
Jakarta, Obsessionnews – Awan duka nan tebal menggelayuti langit Indonesia, Sabtu (14/3/2015). Ya, bangsa Indonesia tengah berduka cita atas kepergian Haryanto Taslam, salah seorang pejuang reformasi yang ikut andil menggulingkan Presiden Soeharto pada 1998. Pria yang akrab dipanggil Hartas, akronim dari namanya, ini meninggal dunia karena sakit di sebuah rumah sakit di Jakarta. Hartas dimakamkan hari ini di Jakarta, Minggu (15/3).
Sebagian besar hidupnya dicurahkan dalam dunia politik. Hartas kader Partai Demokrasi Indonesia (PDI), salah satu di antara tiga parpol yang ada di era Orde Baru (Orba). Di masa kekuasaan Soeharto, PDI mengalami nasib yang sama dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), yakni dikebiri. Soeharto tak menginginkan PDI dan PPP menjadi besar. Soeharto berkepentingan yang tetap besar adalah Golkar. Oleh karena itu rezim Orba selalu mengobrak-abrik PDI dan PPP.
Dalam Kongres PDI di Surabaya tahun 1993, Megawati Soekarnoputeri terpilih menjadi Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDI periode 1993-1998. Puteri Bung Karno ini menggantikan Soerjadi. Hartas yang dekat dengan Megawati masuk dalam kepengurusan DPP PDI sebagai salah seorang Wakil Sekjen.
Terpilihnya Megawati dalam Kongres PDI di Surabaya itu membuat Soeharto marah. Soeharto khawatir PDI di bawah kepemimpinan Megawati akan menjadi besar, dan mengancam keberadaan Golkar. Soeharto menyadari Megawati tidak bisa disetir. Untuk itu berbagai cara dilakukan menggulingkan Megawati. Pemerintah menciptakan konflik di internal PDI, mengadu domba kubu Megawati dengan kubu Soerjadi. Pemerintah tak mengakui kepemimpinan Megawati dan mengizinkan digelarnya Kongres PDI tandingan di Medan tahun 1996 yang diadakan kubu Soerjadi. Dalam Kongres PDI di Medan tersebut, Soerjadi terpilih menjadi Ketua Umum.
Pemerintah merestui PDI dipimpin Soerjadi, dan mencoret semua daftar calon anggota legislatif (caleg) Pemilu 1997 versi Megawati. Yang diakui pemerintah hanya daftar caleg versi Soerjadi.
Manuver rezim Soeharto itu membuat para kader dan simpatisan PDI Megawati murka. Mereka menduduki kantor DPP PDI di Jl. Diponegoro No. 58 Menteng, Jakarta Pusat. Mereka membuat panggung demokrasi dan berorasi menghujat pemerintah. Salah seorang tokoh penting yang gencar membakar emosi massa adalah Hartas. Dalam berbagai orasinya tersebut Hartas mengajak massa melawan kezoliman Soeharto.
27 Juli 1996 kantor DPP PDI diserbu orang-orang tak dikenal dengan senjata tajam dan senjata api. Para kader dan simpatisan PDI melakukan perlawanan dengan tangan kayu dan senjata tajam. Namun, mereka kalah. Banyak di antara mereka yang tewas dan terluka berat.
Salah seorang yang diincar adalah Hartas. Namun, Hartas tak ada di lokasi saat penyerbuan tersebut. Hartas dicap sebagai musuh besar Soeharto dan harus dilibas!
Peristiwa berdarah 27 Juli 1996 tak menyurutkan semangat perlawanan Hartas terhadap pemerintah. Menjelang Sidang Umum MPR tahun 1998, Hartas dan berbagai elemen masyarakat pro reformasi aktif turun ke jalan, menuntut Soeharto mundur. Akibatnya, Hartas, Andi Arief, Arief Budiman, Pius Lustrilanang, Wiji Tukul, dan sejumlah aktivis lainnya diculik.
Dalam Sidang Umum MPR 1998 Soeharto kembali terpilih menjadi Presiden periode 1998-2003. Namun, tanggal 21 Mei 1998 Soeharto akhirnya berhasil dipaksa turun oleh gerakan reformasi. BJ Habibie yang semula menduduki kursi Wakil Presiden naik menjadi Presiden ketiga RI. Di era BJ Habibie beberapa aktivis, termasuk Hartas, dibebaskan. Sementara itu aktivis-aktivis lain yang menjadi korban penculikan aparat keamanan tak ketahuan nasibnya hingga kini.
