Semarang, Obsessionnews – Awalnya PIH dibangun sebagai tempat relokasi bagi pedagang ikan konsumsi di Pasar Ikan Kobong yang terletak disebelah lokasi. Pada awal tahun 2003 PIH diisi oleh pedagang ikan konsumsi dan sebagian kecil pedagang ikan hias. Seiring berjalannya waktu, para pedagang ikan konsumsi malah kembali ke asal mereka masing-masing.

Perlahan namun pasti, pedagang ikan hias pun merangsek maju dan mulai mendominasi. Hingga saat ini, hanya tersisa satu pedagang ikan konsumsi di pasar tersebut. “PIH yang seharusnya memang tempat Pasar Ikan Higenis namun saat ini sama saja menjadi Pasar Ikan Hias, hal ini karena target ikan higenis tidak jalan,” terang Ulum, Ketua Paguyuban Pedagang PIH Mina Rejomulyo.

Kondisi pasar yang memprihatinkan tanpa banyak pelanggan yang datang.
Kondisi pasar yang memprihatinkan tanpa banyak pelanggan yang datang.

Akan tetapi, tidak membutuhkan waktu lama bagi dominasi para pedagang ikan hias. Relatif singkat, banyak dari mereka kembali meninggalkan PIH dengan berbagai alasan. “Paling sering karena alasan tidak laku. Dan dulu sempat depan itu sering banjir. Sekarang begitu jalan sudah ditinggikan pada ga mau balik lagi,” tuturnya saat disambangi obsessionnews.com, Jumat (1/5).

Sekarang, tinggal tersisa 15 pedagang ikan hias dan satu orang pedagang ikan konsumsi yang masih bertahan. Walaupun para pedagang ikan hias masih banyak yang menetap, namun tidak serta merta membuat PIH diakui sebagai sentra ikan hias oleh Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Pusat.

“Karena belum diakui ikan hias menjadi tersisih di PIH yang menyebabkan pendagang jalan sesuai konsepnya sendiri-sendiri, padahal kenyataanya PIH saat ini ditopang oleh ikan hias,” keluhnya.

Lantai 2 PIH tidak terlalu dimanfaatkan karena banyak pedagang tidak mau menempati dengan alasan kurang laku.
Lantai 2 PIH tidak terlalu dimanfaatkan karena banyak pedagang tidak mau menempati dengan alasan kurang laku.

Pihak pengelola sebenarnya sudah berusaha semaksimal mungkin mempromosikan PIH akan tetapi sedari awal pasar itu dikenal sebagai Pasar Ikan Higienis, sehingga pandangan masyarakat terhadap PIH adalah pasar yang menjual ikan konsumsi. Padahal selama beberapa tahun belakangan, pasar ini ditopang dengan kehidupan jual beli para pedagang ikan hias.

“Lapak yang sempit dan biaya listrik ini memberatkan kami, bayangkan 270ribu sampai 375ribu perbulan belum lagi listrik bayar sendiri, Harapan kami harga lapak turun atau bayar lapak tetap tapi listrik jangan dibebani yang menyebabkan roda berputar tapi jangan sampai devisit apalagi pengunjung mulai sepi,” sebut pria itu.

Dampaknya tentu saja ketika ada bantuan ataupun anggaran yang berasal dari pusat maupun provinsi selalu berbentuk alat-alat bagi ikan konsumsi seperti pisau, talenan, dan lainnya. Padahal para pedagang membutuhkan alat untuk perkembangan ikan hias yang ada.

Kondisi pasar yang memprihatinkan tanpa banyak pelanggan yang datang.
Kondisi pasar yang memprihatinkan tanpa banyak pelanggan yang datang.

Paryadi, Petugas Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) PIH Mina Rejomulyo, Semarang mengatakan, dengan adanya permasalahan tersebut, ia mengaku sudah menggunakan banyak cara agar pedagang mau menempati dilokasi yang sudah disediakan. Namun pihaknya tidak berani untuk memaksa para pedagang.

“Sebetulnya dialog sudah dilakukan ke pedagang, bahkan pedagang sudah di gratiskan air, selain itu ada sosialisasi ke masyarakat baik media elektronik, radio, sosial media. Untuk pedagang juga sudah berbicara dari hati ke hati, tapi kita hanya menghimbau dan mengharapkan saja, tidak bisa memaksa,” terang Paryadi.

“Menata PKL tidak mudah mas, kita ambil contoh PKL di jalanan yang mana proses penertibanya cukup lama. Disini,kita sudah panggil pedagangnya, dialog juga, tapi yah keadaanya begini. Kalau disini buka dari jam 8.00-17.00 di hari besar tetap buka kecuali hari raya,” imbuhnya.

Lantai 2 PIH tidak terlalu dimanfaatkan karena banyak pedagang tidak mau menempati dengan alasan kurang laku.
Lantai 2 PIH tidak terlalu dimanfaatkan karena banyak pedagang tidak mau menempati dengan alasan kurang laku.

Gedung PIH sendiri berdiri dengan dua lantai di dalam. Meski begitu, kondisi di lantai tidak terlalu terawat bahkan terkesan mangkrak. Paryadi berkilah bahwa bahwa gedung tersebut tidak mangkrak melainkan masih rutin digunakan untuk kegiatan-kegiatan. “Lantai 2 digunakan untuk penyuluhan, membina pedagang binaan-binaan dari dinas perikanan selain itu digunakan untuk lomba-lomba.”

Saat ini dilema PIH terus berlanjut. Disatu sisi, pasar ini hidup bernafas dari perdagangan ikan hias, disisi lain promosi terus digencarkan tapi masyarakat terus memandang sebelah mata PIH sebagai tempat kumuh tempat ikan mentah dikumpulkan. (Yusuf IH)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.