
Dr. D.T. Rimbawan (foto Anto).
Prattama
Jakarta-Reformasi yang dimulai sejak lengsernya mantan presiden Soeharto yang sudah berkuasa selama 32 tahun dinilai hanyalah euforia belaka sebagai bentuk terbebasnya rakyat Indonesia dari cengkeraman tirani, ini dibuktikan dengan ketidaksiapan negara ini dalam menyongsong era reformasi. Hal ini ditegaskan oleh Dr D. T. Rimbawan (Staf Pengajar FISIP UI) di acara pemaparan hasil survey 15 tahun Reformasi oleh IReS (Indonesian Research and Survey) di Jakarta. Minggu (05/05/2013).
“Tidak siapnya semua elemen pada era kepemimpinan Habibie menunjukan kepanikan replacement,seperti dibentuknya otonomi daerah,pembebasan pers dan multi partai,” ujarnya.
Dirinya juga menyampaikan 3 hal diatas merupakan kunci kepanikan sehingga awal reformasi tidak bisa berjalan dengan baik. Menurutnya pers di zaman reformasi menjadi alat bagi pemangku kepentingan, tidak lagi sebagai senjata perjuangan seperti di era orde baru.
“Namun keyataannya kini adalah pers merupakan pemilik dari kepentingan, bukan lagi alat perjuangan yg independen seperti dulu,” jelasnya.
Sementara keburukan dari multipartai menurut dirinya dengan sistem seperti ini tidak akan bisa bekerja dengan baik karena tidak efektif sementara otonomi daerah pada saat itu dinilai terlalu banyak kepentingan yang bermunculan, apalagi hal ini didukung oleh beragamnya suku bangsa dan agama yang berbeda.
Rimbawan berpendapat yang harus bertanggung jawab adalah presiden SBY dalam memberantas KKN dan persoalan reformasi lainnya. “Presiden SBY yang harus bertanggung jawab terhadap keburukan reformasi, karena dulu dirinya menjadi tokoh reformasi dari kalangan militer yg ingin memberantas KKN namun kenyataanya kini di partai yang dia pimpin banyak anggota keluarganya yg jadi kader,” pungkasnya. (rud)