Sabtu, 20 April 24

Para Koruptor Sedang Gali Kuburnya Sendiri

Jakarta, Obsessionnews.com – Di era Orde Baru (Orba) sangat sedikit koruptor masuk penjara. Struktur kekuasaan politik nyaris monopoli. Hanya satu partai politik yang menggenggam kekuasaan, yakni Golkar. Dua partai lainnya, PDI – yang kemudian menjelma menjadi PDI-P – dan PPP. Kedua partai itu terbelenggu oleh kekuasaan Orba di bawah Presiden Soeharto. Rezim Orba mengobok-obok kedua partai itu jika mereka sedikit saja melawan. Orba memecah belah internal kedua partai.

Kapasitas institusional di masa Orba sangat rendah. Pemerintah otoritarianlah yang menjadi hukum.

Checks and balances tak berjalan. Ditambah dengan persaingan politik yang juga rendah, korupsi bersifat sistemik dan terorganisir. Penegakan hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya karena dikooptasi oleh rezim,” kata pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia (UI) Faisal Basri melalui keterangan tertulis beberapa waktu lalu.

Pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia (UI) Faisal Basri

Kini persaingan politik sangat ketat. PDI-P yang menenangkan Pemilu 2014 hanya memperoleh 19 persen kursi di DPR. Agar pemerintah memperoleh dukungan mayoritas di parlemen, pemerintah harus merangkul banyak partai.

Di awal pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), dukungan DPR hanya 37 persen. Semula pemerintah didukung PDI-P, PPP, Nasdem, PKB, dan Hanura. Dalam waktu singkat, Golkar dan PAN menyeberang ke kubu pemerintah, sehingga pemerintah didukung oleh 69 persen kursi DPR. Hanya Partai Gerindra, PKS dan Partai Demokrat yang berada di luar pemerintahan.

“Dengan persaingan politik yang tinggi namun kapasitas institusional tetap rendah, potensi korupsi tentu saja masih tinggi. Hanya saja sekarang peserta korupsinya bertambah banyak,” kata Faisal.

Menurutnya, banyaknya pelaku korupsi dari berbagai partai menimbulkan masalah bagi koruptor. Korupsi tidak bisa dilakukan sendirian, karena dispersi kekuasaan politik sangat tinggi.

“Pengambilan keputusan harus menyertakan semakin banyak pihak atau kekuatan politik. Ada pertukaran konsesi,” tandasnya.

Banyaknya pihak yang terlibat cenderung membuat pembagian rente atau hasil korupsi tidak merata.

“Yang sedikit memperoleh bagian korupsi cenderung kecewa, lalu membocorkan kesepakatan lewat segala cara. Sehingga secara alamiah, praktik korupsi bakal cepat terbongkar. Mirip dengan kartel bisnis yang kebanyakan berusia pendek,” tegas Faisal.

Di masa Orba tidak ada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan belum ada media sosial.

“Kekuatan masyarakat dan media massa dibungkam. Sekarang beda,” ujarnya.

Apakah para koruptor tidak menyadari bahwa lingkungan sudah sangat berubah? Kalau mereka menyadarinya, mengapa mereka masih nekat menjadi drakula menghisap darah rakyat? Bahkan mereka berani melawan secara terang-terangan.

“Jika orang-orang baik hanya berdiam diri, para koruptor bakal menang. Syukurlah kita tidak tinggal diam. Memang, kita tidak boleh berdiam diri. Para koruptor sedang menggali kuburnya sendiri. Semakin banyak kekuatan yang melawan para drakula, semakin cepat kebenaran akan menang,” kata Faisal. (arh)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.