Sabtu, 20 April 24

Pakar Hukum: Pasal Larangan Hina Presiden dan Wakilnya Perlu Dihidupkan

Pakar Hukum: Pasal Larangan Hina Presiden dan Wakilnya Perlu Dihidupkan

Gia

Jakarta-  Pakar Hukum dari Universitas Parahiyangan, Asep Warlan Yusuf menilai Pasal Larangan Hina Presiden dan Wakilnya perlu dihidupkan kembali dalam RUU KUHP.

 “Yang namanya simbol  maupun lambang negara tidak boleh dihina karena merupakan identitas atau jati diri suatu Negara. Jadi, perlu diatur dalam UU” ujar Warlan saat dihubungi oleh obsessionnews.com (4/4).
Namun, Warlan menegaskan pembedaan antara kritik dan menghina itu perlu diclearkan.“Takut dijadikan pasal karet nantinya. Jangan sampai ada yang menilai kritik terhadap presiden maupun wakil presiden adalah bentuk penghinaan dan penyerangan” tandasnya.
 Sebelumnya, Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana menyebut bahwa rumusan pasal dalam Rancangan KUHP itu berbeda dengan ‘pasal karet’ yang sudah dibatalkan MK. Pasal baru yang diusulkan, kata Denny, berisi tentang larangan terhadap penyerangan dan penghinaan martabat presiden dan wakil presiden.Denny meminta publik membedakan kritik dan penghinaan. Kritik merupakan hal yang dibolehkan dan lumrah, sedangkan menyerang dan menghina martabat presiden itu membahayakan.  “Mungkin itulah yang menjadi titik tolak kenapa pasal seperti ini dimunculkan lagi,” kata Denny.
Sementara Ketua Fraksi PKS, Hidayat Nur Wahid, menolak pemberlakuan kembali aturan pemidanaan terhadap penghina presiden. Menurutnya, pasal tersebut justru akan mengancam sistem kebebasan berdemokrasi di tanah air.
 “Secara prinsip Fraksi PKS dalam posisi menolak pasal itu. Karena pasal itu akan subyektif. Akan menghadirkan demokrasi yang terbelenggu,” kata Hidayat.
Meski demikian, Hidayat menjelaskan, pasal tersebut masih dalam kajian DPR. Karena, pada prinsipnya Presiden selaku kepala negara harus dihormati. “Ini namanya usulan belum sebuah keputusan. Hak DPR untuk mengkaji atau menolak,” jelasnya.
Anggota Komisi III DPR RI, Eva Kusuma Sundari menyatakan rasa keberatan terhadap pasal tersebut “Aku keberatan dengan Denny Indrayana karena (Pasal Penghinaan Presiden) sudah diputus dalam MK kok masih dipaksaain,” kata Eva.
 Eva menilai, sudah sewajarnya Presiden dicaci-maki bahkan dihina oleh rakyat jika rakyat merasa kinerja Presidennya tidak maksimal.
Seperti diketahui, Pasal yang tumbuh di masa otoriter Orde Baru dan menjadi momok bagi para pegiat pro demokrasi itu hendak dihidupkan kembali. Dalam pasal 265 Rancangan KUHP dinyatakan ‘setiap orang yang di muka umum menghina presiden atau wakil presiden dipidana dengan pidana penjara  paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Rp300 juta’. Padahal, delik yang kerap disebut sebagai ‘pasal karet’ tersebut telah  dihapuskan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada 6 Desember 2006.
MK menghapus pasal itu setelah mengabulkan gugatan judicial review dari Eggi Sudjana atas pasal 134, pasal 136 bis, dan pasal 137 KUHP. Dalam pertimbangan putusannya MK berpendapat bahwa Indonesia merupakan negara hukum yang demokratis, berbentuk republik, berkedaulatan rakyat, serta  menjunjung hak asasi seperti yang diatur dalam UUD 1945.
Pemberlakuan tiga pasal tersebut berakibat mengurangi kebebasan mengekspresikan pikiran dan pendapat, kebebasan akan informasi, serta prinsip kepastian hukum. MK secara tegas mengingatkan tim penyusun Rancangan KUHP untuk tidak lagi memuat pasal-pasal yang isinya sama atau mirip dengan ketiga pasal tersebut dalam pembaruan KUHP warisan kolonial.
Karena itu, memasukkan kembali aturan yang telah dihapus itu dalam  Rancangan KUHP jelas langkah mundur luar bagi demokrasi. Pasal haatzaai artikelen tersebut amat terbuka dijadikan pintu masuk bagi penyalahgunaan kekuasaan. (rud)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.