Rabu, 24 April 24

Nasionalis Religius vs Nasionalis Sekuler di Pilkada 2018, Pileg dan Pilpres 2019

Nasionalis Religius vs Nasionalis Sekuler di Pilkada 2018, Pileg dan Pilpres 2019
* Dahlan Watihellu

Oleh: Dahlan Watihellu, Ketua Aliansi Masyarakat Peduli Persaingan Tidak Sehat (AMPAS)

 

Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pilkada) tahun 2018 akan digelar serentak di 171 daerah di Indonesia. Pilkada ini diikuti 17 provinsi, 115 kabupaten, dan 39 kota. Dari 17 Provinsi tersebut, ada sekitar tujuh provinsi besar yang lebih difokuskan konsentrasi dari tiap-tiap partai politik untuk memenangkan calon kepala daerah yang mereka usung. Tujuh provinsi tersebut diantaranya Provinsi Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Provinsi Sulawesi Selatan. Sebab, Jumlah penduduk dari tujuh provinsi besar ini mencapai 61% dari jumlah penduduk Indonesia secara keseluruhan.

Pilkada serentak 2018 ini merupakan pencarian format Pileg dan Pilpres 2019. Dengan demikian, situasi politik pada Pilkada 2018 ini sudah mulai mencerminkan peta perpolitikan Pileg dan Pilpres 2019. Lebih lanjut, jika diantara partai-partai politik yang ada, satu atau dua partai politik berhasil mendominasi kemenangan calon kepala daerah yang mereka usung di tujuh provinsi besar, yang lebih khususnya lagi di provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, berarti sudah separuh jalan partai tersebut akan memenangkan Pileg dan Pilpres tahun 2019. Sebab, kekuatan politik kepala daerah mampu dengan mudah mengintegrasikan unsur politik maupun masyarakat di daerah untuk memilih calon legistatif dan calon presiden tertentu di 2019.

Melihat kondisi peta politik Pilkada serentak 2018 ini, tidak lain merupakan proses pencarian bakal calon wakil presiden bagi petahana Presiden Joko Widodo dan pesaingnya Prabowo Subianto. Berbicara dinamika politik di tanah air belakangan ini, ada sebuah fenomena menarik yang perlu kita kaji bersama. Dimana, ada dua kelompok politik baru mulai terbentuk secara alami ditengah masyarakat yaitu kelompok garis kanan yang memakai label NASIONALIS RELIGIUS yang didominasi oleh umat Islam dan kelompok garis kiri yang dilabelkan NASIONALIS SEKULER.

Trigger yang melahirkan dua kelompok ini berawal dari gelombang masa Islam yang menuntut keadilan hukum atas kasus penistaan agama yang dilakukan oleh terpenjara mantan gubernur DKI Jakarta Ir. Basuki Tjahaja Purnama, M.M., alias Ahok. Dalam proses hukum penistaan agama tersebut, kondisi ini tidak juga terendam, justru terus meruncing akibat beberapa kebijakan pemerintah yang dianggap tidak pro rakyat, pemerintah dinilai tidak pro umat Islam, isu jangan memilih Ahok, isu jangan memilih empat partai pendukung penista agama, isu komunis dan lain-lain sebagainya, serta ditambah lagi dengan dugaan kriminalisasi Ulama dan umat Islam yang dilakukan oleh aparat kepolisian di Jakarta, Jawa Barat, dan sekitarnya.

Kelompok garis kanan yang memakai label NASIONALIS RELIGIUS melabelkan kelompok pendukung Ahok, Pendukung pemerintahan Jokowi, pemerintahan Jokowi, serta partai pendukung pemerintah yang khususnya PDIP, HANURA, NASDEM dan GOLKAR sebagai kelompok NASIONALIS SEKULER. Mereka menganggap Ahok, pemerintahan Jokowi dan empat partai politik di atas cenderung membela kepentingan kapitalisme. Beberapa pengamat berasumsi fenomena ini sewaktu-waktu bisa berubah menjadi wajah politik baru di Indonesia yang bahkan bisa mempengaruhi eksistensi partai politik. Tapi ini berbeda dengan di Amerika Serikat (two-party system).

Aksi protes dan kampanye di media sosial dengan isu tersebut berjalan dengan masif tidak saja terjadi di DKI Jakarta, namun melebar ke beberapa daerah di tanah air seperti pulau Jawa, Sumatera, dan kalimantan. Adapun juga dibeberapa daerah lain namun belum terlalu masif terkonsolidasi. Walhasil, Pilkada serentak 2017 lalu, PDIP sebagai partai pendukung utama pemerintah menderita kekalahan di 44 daerah atau 43,6 %, termasuk di provinsi DKI Jakarta, Bangka Belitung, Banten dan Gorontalo. Kekalahan DPIP juga terjadi di beberapa kota besar di antaranya, Tasikmalaya, Kupang, Ambon, Salatiga, bahkan di Kota Yogyakarta juga mengalami kekalahan dengan selisih tipis tak lebih dari 0,6%.

Jika fenomena ini tidak mampu ditepis oleh kelompok politik yang dilabelkan sebagai NASIONALIS SEKULER, suka atau tidak suka, fenomena politik ini akan semakin terbangun di Pilkada serentak 2018, Pileg 2019, hingga ke Pilpres 2019. Maka bisa dipastikan Pilkada serentak 2018, Pileg dan Pilpres 2019 adalah pertarungan antara kelompok politik NASIONALIS RELIGIUS VS NASIONALIS SEKULER. Dengan demikian, apa yang dikatakan Boni Hargens bahwa “Pilpres 2019 nanti menjadi pertarungan antara Jokowi dengan kelompok radikalisme” adalah sebuah pendapat politik yang keliru. (***)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.