Jumat, 26 April 24

Olah Raga Politik, Politik Olah Raga

Olah Raga Politik, Politik Olah Raga

Kaleidoskop Bidang Olahraga 2014:
Olah Raga Politik, Politik Olah Raga

Tahun 2014 sepertinya menjadi tahun politik di tanah. Hampir semua sendi kehidupan dinilai dengan hitngan politik. Tidak terkecuali masalah politik juga diduga telah merambah dunia olah raga kita. Sepanjang tahun terakhir ini, tidak ada prestasi yang menonjol hampir disemua cabang olah raga yang kita punyai.

Lihat saja misalnya bulu tangkis. Dulu cabang tampek bulu adalah salah satu cabang olah raga andalan Indonesia. Hampir semua Negara yang bergulat di dunia badminton akan mengatakan Indonesia adalah rajanya. Hampir semua Negara pernah ditaklukannya, tidak terkecuali Negara-negara yang secara tradisional hebat di cabang ini, semisal Tiongkok, Malaysia, Denmark dan lainnya.

Nama-nama pebulutangkis kita pun melejit, seperti Rudi Hartono, Liem Swee King, Icuk Sugiarto, Ferawati Fajrin, Imelda Wiguna, Ivana Lee, Susi Susanti dan lainnya. Dan hampir semua lawan  yang berhadapan dengan mereka selalu merasa kalah sebelum bertanding. Itu tidak mengherankan, karena mereka memang hebat di bidangnya. Semisal Rudi Hartono, dia menjuarai All England sebanyak tujuh kali berturut-turut.

Selanjutnya, seperti Liem Swee King, dia jadi juara kejuaraan dunia bulu tangkis cukup bergengsi (All England) sebanyak tiga kali. Pasangan pebulutangkis ganda kita pun tidak kalah bersinarnya, semisal Christian Hadinata dan Ade Chandra. Semua orang pasti mengenalnya, dia pasangan pebulutangkis nasional yang sangat lagendaris. Setiap pasangan ini muncul ke arena, pasti lawannya sudah keder duluan, sebelum bertanding.

Punya pebulutangkis hebat
Sekarang pun kita punya pebulutangkis hebat, semisal Sony, Tomy Sugiarto, dan lain-lainnya. Namun keadaannya sekarang sepertinya berbeda. Merekalah yang justeru sepertinya kalah sebelum bertanding di saat berhadapan dengan lawan-lawannya. Lihat saja sepanjang tahun 2014 ini, nyaris tidak ada prestasi yang dibanggakan. Semuanya melempem sepertinya dibungkam oleh hingar binger perpolitikan nasional.

Di saat yang sama tokoh-tokoh bulu tangkis lagendaris kita pun sepertinya lenyap tanpa bekas. Mereka sepertinya hilang, atau menghilang sengaja ikut terseret gelombang kampanye Pemilu Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres), yang terjadi sepanjang tahun 2014. Tidak hanya di satu cabang, di lain cabang olah raga lain pun nasibnya tidak kalah tragis. Sebut saja cabang sepak bola.

Cabang sepak bola adalah olah raga rakyat yang paling digemari di Indonesia. Hampir setiap anak Indonesia mengenal cabang ini, dan sekaligus suka memainkannya. Dan ingat Indonesia adalah Negara besar, baik dari segi luas wilayah, maupun dari jumlah penduduk. Di banding Negara-negara Eropa dan Asia, kecuali India dan Tiongkok. Kita adalah yang terbesar. Pertanyaannya mengapa cabang ini sulit berprestasi?

Kita selalu keok
Hal itulah yang menjadi keprihatinan kita, mengapa kita selalu keok, memble ketika bertarung. Jangankan tingkat Asia, tingkat ASEAN pun kita sulit berkutik. Dan yang membuat kita geleng-geleng kepala dan bertanya-tanya adalah ketika PSSI senior ditekuk Filipina, baru-baru ini. Tidak ada dalam sejarah, PSSI bisa dikalahkan kesebelasan Filipina. Ini cerita sebelum tahun 2014. Namun di tahun penuh intrik politik ini, justeru kita menyerah kalah dan sangat memalukan dari Filipina.

Tidak hanya itu, tim PSSI usia 19 tahun, yang digadang-gadang bakal menjadi darah segar bagi persepakbolaan nasional. Dan untuk itu dipersiapkan sedemikian, seperti latih tanding (uji coba) ke Negara Timur Tengah, Eropa (Spanyol) yang cukup menyita uang Negara kita. Dan selama uji coba mereka menunjukan performa yang lumayan bagus, sehingga tidak heran, muncul banyak sanjungan alias pujian kepada mereka.

Namun, betapa sangat mengecewakan, setelah mereka harus bertarung di medan yang sesungguhnya, seperti Piala AFF yang belum lama ini diselenggarakan. Tim kita sepertinya kehilangan semangat tempur, kerja sama antar lini lemah, passingnya sering kali mudah dibaca lawan. Pokoknya serba payah, sehingga wajar, jika PSSI 19 tahun tersungkur di Piala AFF. Akibatnya pelatih Indra Safrie harus dicopot dari jabatannya.

Pertanyaan dan persoalannya mengapa semua itu harus terjadi? Banyak pengamat olah raga menuding, bahwa megap-megapnya dunia olah raga kita, karena ada segelintir elit kita yang mencoba memainkan olah raga dengan irama politik. Maka istilah kerennya politisasi dalam olah raga. Maka tidak heran jika suatu cabang olah raga yang disaat uji coba bagus, tetapi ketika berhadapan dengan lawan sebenarnya keok.

Dibawa para elitnya
Tudingan bahwa olah raga telah dibawa para elitnya ke kancah politik, mungkin sekali ada benarnya. Ini bisa kita asumsikan semisal dengan menghilangnya para pebulutangkis senior dan lagendaris kita. Lenyapnya mereka bukan mustahil lantaran mereka tidak ingin terbawa ke arena politik, yang sejatinya telah mereka hindari.

Dan tudingan semacam itu ada benarnya, jika kita melihat dan menelisik kejadian beberapa waktu lalu, terutama saat Pilpres. Para atlet dan para mantan atlet kita terbelah dukungannya, masing-masing membuat statement yang menyatakan dukungannya kepada pilihannya. Dari sini kita dapat merangkai bahwa para atlet kita telah dilarikan ke dunia politik bukanlah suatu isapan jempol belaka. Pertanyaanya adalah sampai kapan keadaan ini akan terus bertahan?

Menyadari keadaan tersebut dan untuk membedah agar PSSI lebih maju, Menpora kabarnya telah membentuk tim Sembilan. Tim ini diproyeksikan untuk nmengevaluasi kinerja PSSI. Pertanyaan lebih lanjut, jika hanya sekedar mengevaluasi, kapan actionnya? Masyarakat olah raga kita justeru menanyakan langkah konkrit kita untuk membenahi dunia olah raga. Bukan sekedar mengevaluasi yang akhirnhya hanya membuang-buang waktu percuma. Ayo kerja cabinet kerja. (Arief Turatno)

 

Related posts