Jumat, 26 April 24

“Pak Menteri, Jangan Impor Beras!”

“Pak Menteri, Jangan Impor Beras!”

Pak Menteri, Jangan Impor Beras!

Sepanjang Februari 2015, lonjakan harga beras di pasaran terus merangkak naik.  Kenaikan harga beras yang terjadi saat ini berdampak pada kegiatan ekonomi masyarakat terutama pengusaha kecil. Beberapa hari ini pun ‘beras’ menjadi bahan pemberitaan di hampir semua media, diskusi, forum, dan bahasan menjadi sajian utama.

Ada hal yang menjadi pertanyaan besar dari petani: apakah gejolak harga pangan (beras) baru sekali ini? Padahal, gejolak harga beras dan komuditas pangan sudah sangat sering dan periodik.  Reaksi yang sering kita lihat selain komentator para ahli dengan praktisi pedagang yng sering diwakili dari Pasar Induk Cipinang juga Politikus Senayan adalah “Operasi Pasar” menggunakan cadangan pangan nasional yang dikelola Bulog, hal ini berulang dari tahun ketahun tanpa ada jalan lain sampai akhirnya reda seiring jalannya waktu petani panen raya.

Secara hukum dasar ekonomi perubahan harga dipengaruhi oleh ketersedian (pasokan)  dan laju permintaan, kondisi perubahan harga ini jika berlansung dalam beberapa waktu sudah dipastikan akan memicu inflasi dan biasanya akan diikuti tindakan moneter oleh otoritas pemerintah.  Kalau dilihat pemicunya maka tidak tepat kalau inflasi seperti ini bukan karena masalah moneter tapi hanya masalah pengelolaan pasokan dan permintaan yang merupakan sektor riil.

Beberapa kejadian seperti ini kalau cadangan pangan nasional sudah digunakan untuk operasi pasar akan diikuti oleh kebijakan impor, dan sering datangnya beras impor bertepatan dengan panen raya petani dan sudah pasti harga jual ditingkat petani terjun bebas tanpa ada mediskusikan bahkan tanpa komentar.

Potret peberasan nasional, berdasarkan data stastik (2011) luasan panen nasional adalah 13 juta hektar pertahun, maka akan dihasilkan 66 juta ton GKG (Gabah Kering Giling).  Pembelian gabah petani melalui Bulog berkisar 2,6 juta ton kalau dikonversi dari cadangan stok beras 1,5 juta ton, sehingga 63,4 juta ton dikuasai oleh “swasta”.

Oleh karena itu, sekarang ini tidak perlu impor beras, namun kita hanya perlu:

1. Meningkatkan penguasaan stok fisik beras minimal 50% dari total produksi nasional yang sekarang hanya 4%.

2. Meningkatkan cadangan pangan nasional dari 1,5 juta ton (14 hari kecukupan konsumsi nasional) menjadi 10 juta ton sehingga aman untuk satu siklus panen.

3. Melacak keberadaan surplus beras 8,4 juta ton per tahun.

4. Pengembangan produksi pada lahan sub optimal dengan penerapan sistem klaster dan teknologi hijau berkelanjutan.

5. Mengembangkan alternatif tataniaga beras dari berbasis pasar induk ke pengguna langsung.

6. Memperbaiki sistem data base lahan dan petani yang real time, akurat, dan by name by address.

Dengan demikian pengulangan lonjakan harga beras bahkan komoditas pangan yang lainnya akan bisa dikendalikan. (*)

*) Oleh: Ir. Luwarso – Alumni Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto.

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.