Rabu, 17 April 24

Neither Sukarnov nor Suhartov

Neither Sukarnov nor Suhartov

(Amar Munkar Nahi Nakir)
Oleh: Emha Ainun Nadjib, Budayawan

 

Andaikan setelah meninggal kelak saya dilupakan orang, insyaallah itu lebih menguntungkan dibanding diingat-ingat, dikenang, apalagi dipuja-puja. Sebab prosentase dosa hidup saya lebih besar dibanding kebaikan saya. Dipuja mustahil, dikenang pasti: oleh anak istri dan keluarga saya. Tapi kalau diingat-ingat, agak mengkhawatirkan, saking banyaknya dosa saya.

Tetapi sejumlah orang Indonesia dikenang manis, diingat-ingat kebaikannya, serta terkadang dipuja-puja – meskipun kadar dan kedalamannya berbeda-beda. Misalnya Bung Karno adalah kenangan manis dan penuh kebanggaan. Pak Harto ada yang kagum ada yang mengutuk, sebagaimana Gadjah Mada. Kalau ditanya bagaimana kesan tentang Muhammad Natsir, Haji Agus Salim, Tan Malaka, Kasman Singodimejo, Syaikhona Kholil, anak-anak muda sekarang menoleh ke kanan kiri dengan wajah bengong.

Kalau mengingat Gus Dur, biasanya orang lantas tersenyum, tertawa, atau bahkan tertawa cekikian dan geleng-geleng kepala. Ketika saya tempuh sejumlah proses menuju Gus Dur jumenengan Presiden, saya persyarati dua hal. Pertama, masalah Aceh dan GAM harus beres. Kedua, sebagai pemimpin Negara jangan ada lagi persambungan dengan Kanjeng Ratu Kidul (Nawang Wulan) maupun Nyi Roro Kidul (Nawang Sih) saudara kembarnya.

Gus Dur bilang dia sudah kirim SMS ke Kanjeng Ratu Kidul. Saya jengkel oleh jawabannya. “SMS gimana?”. Gus Dur menjawab sambil membaringkan badan ke Kasur: “Saya suruh dia pakai jilbab…”. Kemudian beliau tertawa xixixixi dan sesaat kemudian memejamkan mata dan tertidur. Saya pegang kepala saya dan saya jambak rambut saya. Saya yakin Einstein, Bheethoven, Bill Gates, bahkan pun Ned Kelly sampai di tiang gantungan tak pernah memasuki wilayah imajinasi seliar Gus Dur.

Orator terdahsyat yang pernah saya jumpai, alami dan saksikan langsung adalah almarhum Ustadz Yasin Hasan Abdullah Bangil. Seorang lelaki gagah, sabuk tebal model tukang sate Madura di pinggangnya, vokalnya gabungan antara Bung Karno, Sultan Hamengkubuwono IX, Rendra, Sutardji Calzoum Bachri dan Nabi Dzulqornain. Dia berpidato menggambarkan betapa pasukan Belanda gemetar badannya hanya ketika melihat gambar surban putih Pangeran Diponegoro.

“Hanya surbannya, Saudara-saudara”, suaranya lantang membelah angkasa, “baru surbannya. Belum jubah putihnya yang bergerai menembus angin di atas kudanya yang gagah. Kerajaan Belanda hampir bangkrut gara-gara pemberontakan Pangeran Diponegoro dengan surbannya. Saudara-saudara, bisakah kau bayangkan Diponegoro pakai helm…?”

Gus Dur bukan orator yang gagah penampilannya. Gus Dur adalah tipe Juara Favorit. Tetapi imajinasi tentang Ratu Kidul pakai Jilbab dan Pangeran Diponegoro pakai helm, menurut saya termasuk yang harus kita monumenkan di World Hall of Fame. Apalagi ketika pagi hari pukul 08.00 sesudah malamnya beliau di-impeachment saya dan istri datang ke Istana sebelum tamu-tamu lainnya, dan saya tanya: “Ngapain to Gus kok bikin Dekrit segala?”

Gus Dur menjawab enteng: “Lha sudah lama sekali ndak ada Dekrit, Cak. Terakhir kan tahun 1959”.