Mendirikan PDIP
Setelah menghirup udara segar, Hartas tak mau berbicara kepada pers tentang pengalamannya saat diculik. Tampaknya dia trauma berbicara soal itu karena mengalami penyiksaan yang luar biasa.
Namun demikian Hartas tetap bersemangat berpolitik. Ia ikut mendirikan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Desember 1998. PDIP dipimpin Megawati, dan Hartas dipercaya menduduki posisi Wakil Sekjen. Hartas menjadi caleg pada Pemilu 1999, pemilu pertama di era reformasi, dan berhasil melenggang ke Senayan, sebutan populer Gedung DPR/MPR di Senayan, Jakarta Pusat. Pada Pemilu 1999 yang diikuti 48 parpol tersebut PDIP keluar sebagai juara, Golkar berada di urutan kedua, PPP menduduki peringkat ketiga, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) menempati ranking keempat, dan Partai Amanat Nasional (PAN) menyabet posisi kelima.
Inilah untuk pertama kali Hartas menjadi anggota DPR. Dan sebagai wakil rakyat Hartas gigih memperjuangkan aspirasi rakyat. Ia dikenal sederhana dan suka membantu orang-orang lain. Sebagian besar gajinya disumbangkan untuk kaum dhuafa.
Berseberangan dengan Megawati
Hubungan Hartas dengan Megawati mulai renggang saat Kongres PDI di Semarang tahun 2000. Hartas tak mendukung Megawati menjadi Ketua Umum DPP PDIP. Sebaliknya dia mendukung Erros Djarot, salah seorang yang ikut mendirikan PDIP. Dalam kongres tersebut Megawati menang mutlak.
Akibat berseberangan dengan Megawati, Hartas tak dimasukkan ke dalam kepengurusan DPP PDIP periode 2000-2005. Setelah tersingkir dari kepengurusan DPP PDIP, sejumlah pengurus PDIP mendesak Hartas direcall. Namun, Megawati tetap mempertahankan Hartas hingga selesai masa jabatannya di DPR tahun 2004.
Sementara itu hubungan Hartas dengan Erros Djarot semakin mesra. Hartas ikut mendirikan Partai Nasional Benteng Kemerdekaan (PNBK). Erros Djarot menjadi Ketua Umum DPP PNBK, sedangkan Hartas menjadi salah seorang Ketua DPP.
PNBK ikut berlaga dalam Pemilu 2004 dan Hartas maju sebagai caleg. Namun sayang, PNBK gagal menempatkan kader-kadernya di Senayan.
Setelah itu Hartas mengalihkan aspirasi politiknya ke Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) besutan Prabowo Subianto hingga akhir hayatnya.
Mendirikan Tabloid DeTIK
Tahun 1993 Erros Djarot membidani kelahiran tabloid politik DeTIK. Hartas ikut di dalamnya. Dia dipercaya memimpin distribusi. DeTIK dikenal tabloid yang berani mengkritik pemerintahan Soeharto. Dan akibatnya sering mendapat peringaatan dari Departemen Penerangan. Puncaknya, Juni 1994 DeTIK dibredel. Tak terima pembredelan itu, Hartas bersama eks wartawan DeTIK dan para aktivis pro berunjuk rasa.
Beberapa bulan setelah Soeharto lengser keprabon, Hartas mendampingi Erros Djarot mendirikan tabloid DeTAK, pengganti DeTIK, Juli 1998. DeTAK tabloid pertama yang lahir di era reformasi.
Yuyun Wardhana, salah seorang fotografer tabloid DeTIK dan DeTAK, mengenang Hartas sebagai sosok yang teguh pada prinsip dan pendiriannya. “Dia tidak mau kompromi ketika ada pilihan yang tidak sesuai dengan nuraninya. Contohnya, ketika menjadi Ketua Gerindra Media Centre, dia memilih pensiun dari posisinya, karena Prabowo menjadi cawapres mendampingi capres Megawati pada Pilpres 2009. Hartas memilih tidak terlibat daripada kompromi menjadi bagian dari tim sukses Megawati, karena dia punya latar belakang sejarah tersendiri dengan Megawati atau PDIP,” kata Yuyun kepada obsessionnews.com, Minggu (15/3). (Arif RH)