Jumat, 26 April 24

Para Eksil 1965

Para Eksil 1965
* Buku "Sastra dan Sejarah Indonesia". (Foto: goodreads.com)

DARI 13 artikel Henri Chambert- Loir yang terangkum dalam buku bertajuk Sastra dan Sejarah Indonesia yang terbit tahun 2018 ini, yang menarik salah satunya tentang para eksil 1965 yang terpaksa nggak bisa pulang ke Indonesia menyusul peristiwa September 1965.

Chambert-Loir sebagai Indonesianis asal Perancis membedah cara pandang para eksil ketika menulis otobiografi, memoar atau yang mereka istilahkan roman memoar. Istilah yang kontradiktif. Ada banyak hal yang ingin diungkap. Tapi juga banyak yang tetap harus dirahasiakan.

Padahal para eksil 1965 yang bikin karya tulis berupa otobiografi atau memoar itu sebenarnya punya kesempatan bagus untuk menjelaskan versi cerita mereka tentang sebelum dan saat meletusnya G-September 1965.

Sayangnya saya dapat kesan ada semacam sensor diri kolektif di kalangan mereka. Sehingga hanya mengatakan sesuatu tapi hampa pesan. Sekadar keluh kesah. Sehingga saya punya tiga catatan untuk ini.

Pertama, penilaian umum tentang 1965 sarat penyederhanaan masalah. Semua salah Soeharto. Titik. Tanpa mempertimbangkan begitu kompleksnya dinamika politik Indonesia pada 1964-1965.

Kedua, para eksil yang menyebar di Eropa, Cina dan Amerika Latin. Begitu menyinggung tragedi 1965 tidak lagi bersikap individual tapi kolektif. Menghindar buat menjelaskan sesuatu.

Ketiga, ada semacam paradoks. Bertentangan tapi seiring atau sejajar. Ada kesan kuat ingin menunjukkan sebuah sikap kolektif sebagai kelompok atau komunitas. Namun para eksil meski umumnya mengapresiasi sosialisme maupun gagasan kiri. Tetapi tidak semuanya komunis. Dan kalaupun komunis atau PKI, terbelah karena berkiblat pada Moskow atau Beijing.

Namun kesan ketika membaca memoar putri sulung Aidit atau putri Lukman, dua putri pentolan PKI, saya kok malah berpikir mereka ini mengadopsi gaya hidup borjuis kecil Eropa. Terutama para eksil yang beemukim di Perancis dan Belanda.

Banyak keluh kesah. Mengasihani diri sendiri. Berkumpul dari dan antar mereka sendiri. Ibarat tentara yang sedang tiarap. Oh ya satu lagi. Senang fantasi. Nggak bisa bedakan nyata dan fiksi.

Maka sungguh tepat judul artikel Henri Chambert-Loir ketika mengulas tentang para eksil 1965: Terkunci di Luar. (Hendrajit, Pengkaji Geopolitik)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.