Saya kejar, “Kok ndak Sampeyan hitung segala sesuatunya. Saya kan nunggu Sampeyan telepon, siapa tahu saya pas punya bahan untuk turut mempertimbangkan perlu Dekrit atau formula lain?”

Gus Dur menjawab lebih enteng lagi dengan Bahasa Jombang: “Cak jenenge teplèk iku yo kadang menang kadang kalah. Biasane nek mulih isuk kemul-kemul sarung, berarti menang. Nek kalah malah mulih pakaian rapi, cèk diarani menang”. “Cak, namanya juga judi, kadang kalah kadang menang. Biasanya kalau pulang judi berselimut sarung itu tanda menang. Kalau kalah judi, pulang ke rumah berpakaian rapi, supaya orang menyangka dia menang…”

Tony Koeswoyo menulis lirik seolah-olah untuk Gus Dur: “Terlalu indah dilupakan, terlalu sedih dikenangkan…”. Tetapi semua orang punya rasa rindunya masing-masing kepada Bapak-Bapak kita terdahulu. Juga Gus Dur. Ada yang mengabarkan kepada saya bahwa Gus Dur sampai hari ini belum berangkat ke Alam Barzakh. Beliau masih berada di Tebuireng. Ada masalah prosedural yang belum bisa diatasi, terkait dengan administrasi Malaikat Munkar dan Nakir.

Kalau penziarah terakhir sudah meninggalkan kuburan kita sejauh 70 langkah, baru Malaikat Munkar dan Nakir hadir untuk berurusan dengan si ahli kubur. Lha sudah sekian tahun orang-orang yang menziarahi makam Gus Dur tak pernah reda. Belum pernah ada momentum penziarah terakhir meninggalkan kuburan 70 langkah. Jadi sekian tahun ini Gus Dur hanya berpandangan dari jauh dan saling melambaikan tangan dengan Malaikat Munkar dan Nakir.

Mungkin karena bosan, terkadang Gus Dur ke luar ke jalan besar antara Jombang-Pare. Lihat-lihat situasi. Dan yang paling menarik adalah banyak truk-truk yang di bak belakang atau samping ada foto Pak Harto dengan kalimat “Piye kabarmu, Lé? Penak zamanku tho?”. Apa kabar kalian, Nak? Lebih enak hidup di zaman saya dulu kan?

Itu membuat Gus Dur sangat kangen dan ingin segera mencari Pak Harto. Nanti di alam sana syukur-syukur juga ketemu Bung Karno, Sunan Kalijaga, atau malahan Gorbachev dan Anton Chekhov. Andaikan ketemu Ken Arok dan Gadjah Mada. Gus Dur mau konfirmasi kepada Ken Arok: “Apa dulu di bumi, Sampeyan ini benar-benar ada? Jangan-jangan Sampeyan ini hanya dikarang oleh para penjajah, supaya bangsa Indonesia merasa masa silamnya buram dan tak punya idola di antara nenek moyangnya”. Kepada Gadjah Mada juga Gus Dur bertabayyun: “Apa benar Sampeyan dulu mencegat rombongan Prabu Siliwangi? Kok ndak SMS saya dulu tho?”

Tetapi tampaknya yang paling diinginkan Gus Dur adalah bercerita kepada Pak Harto tentang truk-truk itu. Dan kalau Pak Harto bertanya “apa benar rakyat daripada Indonesia sekarang menganggap zaman saya lebih baik dibanding daripada zaman sekarang?”. Gus Dur, saya perkirakan menjawab: “Benar sekali itu Pak Harto. Selama Orla rakyat kita punya Pak Karnov. Di zaman Orba mereka punya Pak Hartov. Lha di ujung Reformasi palsu sekarang ini rakyat dibikin retak-retak kepalanya oleh Pak Setnov… Apalagi menurut para analis, jumlah Setnov di Indonesia tidak satu, melainkan sangat banyak, dengan kaliber yang berbeda-beda. Pendidikan keindonesiaan beberapa puluh tahun terakhir ini menumbuh-kembangkan potensi Setnov di dalam jiwa dan mental bangsa…”

Kalau Pak Harto tampak prihatin wajahnya mendengar itu dan nyeletuk: “Lho kok malah Amar Munkar Nahi Nakir”, Gus Dur menghiburnya: “Sudah tho Pak. Gitu aja kok repot…”.

Yogya, 2 Oktober 2017

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.